Untuk Fiksi, Jangan Terlalu Banyak Mempertimbangkan Alur!

Apa yang ingin saya bagikan di dalam tulisan ini sebenarnya sangat sederhana, namun cukup penting dalam penggarapan sebuah tulisan fiksi. Mungkin isi tulisan ini sangatlah subjektif, sebab hanya berdasarkan kepada pengalaman menulis saya yang tidak seberapa.

Untuk membangun sebuah tulisan fiksi, tentunya kita amat membutuhkan alur cerita (jalan cerita). Alur itulah yang nantinya akan diikuti oleh para pembaca karya-karya fiksi kita. Sebuah kerangka akan memudahkan kita untuk membangun alur cerita yang kita inginkan. Titik penting yang ingin saya bagikan adalah tentang alur ini, yakni salah satu problem bagi penulis fiksi, terlalu banyak mempertimbangkan alur.

Saya punya seorang kenalan, yang merupakan seorang penulis fiksi. Dia sedang berupaya untuk menyelesaikan sebuah novel yang menurut saya punya ide cerita yang bagus. Novel itu sudah mulai dia garap cukup lama. Dia begitu semangat dalam menggarap novelnya. Dia juga punya target waktu untuk menyelesaikan novelnya itu. Sekali-sekali saya mengontak dia untuk bertanya bagaimana perkembangan novelnya.

Waktu pun berlalu, sudah tiba bulan yang ditunggu, pada bulan itulah novelnya ditargetkan selesai. Pada bulan itu saya coba mengontak dia, saya ingin tahu apakah novelnya sudah selesai. Ternyata novelnya belum selesai. Saat saya tanya sebabnya, dia bilang ingin memperbaikinya lagi, ingin merombaknya agar alurnya lebih baik lagi. Dia masih memandang bahwa kisah di novelnya itu kurang bagus, jauh dari sempurna. Sehingga dia ingin lebih memerbaikinya lagi. Saya cuma bisa mendoakan agar dia diberikan kelancaran sehingga novelnya cepat selesai.

Bulan demi bulan pun terus berlalu, suatu hari saya teringat pada kenalan saya itu dan saya mengontak dia lagi. Saya ingin tahu bagaimana perkembangan novelnya. Dan apa yang dia bilang kepada saya membuat saya cukup shocking soda (maksudnya kaget gitu!). Katanya novelnya tersendat, sebab dia “malas” mengerjakannya. Betul, dengan enteng saja dia bilang “malas”. Waduh!!!

Saya tidak tahu persis apa yang terjadi padanya, dan secara pasti saya tidak akan pernah tahu masalah apa yang sedang dia hadapi sehingga menghambat aktifitas menulisnya. Tapi jika saya melihat dari sudut pandang seorang penulis, kenalan saya tadi mengalami hal itu karena dia terlalu banyak mempertimbangkan alur dan berbagai hal di seputar itu, sehingga membuat novelnya tidak selesai-selesai. Alur yang sudah dia tulis kemudian dia rombak lagi, karena dia merasa alur itu belum bagus. Hal itu akan berujung kepada “malas” itu tadi.

Dalam menulis fiksi tentu saja kita harus mempertimbangkan tentang jalan cerita yang ingin kita garap. Bagaimana awalnya, bagaimana dialog-dialognya, bagaimana adegannya, siapa saja karakter-karakter yang terlibat di sana, peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi, dan bagaimana akhirnya, haruslah kita pertimbangkan. Jangan sampai asal-asalan. Hanya saja, kalau kita terlalu “banyak” mempertimbangkan, khawatir nanti tulisan fiksi kita tidak akan selesai, dan rentan dengan kebuntuan di tengah jalan. Semangat yang awalnya membara kemudian padam karena kelamaan (syukur-syukur kalau kita bisa tetap mempertahankan semangat menulis dan tetap menulis sampai selesai).

Saya ingin berbagi pengalaman saya ketika menulis salah satu novel saya yang cukup tebal yang berjudul Sabil (published by: Qanita, genre: fiksi-sejarah). Saya pertimbangkan dulu bagaimana alur cerita sebuah bagian bab dari awal sampai akhir (dengan berpijak pada berbagai literatur sejarah yang sudah saya baca), kemudian langsung saja saya tuangkan alur global yang sudah saya susun itu ke atas kertas, dalam bentuk adegan-adegan dan dialog-dialog novel. Saya tidak pernah menyobek selembar kertas pun atas alur yang sudah saya tulis. Saya tidak pernah mengevaluasi alur yang sudah saya tulis.

Jika di tengah-tengah menuliskan sebuah alur kisah fiksi kemudian muncul ide-ide untuk alur-alur yang lain, maka akan saya save saja di otak, atau saya catat di kertas yang lain, dan tidak akan mengganggu alur awal yang sedang saya tulis. Ketika semua sudah saya tuangkan barulah ide-ide alur yang baru muncul itu saya pertimbangkan dan saya olah lagi untuk menjadi alur yang lain. Saya jadi ingat kata-kata bijak untuk para penulis yang entah siapa yang mengatakannya: “Penulis yang baik adalah dia yang bisa memulai sebuah karya tulis, kemudian menuntaskannya.” Setidaknya, seperti itulah cara kerja saya. Semoga sharing-nya berguna. Happy writing!!! [sayf]

Sebal Kepada Selebritis!!!

Ada sebuah rasa sebal yang aneh setiap kali saya mengalihkan perhatian kepada para selebritis. Selebritis yang saya maksud di sini tentunya adalah mereka yang bergelut di bidang entertainment (hiburan), seperti penyanyi, aktor, aktris, pemain sinetron, dan pemain film. Kenapa rasa sebal itu yang bangkit di dalam diri saya? Sebab saya tidak mengerti mengapa kita begitu mengagung-agungkan para selebritis itu? Padahal apa sih yang kita teladani dari mereka?

Rasa sebal saya semakin memuncak ketika saya melihat berita di detik.com tentang seorang anak ABG yang baru saja punya pacar lagi. Anak ini memang ABG, umurnya baru 14 tahun. Dia anak seorang penyanyi yang mantan istrinya adalah seorang diva. Anak ini dengan pecicilan mempertontonkan kemesraannya dengan pacar barunya. Belum lagi kabar tentang seorang penyanyi dangdut seronok yang mengaku secara terang-terangan bahwa dia kejawen dan kerap kali melakukan ritual-ritual yang klenik agar dekat dengan roh-roh nenek monyong (eh moyang).

Apa sih sebetulnya pentingnya berita-berita seperti itu diangkat? Kenapa sih kita begitu tergila-gila pada selebritis? Padahal sebenarnya ‘sampah masyarakat’ itu adalah para selebritis, kebanyakan selebritis seperti itu, tidak pantas dicontoh dan tidak pantas dijadikan figur oleh masyarakat. Ini semua adalah konspirasi para kapitalis untuk mengeruk keuntungan. Mari bebaskan diri kita dari kungkungan selebritis. Jangan lagi terpengaruh dengan pesona semu mereka. Adanya atau tidakadanya mereka tidak terlalu penting buat masyarakat.

Petuah Pram

Kemarin saya menemukan sebuah kalimat dari Pramoedya Ananta Toer yang bagus sekali. Terlepas dari afiliasi politik dan pandangan ideologi Pram, dia adalah salah seorang penulis besar Indonesia yang karya-karyanya diakui dunia (dia salah seorang penulis yang pada zaman yang sulit tapi bisa hidup hanya dari karya-karya tulisannya). Dan berikut saya kutipkan apa yang dikatakan Pram, semoga bisa menginspirasi kita, para penulis Islam ideologis, untuk terus mengguratkan pena demi kebangkitan Islam di dalam naungan Khilafah Islamiyah.

“Semua harus dituliskan. Apapun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna.”