Terus terang, judul di atas memang agak aneh. Walau begitu bukan maksud saya untuk menghubungkan-hubungkan antara demokrasi dengan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam yang mulia. Sebab, secara ideologis, demokrasi dan Rasulullah memang tidak ada hubungannya sama sekali. Demokrasi bukan berasal dari Rasulullah, dan Rasulullah pun tidak pernah mengajarkan demokrasi. Namun saya ingin memberikan sedikit gambaran tentang demokrasi dan Rasulullah dalam hal kepemimpinan.
Pesta demokrasi masih akan terus berlanjut. Seusai pemilu legislatif, Indonesia masih akan disibukkan dengan pemilu presiden yang akan dilaksanakan Juli mendatang. Mekanisme pemilu ini dipercaya menjadi jalan untuk memindahkan kekuasaan secara sah, legal, damai, dan konstitusional. Pemilu demokratis ini jugalah yang sampai saat ini masih dipercaya oleh sebagian kalangan, menjadi jalan paling mudah untuk mewujudkan cita-cita Islam menuju penerapan Islam secara menyeluruh. Benarkah demikian??
Saya akan mengawalinya dengan sebuah kisah! Masuk Islamnya Hamzah radhiyallahu’anhu dan Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu telah menguatkan barisan dakwah dan telah menggoncangkan seantero Makkah. Kafir Qurays jadi tidak bisa berbuat seenaknya lagi kepada kaum muslim. Berbagai penganiayaan dan gangguan terhadap kaum muslim jadi sedikit terhenti. Namun kafir Qurays tetaplah tidak kehabisan akal. Jika habis satu cara, mereka akan mencari cara lain untuk menghentikan langkah dakwah Islam. Cara yang satu ini, mereka pikir akan cukup ampuh untuk menghambat gerak dakwah, negosiasi.
Ibnu Ishaq menuturkan, Yazib bin Ziyad berkata kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab al Qurazhiy. Seorang lelaki bernama Utbah bin Rabi’ah bicara kepada para pemuka Qurays tentang Rasulullah. Utbah ini bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang kepala suku, pandai, sekaligus mengerti berbagai macam syair. Dia juga punya kemampuan komunikasi yang luarbiasa dalam bernegosiasi. Kepada para pemuka Qurays itu, Utbah menyampaikan idenya untuk bernegosiasi dengan Rasulullah. Harapannya, dengan negosiasi itu, Rasulullah bisa menghentikan gerakan dakwahnya.
“Wahai kaum Qurays, bagaimana pendakat kalian bila aku menemui Muhammad dan bicara dengannya, lalu menawarkan kepadanya beberapa hal yang aku berharap dia mau menerima sebagiannya. Setelah itu, kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga dia tidak lagi mengganggu kita?”
“Tentu saja bagus, wahai Abu al Walid! Pergilah menemuinya dan bicaralah dengannya!” Kata mereka.
Ketika itu Rasulullah sedang berada di sekitar Ka’bah. Utbah langsung saja menghampirinya dan berkata bahwa dia ingin berbicara dengan beliau.
“Wahai anak saudaraku, sesungguhnya engkau telah datang kepada orang-orang dengan suatu hal yang amat besar sehingga membuat mereka bercerai-berai. Harapan mereka engkau kerdilkan, tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela dan nenek-nenek moyang mereka engkau kafirkan. Dengarlah! Aku ingin menawarkan beberapa hal kepadamu lantas bagaimana pendapatmu tentangnya? Semoga saja sebagiannya dapat engkau terima.”
“Wahai Abu al Walid, katakanlah! Aku akan mendengarkannya,” jawab Rasulullah.
“Wahai anak saudaraku, jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan harta, maka kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya di antara kami. Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kedudukan, maka kami akan mengangkatmu menjadi pemimpin, sehingga kami tidak akan melakukan sesuatu pun sebelum engkau perintahkan. Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, maka kami akan mengangkatmu menjadi raja. Jika apa yang datang kepadamu adalah jin yang engkau lihat dan tidak dapat engkau usir dari dirimu, maka kami akan memanggilkan tabib untukmu serta akan kami belanjakan harta kami demi kesembuhanmu, sebab orang terkadang dirasuki jin sehingga perlu diobati.” Utbah menyelesaikan semua kalimatnya. Rasulullah mendengarkan dengan saksama.
“Wahai Utbah sudah selesaikah engkau?”
“Ya!”
“Nah sekarang dengarkanlah aku.”
“Ya, akan aku dengar.”
Rasulullah membacakan surah Fushilat ayat 1 sampai 5. “Ha mim. Diturunkan dari Tuhan yang maha pemurah. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya), maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya.”
Ketika Utbah mendengar apa yang keluar dari mulut Rasulullah yang mulia itu, dia bersandar kepada kedua belah tangannya di belakang punggungnya. Ketika melewati ayat sajdah, Rasulullah bersujud.
“Wahai Abu al Walid, engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah padamu.” Kata Rasulullah.
Utbah pun kembali kepada kawan-kawan Qurays-nya dengan raut wajah yang lebih tenang daripada ketika dia pergi tadi. Dia berkata kepada kawan-kawannya itu bahwa dia baru saja mendengar sebuah perkataan yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Subhanallah walhamdulillah.
Sekarang mari kita coba meneliti tawaran-tawaran yang diajukan oleh Utbah kepada Rasulullah. Semua tawaran Utbah ditolak oleh Rasulullah, padahal banyak sekali dari tawaran itu yang amat dibutuhkan Rasulullah untuk menguatkan dakwahnya dan melindungi kaum muslim yang ketika itu sedang dianiaya. Utbah menawarkan uang, dakwah Rasulullah ketika itu pun membutuhkan uang, tapi Rasulullah menolak uang dari Utbah. Utbah menawarkan kekuasaan, dan bahkan hendak menjadikan beliau sebagai raja, tetapi semua itu ditolak. Padahal, logikanya, dengan kekuasaan itu, Rasulullah bisa melindungi para sahabatnya dan bisa menerapkan Islam, tetapi sekali lagi semua itu ditolaknya.
Penolakan ini sejatinya tidaklah aneh, sebab Rasulullah tahu persis bahwa semua tawaran itu tidak dilatarbelakangi oleh keinginan untuk beriman dan meninggikan Islam. Utbah menawarkan semua itu hanya untuk membungkam Rasulullah, bukan karena meyakini kebenaran Islam yang dibawa Rasulullah. Beliau tahu persis bahwa jika beliau menerima tawaran Utbah, pastilah beliau akan terkungkung dengan semua itu, yang akibatnya adalah meredupnya cahaya Islam. Beliau justru akan terpenjara dengan kekuasaan dan uang yang diberikan Utbah. Yang diinginkan Rasulullah adalah penyerahan kekuasaan dan bantuan uang yang didasarkan pada iman dan keinginan untuk meninggikan Islam. Lain tidak.
Sesuatu yang mirip dengan hal ini terjadi juga dalam demokrasi. Demokrasi seolah-olah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Islam untuk berkuasa. Demokrasi juga seolah-olah memberi jalan kepada Islam untuk naik kepada tampuk kepemimpinan. Padahal sebenarnya tidaklah seperti itu. Sebab kekuasaan dan kepemimpinan yang ditawarkan oleh demokrasi tidaklah berdasarkan Islam dan syariat Islam. Tidak pula didasarkan pada keimanan dan ketakwaan. Melainkan berdasarkan pada sekularisme (paham pemisahan agama dari kehidupan) yang sejak awal menjadi dasar dari demokrasi itu sendiri. Karena itulah kekuasaan yang diberikan demokrasi tidak akan pernah bisa digunakan untuk menerapkan syariat Islam. Telah banyak orang Islam yang duduk di atas tampuk kepemimpinan demokrasi, tetapi mereka tidak pernah menerapkan syariat Islam sekali pun. Jangan lagi terjebak dalam demokrasi.