Saya jadi ingat dengan suatu hal yang pernah disampaikan Ustadz Felix Siauw pada acara kajian kitab Min Muqowwimat Nafsiyah Islamiyah yang diselenggarakan setiap Selasa ba’da subuh di Alfatih Center. Saat itu, Ustadz Felix mengatakan bahwa Allah swt. akan mencabut kelezatan dari sesuatu ketika kita telah mendapatkan sesuatu itu.
Ada sebuah ilustrasi sederhana! Saya ini kan orangnya ndeso banget ya. Jadi karena saya ndeso, saya kepengeeeen banget makan pizza. Hmmm, kalau saya melihat gambar-gambar pizza yang menggugah selera itu, akan terbayang kelezatannya di mulut saya dan air liur serta-merta akan membuncah keluar. Saya pun ngilerI Tapi karena harga seloyang pizza itu biasanya mahal, dan setidaknya butuh selember uang 100 ribu untuk bisa membelinya, maka orang ndeso dan kere kayak saya hanya akan bisa ngiler melihat pizza.
Tetapi Allah swt. memang Mahabaik. Allah swt. mengubah hidup saya. Saya yang awalnya ndeso, kini sudah sembuh dari ke-ndesoan saya, karena sekarang saya sudah tinggal di Jakarta (Jakarta geto lookh). Allah swt. juga memberikan rizki kepada saya, dan satu hal yang ingin sekali saya lakukan adalah, MAKAN PIZZA!
Maka pergilah saya ke sebuah restoran pizza yang sudah cukup terkenal di negeri ini (saya nggak mau sebut nama restorannya, nanti dikirain promosi). Saya membuka menu-menunya dan kelihatannya semua enak-enak (dan mahal-mahal tentunya). Saya pun memilih pizza yang saya mau. Waiter-nya ramah banget, saya disuruh menunggu 15 menit (“lama amat, keburu kenyang makan angin”, batin saya). Setelah menunggu 15 menit, pizza pun datang. Hmmm, aromanya harum! Saya pun menyantapnya setelah menggumamkan basmalah (khawatir nanti ada makhluk astral yang ikutan makan sama saya, tu makhluk astral emang senengnya makan gratis). Hmmm, pizza enak ya (“kirain apaan, ternyata pizza itu cuman roti ditaburin sayur-sayuran doang, tambah jamur sama daging,” kata batin saya). Saya bersyukur dan mengakui bahwa pizza enak rasanya. Dan semuanya berhenti sampai di situ.
Setelah itu, pizza menjadi makanan yang biasa-biasa saja bagi saya. Saat memakannya pun biasa-biasa saja, rasanya pun biasa-biasa saja. Saya tidak lagi merasakan kenikmatan dan kebahagiaan yang sama ketika pertama kali saya makan pizza. Semua tentang pizza begitu biasa! Persis seperti yang dikatakan Ustadz Felix, sejak itu Allah swt. telah mencabut kenikmatan dan kelezatannya.
Sebenarnya hal ini pulalah yang terjadi dengan cinta. Ketika kita pertama kali naksir kepada akhwat yang kita suka, kemudian kita melamarnya, dan lantas menikahinya, maka semua proses itu kita jalani dengan rasa cinta yang mendalam. Kita begitu menggebu untuk menyayangi dan mencintai sang akhwat. Kita bertekad untuk selalu menjaganya, dan menjadikannya permaisuri di dalam hati kita. Kita berjanji untuk selalu memberikan romantisme kepadanya, dan bertekad pula untuk selalu memperlakukannya dengan baik dan penuh kemuliaan. Sang akhwat akan selalu menjadi yang tercantik di hati kita, dan kita berjanji akan selalu menjunjungnya. Kemudian menikahlah kita dengan sang akhwat.
“Paling-paling romantis dan senengnya cuman bertahan tiga hari doang,” kata Ustadz Felix, “setelah itu rumput tetangga lebih hijau!”
Haduh, saya ketawa dan geleng-geleng kepala. Tapi memang begitulah kenyataannya, Allah swt. akan mencabut kenikmatan dan kelezatan dari sesuatu ketika sesuatu itu telah kita dapatkan. Setelah kita menikah dengan sang akhwat, kita akan mendapatkan bahwa segala sesuatu tenang dia begitu biasa bagi kita, sehingga semuanya seolah-olah menjadi hambar. Itulah yang terjadi. Itulah kenyataannya!
Kita mungkin sering melihat kasus-kasus peceraian selebritis. Mereka punya pasangan yang cantik-cantik dan tampan-tampan, tetapi toh semua itu tidak menghentikan perceraian mereka, dan kita jadi tidak habis pikir karenanya. “Waduh, istri cantik kayak gitu kok diceraikan?” Paling-paling hanya itu yang bisa kita katakan. Tetapi jika kita kembali kepada penjelasan Ustadz Felix tentang dicabutnya kenikmatan seperti disebut di atas, semuanya menjadi jelas. Kecantikan wajah dan keindahan fisik yang awalnya kita kagumi dan amat diinginkan, setelah menikah ternyata menjadi sesuatu yang amat biasa. Allah swt. telah mencabut kenikmatan di dalamnya. Itulah gambaran betapa sedikit dan rapuhnya kenikmatan dunia.
Karena itulah, jangan sampai kita menyandarkan cinta hanya kepada kecantikan wajah dan keindahan fisik. Harus ada sesuatu yang lain, yang menjadi tempat cinta itu bersandar. Sesuatu yang lebih kuat dan kokoh, yang akan membuat cinta selalu baru, dan akan tetap bertahan selamanya dari terjangan rasa bosan. Itulah dia keimanan kepada Allah swt., dan ketaatan kepadaNya. Subhanallah walhamdulillah!