Ada Anak Mati Tenggelam


Lubang maut bekas tambang

Suatu kali saya menonton sebuah film dokumenter bikinan dalam negeri. Saya melihat film dokumenter ini bagus sekali, judulnya sangat sexy, namun cerita di dalamnya tidak berhubungan dengan ke-sexy-an sama sekali. Film dokumenter ini berkisah tentang sekelumit dunia pertambangan batu bara, yang dikeruk dalam-dalam dari Kalimantan. Kerak bumi dikupas dengan alat-alat berat, untuk kemudian diambil serpihan-serpihan hitam batu bara dari sana. Di kemudian hari, serpihan batu bara itu digunakan untuk mengepulkan uap, menggerakkan turbin, dan membangkitkan listrik yang lantas kita nikmati. Dengannya kita menonton televisi, bermain video game, bekerja dengan komputer, menggerakkan aktifitas di perkantoran, dan dayanya menghidupkan berbagai benda.

Namun, dari film dokumenter itu terungkap, bahwa orang-orang yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan itu harus bertaruh nyawa karenanya. Ternyata banyak pihak perusahaan pertambangan yang nakal dan tidak menaati aturan. Seharusnya, lubang-lubang menganga bekas pertambangan itu ditimbun kembali atau direklamasi. Tetapi pihak perusahaan itu tak mau repot, maka mereka biarkan saja lubang-lubang itu, hingga kemudian berubah menjadi danau besar yang dalam. Anak-anak kecil yang tinggal di sekitar tempat itu pun mati tenggelam.

Saya geleng-geleng kepala lagi ketika menonton film dokumenter itu. Anak-anak yang mati tenggelam itu, dalam rentang waktu beberapa tahun, jumlahnya sudah ratusan orang. Korban terus saja berjatuhan. Tetapi agaknya kematian-kematian itu dianggap remeh oleh pihak yang berwenang. Pemimpin yang seharusnya bertindak cepat dan tepat, sepertinya memandang semua kematian itu sambil lalu saja. Dia tidak memandang semua kematian itu sebagai perkara besar, padahal itu nyawa manusia.

“Oh itu tidak masalah,” kata sang pemimpin ketika ditanya wartawan, “nasibnya kasihan… Ikut prihatin…”

“Supaya tidak ada lagi korban jiwa bagaimana, Pak,” tanya wartawan.

“Korban jiwa itu di mana-mana terjadi,” sahut pemimpin, dan saya kembali geleng-geleng kepala.

“Tapi kan meninggalnya di kolam tambang, Pak,” kejar sang wartawan.

“Ya namanya nasibnya dia, meninggalnya di kolam tambang, kan!” Kemudian sang pemimpin berlalu sambil cengengesan!

Diperkirakan, kata film dokumenter itu, saat ini ada 3500 lubang menganga bekas tambang, dan harus ada berapa anak lagi yang mati tenggelam hingga semua lubang itu ditiadakan!

Saya jadi teringat Khalifah Umar bin Khaththab yang pada suatu kesempatan pernah mengungkapkan kekhawatirannya tentang lubang kecil di jalan yang bisa membuat keledai tersandung. Beliau cemas bahwa Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban tentang lubang kecil itu. Dan saya makin sadar, bahwa di dalam alam demokrasi-sekularistik sebagaimana sekarang, tidak akan pernah kita temukan pemimpin sekaliber Khalifah Umar bin Khaththab.[]

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.