FUTUH RUUM episode 2

Bendera putih berukir kalimat syahadat warna hitam berkibar di cakrawala biru. Kemegahannya tak terperi, sebab ia akan menguasai dunia sebentar lagi. Tiang bendera setinggi dua puluh meter tertancap tegak, mengawal Khilafah Islamiyah tumbuh dan bergerak. Di hadapan tiang bendera itu berdirilah Baytul Khilafah, sebuah istana megah yang jadi pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah. Baytul Khilafah bukanlah istana Khalifah. Rumah dinas Khalifah yang sederhana terletak tak jauh di belakang Baytul Khilafah. Gedung pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah itu berarsitektur gaya Arab. Ada sepuluh kubah warna emas di puncaknya, tiang-tiangnya kokoh berukir ayat-ayat Allah. Berbagai ruangan di dalamnya menjadi kantor bagi bawahan Khalifah mengurus segala perkara, pada kompleks gedung itu pulalah terdapat Baytul Mal. Setiap hari selalu ada aktivitas di sana, Baytul Khilafah hampir tak pernah tidur. Jika rakyat memiliki kesusahan, mereka tinggal datang ke Baytul Khilafah, dan mereka pasti pulang dengan terpecahkannya kesusahan itu. Di dalam gedung itulah Khalifah kaum muslim mengatur berbagai strategi dan langkah untuk meluaskan kekuasaan Khilafah hingga penjuru dunia. Pada lantai paling tinggi di kompleks Baytul Khilafah itu, sebuah rapat sangat penting sedang berjalan. Rapat itu dihadiri oleh Khalifah Muhammad Hasanuddin, dua orang Mu’awin (pembantu) Khalifah; Mahmoud Shaleh dan Zahir Abbas, Amirul Jihad; Jenderal Sayf Ali Khan, dan Kepala Badan intelijen Khilafah Islamiyah; Izzatuddin Malik. Ruangan rapat itu berukuran sedang. Keputusan-keputusan penting kerap kali lahir di ruangan itu. Di dalamnya tersusun meja-meja melingkar, ada papan tulis dan proyektor, ada layar dan peta. Kursi-kursi yang sederhana mengelilingi meja. Tak ada kursi-kursi empuk, yang tersedia hanya kursi-kursi kayu sederhana yang diduduki para pelayan umat itu. Bahkan Khalifah kaum muslim tidak duduk di kursi empuk, ia duduk di kursi kayu, sama dengan pejabat-pejabat yang lain. Di seluruh dindingnya terpasang rak-rak buku yang dipenuhi oleh buku. Berbagai dokumen penting pun tersusun rapi dengan urutan tertentu, sehingga Khalifah bisa mengambil berkas-berkas tersebut dengan mudah. Dan ketika itu pembicaraan penting sedang berlangsung. Khalifah Hasanuddin duduk di salah satu ujung meja, pada layar yang ada di belakangnya tersorot peta dunia besar dari proyektor. Di atas meja, di hadapan Khalifah, sebuah laptop menyala, cahaya dari monitornya terpancar ke wajah Khalifah. Ia bertopang dagu menatap monitor di laptop itu. “Perkembangan yang kita raih Alhamdulillah cukup baik,” Khalifah sepintas menatap bawahan-bawahannya yang serius memerhatikan kata-katanya. Seperti biasa, ia tampil dengan jas hitam sederhana tanpa dasi, sebuah sorban warna putih bertengger sederhana di kepalanya. Ia masih muda, namun kebijaksanaannya mengalahkan orang tua. Ia seorang yang faqih fiddin, wara’, sekaligus visioner. “Amerika telah hancur-hancuran setelah kita menggempur pangkalan militer mereka di berbagai wilayah kaum muslim, sekaligus mengusir mereka. Operasi intelijen kita pun berhasil meledakkan beberapa reaktor nuklir mereka. Angkatan bersenjata mereka telah kalah. Perjanjian pun telah diikat oleh Khalifah Ahmad Rahimahullah selama sepuluh tahun. Palestina telah berhasil kita bebaskan, Israel telah hilang dari peta dunia dan kaum Yahudi telah direlokasi dari sana. Yang masih tertinggal adalah, Roma.” Khalifah bangkit dari kursinya, ia menggerakkan jemarinya kepada keyboard di laptopnya, di layar terpampang peta Eropa, wilayah Italia dan Vatikan berwarna merah. Mata Khalifah menatap kepada bawahan-bawahannya. “Kota kedua setelah konstantinopel yang akan ditaklukkan oleh kaum muslimin. Dahulu Sultan al Fatih tidak sempat bergerak menaklukkan Roma, saat ini kita mesti melanjutkan perjuangannya.” 000 Istana Kremlin di Moscow seolah akan rubuh karena kegalauan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev. Dia melangkah dengan gusar menyusuri koridor-koridor panjang istana itu bersama dengan Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin. Langkah dua lelaki berambut pirang itu menggema di lantai koridor, mereka terlibat pembicaraan serius. “Apa yang kubilang menjadi kenyataan, kalau orang-orang Islam sudah memiliki Khilafah semuanya tak akan sama lagi seperti dulu,” Medvedev mengembuskan napasnya. “Semuanya salah Amerika, si bodoh Obama terlalu lembek, sekarang mereka yang hancur-hancuran,” sahut Putin. “Salah kita juga, tidak segera merebut wilayah-wilayah strategis dari tangan adidaya yang sudah bangkrut seperti Amerika. Sekarang orang-orang Islam terlanjur berhasil mendirikan imperium mereka, dan semuanya jadi kacau.” “Yang penting sekarang kita mempersiapkan diri, Khilafah tak akan diam saja, kalau melihat sejarah Islam, mungkin tak lama lagi mereka akan datang menginjak-injak negara kita. Untungnya sultan mereka yang baru hanya seorang pria biasa yang tidak cakap memimpin. Dia Cuma seorang mantan guru.” Medvedev menghentikan langkahnya, dia pun menahan langkah Putin. Dia menatap mata Perdana Menteri Rusia itu dalam-dalam. “Jangan sekali-kali meremehkan musuh, atau kita akan celaka. Kalau bukan karena orang-orang Islam itu luar biasa, Islam tak akan pernah jadi agama yang paling banyak dianut manusia di dunia. Yang penting sekarang kita harus menggalang kekuatan.” Dengan kepala penuh mereka memasuki sebuah ruangan rapat di istana Kremlin, Moscow, seluruh anggota kabinet telah menunggu di sana. 000 “Lima tahun yang lalu kita sudah kecolongan,” suara Paus Benediktus ke-13 serak dan lemah. Dia melangkah bersama seorang pembantunya, Uskup Ferdinand, di Basilika Santo Petrus, berdua saja. Tak ada pengawalan, tak ada parade, kota Vatikan sepi sekali malam itu, langitnya digelantungi awan mendung. Paus hanya mengenakan jubah sederhana yang di bagian dalamnya dilapisi baju hangat. Uskup Ferdinand mengenakan pakaian yang tak jauh berbeda. “Orang-orang Islam telah berhasil mendirikan negara Khilafah mereka, kau tahu apa artinya itu?” “Aku memohon petunjuk dari Bapa Suci,” sahut Uskup Ferdinand sambil menekur. “Tahta suci mungkin akan hilang,” Paus menggerakkan tangannya, ke dada dan dahinya, membentuk tanda salib. “Seburuk itukah yang akan terjadi, Bapa Suci??” Uskup Ferdinand menatap wajah Paus yang sayu dan muram. “Dulu, bencana itu hampir saja terjadi, namun tuhan menyelamatkan kita dengan mencabut nyawa Elang yang perkasa itu.” “Siapakah Elang yang perkasa itu, Bapa Suci??” “Dia sultan Mehmed al Fatih, dari Turki,” Paus menggenggam tangan Uskup Ferdinand dengan gemetar, dia terbatuk. “Dan Khilafah adalah induk elang, yang akan menelurkan ribuan elang yang tak kalah tangguh seperti sultan Mehmed al Fatih. Mungkin tak lama lagi, sultan akan berdiri di hadapan kita, kemudian menaklukkan kota ini, seperti janji Nabi mereka.” Bersambung. [Sayf Muhammad Isa]. 000

FUTUH RUUM (Episode 1)

ImageRibuan kaum muslim telah berkumpul di Raudhotul Islam, sebuah landmark dari Khilafah Islamiyah yang luas. Khilafah Islamiyah adalah sebuah negara global bagi kaum muslimin. Khilafah Islamiyah adalah rumah bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

Walaupun orang ramai berdesak-desakan di taman yang megah itu, Raudhotul Islam, semuanya tertib dan kerumunan laki-laki tetap terpisah dari kerumunan perempuan. Mereka berdiri menghadap ke satu titik, kepada sebuah panggung yang ada di tengah-tengah taman itu. jantung mereka berdebar-debar, mereka sedang menunggu pelantikan Khalifah yang baru, Khalifah yang kedua.

Setelah puluhan tahun menderita karena ketiadaan Khilafah Islamiyah, pada akhirnya kaum muslim berhasil menegakkannya kembali, mereka mengangkat seorang Khalifah untuk mewakili mereka melaksanakan syariat Islam secara kaffah, Khalifah yang pertama itu bernama Ahmad, ia seorang ulama. Setelah lima tahun memimpin dengan penuh dedikasi dan pengorbanan, Khalifah Ahmad wafat dalam damai. Ia telah berhasil mempersatukan negeri-negeri Islam yang lain yang masih berada di bawah pemerintahan kufur; membangun dan mengonsolidasi kekuatan Khilafah dan semua aparaturnya; berhasil membubarkan semua pangkalan militer negara-negara kafir dari wilayah kaum muslim; dan berhasil mengambil kembali semua sumber daya alam yang dahulu –ketika Khilafah Islamiyah belum tegak- dikeruk habis-habisan oleh kaum kapitalis barat melalui perusahaan multinasional dan penguasa-penguasa muslim yang melacurkan diri menjadi antek penjajah; ia juga berhasil mengerahkan jihad akbar kaum muslim untuk menahan serangan Uni Eropa ke wilayah Khilafah Islamiyah.

Amirul Mukminin itu kini telah wafat, dan kewajiban kaum muslim adalah mengangkat seorang pemimpin yang baru menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Selama tiga hari, tokoh-tokoh umat yang menjadi ahlul halli wal ‘aqdi memilih Khalifah yang baru, dan hari ini, seluruh kaum muslim di dunia sedang menanti pelantikan pemimpin mereka.

Raudhotul Islam sudah penuh sesak. Taman yang keindahannya tak terperi itu menjadi kebanggaan kaum muslim, sekaligus menjadi salah satu landmark Khilafah Islamiyah. Taman itu meniru keindahan taman-taman surga, luasnya 5000 hektar, ia menjadi tempat bertamasya kaum muslim. Pepohonan tumbuh subur menyejukkan, ada kebun-kebun bunga beraneka warna. Sungai-sungai buatan mengalir jernih di dalamnya, ikan-ikan berenang bebas. Ada juga taman bermain untuk anak-anak. Masjid al Khilafah yang megah pun terletak di kompleks taman Raudhotul Islam. Sebatang tiang bendera yang tinggi tegak di sisi panggung. Bendera besar warna putih bertuliskan syahadat warna hitam berkibar megah di langit pagi. Tiap kali ada peristiwa penting, taman itu pasti ramai.

Seluruh rakyat semakin berdebar, hari ini pemimpin mereka dilantik untuk meneruskan penegakan syariat Islam dan penyebaran Islam kepada seluruh alam. Panggung yang ada di tengah-tengah taman itu telah tenggelam oleh lautan manusia di sekelilingnya. Para syurthoh yang berseragam putih berdiri tegak mengelilingi panggung sekaligus mengendalikan keadaan. Kerumunan massa yang berjumlah ribuan orang itu sangat tertib, sebab mereka semua tahu ketertiban adalah perintah Allah.

Tiba-tiba semua kepala menoleh ke langit, sebuah helikopter warna putih dengan tulisan syahadat di kedua sisinya melayang mendekati taman. Helai-helai angin berhamburan, rerumputah bergoyang kencang. Helikopter itu melayang memasuki taman, mengapung tepat di atas panggung di tengah-tengah taman. Semua orang menengadah sambil memicingkan mata sebab angin bertiup kencang dari baling-baling helikopter yang besar itu. Semua lensa kamera disorotkan kepada helikopter itu, para reporter melaporkan apa yang sedang terjadi, gambarnya dikirimkan ke seluruh dunia lewat udara.

Sebuah pintu di sisi kanan helikopter itu kemudian membuka, sebuah tangga tali diulurkan ke bawah hingga ujungnya mendarat tepat di atas panggung. Seorang demi seorang menuruni tangga tali itu hingga tiba di panggung. Empat orang laki-laki yang tegap dan gagah sudah berdiri tegak di atas panggung. Tangga tali kemudian ditarik kembali masuk ke dalam helikopter yang kemudian melayang pergi.

Sebatang mikrofon telah tegak di sana, seorang pria yang memakai jas hitam sederhana kemudian menghampirinya. Empat orang lelaki di atas panggng itu semuanya memakai jas hitam. Lelaki itu orang arab, janggut yang kokoh menghiasi wajahnya, matanya yang tajam berwarna cokelat bening. Ia menatap kepada kerumunan kaum muslim itu.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” suara salamnya diperkeras berkali-kali lipat. Layar-layar besar yang menampilkan wajahnya yang tampan dipasang di berbagai sudut Raudhotul Islam.

Tiba-tiba suara salam mengguntur dari mulut ribuan kaum muslim. Lelaki itu tersenyum tipis.

“Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala atas segala barokah dan karunianya. Dialah yang telah memberikan rahmat kepada kita semua. Solawat dan salam akan selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw., keluarga, dan sahabatnya. Semoga kemenangan dan keselamatan akan selalu terlimpah kepada kaum Muslim dan Khilafah Islamiyah. Amin.”

Yaa ma’syarol muslimin rahimakumullah, perkenalkan, aku adalah Hasan Shalih, panitia pemilihan Khalifah pada ahlul halli wal ‘aqdi, alhamdulillah dengan kemudahan dari Allah swt., telah berhasil dipilih seorang Khalifah yang baru untuk kaum muslim di seluruh dunia, untuk melaksanakan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam kepada segenap penjuru alam. Dan hari ini, kita semua akan menyaksikan pelantikan Khalifah kita yang baru, Khalifah Muhammad Hasanuddin. ALLAAAAHU AKBAR.!!!” Hasan Shalih menoleh ke belakang, menatap kepada satu-satunya lelaki muda bersorban di panggung itu. Ia memakai jas hitam sederhana dengan kemeja putih tanpa dasi di bagian dalamnya. Hasan Shalih membuka tangannya dan mempersilakan sang Khalifah maju.

Di bawah gemuruh takbir yang riuhrendah, Khalifah Hasanuddin melangkah mendekati mikrofon. Usianya masih muda, baru tiga puluh lima tahun, namun usianya itu tidaklah menghalanginya untuk memimpin seluruh kaum muslim di dunia.

Khalifah mengucap salam, dan kaum muslimin menyambut salam itu dengan gelombang suara salam yang pantul memantul di udara. Setelah memuji Allah dan berselawat kepada Rasulullah ia mulai pidatonya.

“Wahai kaum muslim, amatlah berat amanah yang kutanggung di pundakku ini. Apakah yang akan aku katakan di hadapan Allah pada pengadilan di hari kiamat nanti? Ada milyaran kaum muslim di muka bumi ini dan semua urusannya ada di atas pundakku. Sungguh aku takut kepada Allah, takut kalau-kalau aku lalai dalam mengemban amanah ini. Tolong luruskan aku jika aku keliru. Bersama-sama, akan kita wujudkan kemenangan bagi Islam dan kaum muslim.”

“ALLAAAAAAAHU AKBAR…”

Pekik takbir meledak lagi. Pelantikan itu disaksikan seluruh dunia, kata-kata Khalifah yang singkat itu didengar oleh semua. Begitulah Khalifah kaum muslim, tak banyak berkata-kata, tak banyak mengumbar janji, yang dia tahu hanyalah mengerahkan segala daya upaya untuk memperhatikan dan mengurusi kaum muslimin di seluruh dunia. Wahai Allah, Tuhan seru sekalian alam, limpahkan ridhoMu untuk Khalifah kaum muslim. Beri dia kekuatan untuk mewujudkan janjiMu, untuk mewujudkan cita-cita itu… amin.! (Bersambung). (Sayf)

Menengok Sejarah Perang Sabil Aceh [Hunnentocht]

Perang sabil di Aceh antara kaphe belanda melawan kaum muslim Aceh telah menjadi catatan hitam sejarah penjajahan belanda di tanah kaum muslim. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap penjajahan (imperialisme) adalah kebengisan dan kesadisan. Hal ini terlihat dengan sangat jelas pada sejarah penjajahan belanda di Aceh, yang kemudian mengobarkan perang sabil tanpa akhir untuk melawan kaphe belanda.

Setiap kali belanda mencurigai bahwa di suatu kampung terdapat para pejuang yang dilindungi oleh rakyat, maka yang akan dilakukan belanda kemudian adalah menyerang kampung itu dan membakarnya sampai habis. Penduduk akan diintrogasi dengan paksa, kalau tidak mau menyerahkan para pejuang maka mereka akan bernasib buruk dengan ditembak atau dijadikan pekerja paksa.

Dalam penyerbuan Belanda ke Tangse pada tahun 1898 yang dipimpin oleh van Heutzs pembakaran dan perampokan itu terjadi. Van Heutzs bercerita kepada Snouck Hurgronje bahwa pada penyerbuan itu semua kampung dipandang sebagai persembunyian musuh, sehingga harus dibakar habis. Dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Rooseboom, Snouck mengatakan bahwa hampir semua prajurit belanda yang melakukan penyerangan itu dihinggapi penyakit suka membakar dan menggarong, hal itu dengan senang hati mereka lakukan sebab disetujui oleh van Heutzs.

Rakyat yang dimintai keterangan tentang persembunyian para pejuang pun diintrogasi sambil disiksa dengan dipecut pakai rotan hingga kulitnya terkelupas dan dagingnya tercerabut. Para penduduk juga dipaksa untuk menjual ayam kepada prajurit belanda yang tinggal di bivak setempat dengan harga seenaknya, yang pastinya akan membawa kerugian pada penduduk.

Di dalam Nota Six terungkap betapa bringasnya kaphe belanda. Di dalam laporan itu diceritakan bahwa bahwa pasukan belanda itu “lichtvaardige manschenafmakerij” (kebiasaan gampang membunuh manusia). Seorang civil gezaghebber (penguasa sipil) telah membunuh penduduk kampung yang tidak bersalah dengan tenang, karena kerusakan terhadap kawat telepon yang ada di sekitar kampung itu. seorang letnan pengecut pada suatu malam mengepung sebuah rumah, yang diketahuinya berisi seorang perempuan yang baru melahirkan, bersama bayinya dan dua orang bidan, semuanya ditembak mati olehnya. Dalam sebuah patroli yang dipimpin seorang sersan dikepunglah sebuah rumah. Ia membunuh beberapa orang pejuang yang ada di dalamnya, sekaligus dua orang perempuan dan seorang anak perempuan tanggung. Anak tanggu ini , setelah mendapat luka tembak coba melarikan diri keluar. Sersan tersebut mengejar dan menangkapnya lalu melemparkannya begitu saja dari atas rumah, ketika mendarat di tanah anak itu langsung dihabisi dengan tembakan.

Apa yang dilakukan obos van Daalen ketika menyerbu tanah Gayo pun tak kalah kejinya. Di setiap kampung yang dilaluinya, dia menebarkan maut. Ratusan penduduk yang tidak bersalah dibantainya. Gambar-gambar pembunuhan itu masih ada sampai sekarang. Begitulah penjajah, demi memuaskan hawa nafsu setan mereka, membunuh beberapa orang pun tidak mereka pedulikan.(sayf)

Menengok Sejarah Perang Sabil Aceh [The Ladies of War]

Image

Beberapa waktu yang lalu saya cukup dibuat terkejut dengan beredarnya video mesum seorang vokalis band terkenal yang melibatkan dua orang perempuan cantik. Salah satu perempuan cantik yang saya maksud berasal dari Aceh, saya tahu dia berasal dari Aceh karena ada ‘cut’ di depan namanya (walaupun lahir di Jakarta dia masih keturunan Aceh). Saya jadi ingat salah satu adegan di dalam film lama berjudul Tjoet Nja’ Dhien yang dibintangi Christine Hakim. Dalam adegan itu, Cut Nyak Dhien sedang berhadap-hadapan dengan Teuku Leubeh (seorang pengkhianat), dengan ekspresi wajah dingin dan rencong di tangan, Cut Nyak Dhien menikam Teuku Leubeh sambil berserapah, “Bikin malu kaum.” Mungkin kalau Cut Nyak Dhien masih hidup, beliau juga akan mengatakan hal yang sama kepada ‘cut’ yang ada di dalam video mesum itu, sebab kelakuannya hanya membikin malu kaum.

‘Cut’ jaman dulu memang jauh melampaui ‘cut’ jaman sekarang. Keteguhan dan kegigihan mereka dalam perjuangan bahkan terkadang melampaui kaum lelaki. Zentgraff menceritakan dalam bukunya tentang seorang perempuan yang dikenal sebagai Pocut di Biheu. Ketika seorang komandan marsose bernama Veltman dan pasukannya sedang berpatroli, tiba-tiba seorang perempuan menghambur keluar dari semak-semak sembil menghunuskan rencong, sendirian. Sendirian?? Ya, sendirian. Pasukan Marsose segera mengepung dan menyerangnya. Ia mendapat luka di bahu dan kepalanya, namun luka-luka itu belum bisa menjatuhkannya. Ketika bayonet-bayonet marsose memutus urat di tumitnya barulah ia ambruk berlumuran darah. Seorang prajurit marsose ingin menembak pejuang wanita itu agar penderitaannya berakhir, namun Veltman melarangnya. Pocut di Biheu ditinggalkan begitu saja. Beberapa waktu kemudian Veltman mendapat kabar bahwa Pocut di Biheu masih hidup, warga kampung menolongnya. Akhirnya Veltman menemukan rumah tempat merawat pejuang wanita itu, di sana luka-luka Pocut dilumuri kotoran kerbau. Veltman merasa kasihan kepadanya dan bermaksud membawanya ke dokter, namun dengan gagah Pocut menolaknya mentah-mentah.

Banyak lagi pejuang wanita yang lain yang tak kalah gagahnya, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, dan yang tidak kita kenal pasti lebih banyak lagi, dengan kegagahan dan keperkasaan mereka masing-masing. (Sayf)

Menengok Sejarah Perang Sabil Aceh

ImageSaya bukan orang Aceh, belum pernah ke Aceh, dan pengetahuan saya tentang sejarah Aceh pun belum begitu banyak. Namun hal itu tidak boleh menghalangi saya untuk menulis sesuatu tentang Aceh. Sudah beberapa tahun belakangan ini saya begitu terobsesi terhadap Aceh, dan saya begitu mencintai Aceh. Perjalanan cinta saya terhadap Aceh dimulai pada bulan September tahun 2009. Saat itu, habis subuh, saya membaca sebuah syair Aceh di sebuah majalah Islam yang bernama Eramuslim Digest. Syair itu adalah dododaidi.

Dulu, ketika saya belum membaca syair itu, saya tak punya perasaan apa-apa terhadap Aceh. Yang saya tahu, Aceh adalah propinsi paling barat Indonesia yang di sana pernah ada DOM dan kemudian terkenal dengan GAM-nya, cuma itu. Dan imej tentang Aceh di kepala saya berubah total ketika saya membaca dododaidi.

Saya menangis waktu itu (benar-benar menangis), saya tidak menyangka ada syair sedalam ini dari Aceh. Dododaidi, adalah nyanyian ninabobo anak-anak Aceh, di dalam setiap baitnya ada keteguhan dan keikhlasan, ada keberanian dan pengorbanan, ada keimanan dan jihad. Saya sungguh-sungguh terpesona, yang timbul kemudian adalah rasa cinta. Kemudian Allah berkenan memberikan inspirasi di kepala saya berupa ide cerita sebuah novel yang kelak berjudul SABIL. Novel itu kini telah diterbitkan oleh Mizan dan telah beredar di berbagai kota di Indonesia.

Sejak hari itu, Sabil dan peristiwa perang sabil di Aceh selalu membuat saya terbakar rasa ingin tahu. Saya telusuri sejarahnya, saya buru kisahnya dari internet, saya cari buku-buku tentangnya, seiring dengan semua itu saya menulis Sabil. Dan semakin saya menyelami sejarah perang sabil Aceh, semakin saya cinta. Saya semakin kagum dan menaruh hormat kepada muslim Aceh.

Mungkin sejarah hanyalah kumpulan kisah masa lalu, namun kisah-kisah masa lalu itu bukanlah kisah-kisah yang mati, di dalamnya terkandung semangat, nilai-nilai, dan nasihat. Allah sendiri memerintahkan kita untuk menengok ke belakang, kepada sejarah, kemudian mengambil nasihat darinya, lantas menata masa depan. Dan perang sabil Aceh akan selalu membekas di hati saya, seiring dengan rasa kagum dan rasa hormat. Ia telah banyak mengajari saya tentang keteguhan, dan tekad untuk mempertahankan keimanan, kehormatan, dan cita-cita. Jangan lupakan… (Sayf)