Bukan Gatal Biasa!

Beberapa hari yang lalu saya merasakan sesuatu yang lain. Ketika itu saya sedang enak-enaknya menggarap naskah di kantor. Jari jemari saya sedang nikmat menimpuki tuts-tuts keyboard di laptop saya. Tiba-tiba saya merasa gatal di tangan. Ternyata ada bentol di sana. Ketika saya lihat bagian itu, saya berpikir, mungkin ada seekor nyamuk yang iseng kemudian hinggap di tangan saya dan menyedot sedikit darah saya. Lantas saya garuk tangan saya itu, dan melanjutkan penggarapan naskah.

Tetapi tiba-tiba rasa gatal itu muncul lagi di tempat lain. Kali ini di tangan saya yang sebelah lagi. Langsung saja saya garuk lagi dan kemudian melanjutkan tulisan. Selang beberapa menit kemudian, rasa gatal itu muncul lagi, kemudian muncul lagi di tempat lain, lalu muncul lagi, muncul lagi, muncul lagi, muncul lagi, hingga sekujur badan saya terasa gatal. Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Bentol-bentol yang awalnya cuma satu, beranak-pinak menjadi banyak, hanya dalam waktu beberapa menit saja. Hampir sekujur badan saya dipenuhi bentol. Dan bentol itu kemudian berubah menjadi bengkak-bengkak.

Setelah itu saya buru-buru pulang, sudah tidak mungkin lagi meneruskan penggarapan naskah kalau badan gatal-gatal seperti itu. Sesampainya di rumah, muka saya pun tidak luput dari bengkak-bengkak, sampai tampang saya nggak jelas. Kata istri saya yang dokter gigi, saya terkena alergi. Walau saya agak ragu dengan penjelasan istri saya tentang alergi, lha dia kan dokter gigi, tapi kok tahu soal alergi? Hehe… Mungkin dokter gigi juga mempelajari sekelumit hal tentang alergi, saya kurang tahu. Dan penjelasan istri saya tentang alergi ini tetap membuat penasaran, sebab saya merasa bahwa saya tidak pernah punya riwayat alergi. Sepanjang hidup saya baru kali ini saya merasakan gatal di sekujur badan saya seperti itu. Sampai-sampai saya menggaruk badan secara ekstrim, persis seperti induk lutung. Bahkan saya sampai tidak tidur semalaman karena sibuk menggaruk sambil ber-istighfar kepada Allah.

Ketika itu saya berpikir, baru saja Allah menurunkan rasa gatal, manusia sudah melintir kaya’ gitu. Ini sebuah tanda yang amat nyata bahwa manusia adalah lemah dan tidak berdaya apa-apa. Tidak sepantasnya manusia sombong, sebab kadang kita meremehkan rasa gatal, tapi ternyata ketika rasa gatal itu menyerbu kita, pastinya kita akan menderita juga.

Itu juga yang harusnya kita pikirkan ketika hendak memilih hukum apa yang kita terapkan. Kita ini lemah, akal kita juga lemah, maka tidak mungkin kita membuat hukum yang pas untuk mengatur kehidupan kita. Kita perlu tuntunan dari Allah untuk membuat hukum, yang tentu saja bersumber dari wahyu Allah dan sunnah Rasulullah. Bersumber dari Alquran dan sunnah. Itulah dia syariat Islam. Kesadaran inilah yang membuat gatal-gatal yang saya rasakan menjadi bukan gatal biasa. Asekkk…

Di Balik Serial Ghazi

Ghazi seri pertama.
Ghazi seri pertama.

Ada hal sangat besar di balik serial Ghazi. Istilah Ghazi sendiri artinya adalah kesatria Islam yang ada di tengah-tengah bangsa Turki. Ghazi amat identik dengan mujahid tangguh yang memerangi musuh-musuh Allah di siang hari, mereka faqih fiddin, mereka hafal Quran, dan mengisi malam-malamnya dengan beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Sosok seperti ini adalah sosok muslim ideal yang saat ini sudah jarang terlihat di tengah-tengah generasi kita.

Ada beberapa hal penting yang ingin diungkap di balik serial Ghazi. Pertama, bisyarah Rasulullah berupa takluknya Konstantinopel adalah sebuah kabar gembira yang mengguncangkan. Ketika beliau pertamakali mengatakannya, kaum muslim beroleh kegembiraan, dan kaum kafir, termasuk Yahudi, gempar. Kegemparan ini mencapai puncaknya ketika bisyarah ini benar-benar berhasil diwujudkan oleh Sultan Muhammad al Fatih. Momen penting amat luar biasa sekali jika diangkat menjadi sebuah novel yang di dalamnya terungkap bagaimana gigih dan hebatnya perjuangan sang Sultan yang dijanjikan oleh Rasulullah itu. Terlebih lagi, sepanjang pengetahuan kami, belum ada novelis yang mengangkat peristiwa besar penaklukan ini dalam bentuk sebuah novel. Dengan demikian serial Ghazi insya Allah akan menjadi sebuah karya yang orisinal dan pertama tentang tema ini. Semoga dengan adanya novel ini akan bisa tergambar tentang betapa kita wajib meyakini dan memperjuangkan sebuah bisyarah Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam.

Kedua, nilai yang tak kalah penting yang ingin diungkap dalam novel ini adalah, tentang bagaimana proses terbentuknya seorang penakluk dan pemimpin besar seperti Sultan Muhammad al Fatih. Kita tentunya mengetahui bahwa seorang pempimpin tidaklah lahir begitu saja, tetapi ia dibentuk dan dididik sehingga bisa memiliki mental dan sikap sebagai seorang pemimpin besar. Novel Ghazi ini ingin sekali mengungkapkan sisi ini, sehingga bisa menjadi gambaran bagi kita tentang bagaimana kelak kita membentuk generasi kita agar menjadi generasi sekaliber Sultan Muhammad al Fatih.

Ketiga, novel ini ingin sekali mengungkapkan tentang keagungan syariat Islam. Bahwa jika syariat Islam diterapkan, pasti ia akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi semua umat. Bahwa ketika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh, ia akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Novel ini juga ingin memperlihatkan betapa santunnya jihad dan penaklukan dalam Islam. Bukan seperti imperialisme yang selama ini ditebarkan Barat atas dunia Islam.

Keempat, novel ini ingin menghadirkan sesuatu yang baru di tengah-tengah jagad sastra dan fiksi di Indonesia. Saat ini dunia fiksi kita masih dibanjiri oleh karya-karya sekular yang menebarkan gaya hidup hedonis dan permisif. Dan kesemuanya itu telah menjadi racun yang amat efektif dalam meruntuhkan identitas Islam generasi kita. Inilah saatnya novel Islam ideologis digemari dan mendapat tempat di tengah-tengah umat. Sebab ia bukan hanya menghadirkan sekadar cerita, tetapi juga nilai-nilai Islam.

Terakhir, selamat menikmati serial Ghazi selanjutnya. Semoga bisa diambil hikmah sebanyak-banyaknya dari sana. Dukung terus fiksi Islam ideologis.

Mendaki Kesabaran

Setiap kali Allah menyebutkan sebuah amalan yang utama di dalam Alquran, berikut dengan gajarannya, sebenarnya di sana terselip tantangan dan kesulitan untuk melaksanakannya. Di dalam Alquran, Allah memosisikan sikap sabar sebagai sebuah sikap yang amat utama. Bahkan Allah menempatkan para shabirin (orang yang sabar) sebagai kecintaanNya. Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam juga pernah menyebutkan bahwa Allah amat mencintai orang-orang yang sabar. Betapa mulia dan luarbiasanya sikap sabar ini, maka melaksanakannya pun menjadi sulit dan berat. Untuk bisa bersabar, dibutuhkan semangat, kekuatan, dan tekad, dari dalam diri kita sendiri. Amat diperlukan pula ketahanan yang tinggi, agar kita bisa tetap menjaga kesabaran itu di dalam diri kita.

Bersabar itu seperti mendaki sebuah gunung yang tinggi, yang di puncaknya sudah dipersiapkan kemuliaan dan kejayaan bagi siapa saja yang sanggup tiba di sana. Namun rasa lelah, penat, capek, pegal, bosan, dan dorongan untuk kembali turun akan selalu mendera di sepanjang perjalanan. Tapi jika kita berhasil melawan itu semua, kemudian berhasil tiba di puncaknya, kita akan menempati posisi yang mulia.

Kalau kita suka nonton sinetron, kita pasti pernah ungkapan “kesabaran saya sudah habis”, atau “sampai kapan saya harus bersabar?” (sayangnya, saya jarang sekali nonton sinetron, hehe). Di dunia nyata pun ungkapan itu kerapkali terdengar. Karena kesabaran itu akan menempatkan kita pada posisi yang “seolah-olah kalah”, maka kita akan bertanya sampai kapan kita harus bersabar? Dan jika kita ingin menang, kita harus mengakhiri kesabaran itu, dengan berkata “kesabaran saya sudah habis”.

Tentang hal ini saya pernah ngobrol-ngobrol santai dengan Ustadz Felix Siauw, dan saya mendapatkan jawaban yang mencerahkan tentangnya. Sebuah jawaban yang sangat berat, sebenarnya, dan amat sulit. Bahwa sabar itu selama-lamanya. Bahwa sabar itu tidak boleh berakhir. Kesabaran itu sangatlah berat, dan kita harus tetap bertahan dalam keadaan seperti itu. Semoga Allah subhanahu wata’ala selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk bisa menetapi kesabaran.

Tua Tua Kesemek, Makin Tua Makin Geblek!!

Pada suatu sore menjelang berbuka puasa, saya pergi untuk membeli beberapa makanan. Ini jadi persiapan untuk berbuka puasa. Datanglah saya ke sebuah warteg yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal saya. Karena nasi sudah masak sendiri di rumah, maka yang saya perlukan sekarang adalah lauk-pauk sebagai teman makan nasi. Masa’ makan nasi putih doang, kan kurang afdol, iya kan!!!

Ketika saya masuk ke dalam warteg yang sederhana itu, sudah terhidang makanan yang enak-enak di dalam lemari kaca panjang. Kawan-kawan pasti tahu bagaimana desain interior standar sebuah warteg, sekaligus desain display hidangannya. Saya pun langsung terhanyut dengan melihat-lihat hidangan yang tersedia di sana. Apa ya yang hendak saya beli? Pilihan pun akhrinya jatuh pada tempe dan telor dadar. Menu ini sama dengan menu kemarin, dan kemarinnya lagi, maklum penghematan. Hehe…

Tapi tiba-tiba ada yang membuat saya kaget. Ternyata di warteg itu saya tidak sendirian. Ada seorang lelaki tua yang sedang enaknya menyantap makanan, dan tentu saja membuat saya ngiler. Si Kakek ini makan dengan lahapnya, seolah-olah tidak mau tahu bahwa hari itu termasuk dalam bulan Ramadhan. Dalam waktu beberapa detik saja timbul berbagai pertanyaan di dalam diri saya. Mungkin kakek ini bukan muslim? Tapi masa’ sih kakek-kakek dekil model gini bukan muslim? Kemungkinan besar dia seorang muslim. Apakah dia sedang sakit? Lha kalau sakit kok bisa makan di warteg? Kemungkinan besar dia sehat-sehat saja. Apakah dia sedang dalam keadaan safar? Kalau lagi safar kok cuman pake sandal jepit doang, tanpa membawa jinjingan atau buntelan apa-apa? Kemungkinan dia sedang tidak safar. Berarti kemungkinan besar dia memang menyengajakan diri untuk tidak puasa. Padahal kondisi tubuhnya terlihat masih kuat dan masih sehat, bukannya sudah renta dan pikun.

Saya jadi berpikir, “ini orang tua-tua kesemek, makin tua makin geblek.” Apa dia nggak nyadar bahwa dia udah tua dan bentar lagi mau mati, bukannya nyari amal sebanyak-banyaknya, ini malah dengan sengaja melanggar perintah Allah. Ini aki-aki memang pemberani dan tangguh. Semoga kita selalu bisa berada di atas jalan kebenaran hingga akhir hayat. Amin.

Pertamakali Jadi Orang Jakarta

Buswae
Buswae

Sudah beberapa bulan belakangan ini saya tinggal di Jakarta. Beberapa kawan bilang pada saya bahwa saya sudah jadi “orang Jakarta”. Padahal baru sekitar dua hari ini saya pertama kali merasakan jadi “orang Jakarta”. Lho kok bisa gitu? Sudah beberapa bulan tinggal di Jakarta, tapi baru kemaren merasa jadi orang Jakarta? Begini ceritanya (serem.com).

Saya tinggal di Jakarta sejak awal Maret 2014. Saya berkantor di kawasan Jakarta Barat pada sebuah label publishing yang sedang berkembang, dan saya menyewa tempat tinggal yang tidak begitu jauh dari kantor. Cukup jalan kaki sekitar 15 menit, saya sudah tiba di kantor. Cepat dan mudah. Selama beberapa bulan itu, saya hanya melihat saja kemacetan kesemrawutan kota Jakarta. Karena ke kantor cukup dengan jalan kaki, saya hampir tidak pernah merasakan kemacetan sama sekali.

Tapi beberapa hari yang lalu, saya pindah ke sebuah tempat tinggal yang agak jauh dari kantor. Tepatnya di kawasan Jakarta Timur. Sejak hari itulah saya baru benar-benar merasa jadi orang Jakarta. Hehehe…

Saya masuk kantor jam sembilan pagi. Karena saya belum punya kendaraan pribadi, maka saya memutuskan untuk naik buswae. Kawan-kawan pasti tahulah apa itu buswae. Itu lho, bis khusus di Jakarta yang kalau kita masuk ke lintasannya bisa kena tilang. Nah saya naik sarana transportasi massal ini. Dengan amat lugunya saya berpikir bahwa buswae tidak akan kena macet, karena dia punya lintasan sendiri, khusus untuk dia doang. Tapi saya tetap antisipasi, saya berangkat dari rumah sekitar jam 6 pagi.

Kemudian masuklah saya ke halte buswae di kawasan Jakarta Timur. Nunggunya itu, na’uzubillahi mindzalik, lamaaaa banget. Dan ternyata, walaupun udah punya lintasan sendiri, buswae tetep aja bisa kena macet juga. Saya pikir saya bisa tiba di kantor sekitar jam setengah 8 atau paling lambat jam 8 pagi, tapi karena maceeet di mana-mana, saya baru tiba di kantor jam 10 siang. Saya mengira berangkat jam 6 pagi itu sudah kepagian, tapi ternyata saya kesiangan. Untung saja ibu direktur dan bapak direkturnya baik dan tidak sombong, jadi mereka mengampuni saya dan tidak mem-PHK saya.

Hari pun menjelang sore. Jakarta diguyur “gerimis mengundang”. Setelah solat ashar saya pun pulang dengan menempuh cara yang sama seperti ketika berangkat. Saya disambut pemandangan yang ternyata lebih parah. Halte buswae penuh, membludak. Orang-orang pada ngantri panjang bener. Mau nggak mau, saya pun bergabung di sana. Setelah menunggu sangat lama, datanglah bisnya, dia berhenti tepat di depan pintu halte. Saya lihat dari kaca jendela, bis itu sudah terisi penuh, orang-orang pada berdiri rapat, dan masih ditambah lagi dengan penumpang baru dari halte. Semuanya jadi tambah rapat dan sesak. Saya berpikir, mungkin jam segini pasti ramai, karena jam orang pulang kantor. Karena saya tidak ngantri di depan, bis itu pun berlalu, saya harus menunggu lebih lama lagi. Menjelang magrib, baru saya bisa naik bis. Saya benar-benar jadi orang Jakarta kalau begini. Sepanjang jalan dari Jakarta Barat, Jakarta Pusat, sampai Jakarta Timur, macet. Saya baru sampai di rumah sekitar jam 10 malam.

Sepanjang jalan saya berpikir bahwa kemacetan di Jakarta sudah sampai pada taraf yang “mengerikan”. Kalau begitu terus, kita bisa jadi tua di jalan. Sangat tidak efektif dan membuang-buang waktu. Saya juga berpikir tentang apa sih sebab musabab dari kemacetan yang sudah menggejala ini? Kalau sesuatu sudah terjadi secara massal, meluas, massif, dan terus-menerus, maka pasti ada kekeliruan sistemik yang menyebabkannya. Saya terus bermain-main dengan alam pikiran saya, penyebab kemacetan itu mungkin sangat sederhana, “jumlah dan luas jalan sudah tidak kuat menampung jumlah kendaraan yang terus bertambah.” Jalanannya segitu-gitu doang dari dulu, tapi jumlah pengguna kendaraan bermotor terus bertambah, maka tidak heran kalau terjadi kemacetan.

Saya tetap asyik bermain dalam alam pikiran saya. Penggunaan sarana transportasi massal mungkin bisa sedikit mengurai masalah kemacetan ini. Sebab kalau semua orang maunya pakai kendaraan pribadi, kemungkinan besar bakalan macet. Hanya saja, kenapa banyak orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada sarana transportasi massal? Jawabannya, tentu saja karena pemerintah tidak menyediakan sarana transportasi massal yang aman, dan nyaman, serta terjangkau bagi semua kalangan. Sepertinya, sejak dulu, saat pemerintah berencana hendak membangun sarana transportasi massal, pasti ada saja ganjalannya (kasus monorail contohnya). Sepertinya ada sebuah kesengajaan di sini.

Indonesia adalah sebuah pasar yang besar untuk industri otomotif. Kalau pemerintah memperbaiki sarana transportasi massal, kemudian masyarakat lebih memilih menggunakan sarana transportasi massal itu, tentunya pangsa pasar perusahaan produsen otomotif itu jadi menurung dong!? Kemudian pengusaha otomotif dan pemerintah ini berkongkalingkong, sehingga pemerintah dengan sengaja membiarkan saja sarana transportasi massal di negeri ini berada dalam kondisi yang kacau, jorok, kumuh, berantakan, dan tidak aman. Dengan demikian masyarakat akan tetap lebih memilih pakai kendaraan pribadi yang mereka beli dari para pengusaha otomotif tadi. Kacau kan kalau begini. Tapi itu semua sekadar alam pikiran saya yang sedang asyik terombang-ambing di atas buswae.

Ada Patung Bisa Bicara??

Sekadar Ilustrasi
Sekadar Ilustrasi

Saya tidak main-main, bahwa ada patung yang bisa bicara. Ah yang bener!!?? Benerrr!! Sumpe lu? Sumpe de gue! Ada patung yang bisa bicara, tapi nggak di sini, adanya di akhirat. Lho kok di akhirat ada patung yang bisa bicara? Jadi begini ceritanya.

Pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, saya sedang berusaha untuk mengembalikan hafalan surat Alfurqan saya yang hilang entah kemana. Benar sekali apa yang dipesankan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam, bahwa hafalan Quran itu cepat sekali hilangnya, lebih cepat daripada unta yang kabur karena talinya kelupaan diikat. Lebih lanjut, Ust. Felix Siauw menjelaskan bahwa cepatnya hafalan hilang itu karena nggak pernah dipakai. Maksud “dipakai” di sini adalah dibaca ketika sedang solat. Betul juga, jadi sarana efektif untuk menjaga hafalan adalah dibaca hafalan itu ketika solat.

Ketika saya mengulang kembali hafalan surat Alfurqan ini saya menemukan kisah tentang patung yang bisa bicara di akhirat. Dari sini saya menemukan betapa kuatnya pengaruh harta dan kekayaan bagi diri seseorang. Begini ceritanya.

Di dalam surat Alfurqan ayat 17, Allah berfirman, “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Allah mengumpulkan mereka bersama apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Dia berfirman (kepada yang disembah itu), ‘Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hambaKu itu? Atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)’?”.

Pada ayat ini dikisahkan bahwa Allah bertanya kepada semua sesembahan selain Dia, kepada patung-patung, pohon-pohon, batu besar, dan semua material yang dijadikan berhala oleh manusia. Apakah mereka itu yang menyesatkan manusia? Apakah mereka itu yang minta disembah sebagai tuhan-tuhan selain Allah? Semua sesembahan itu menjawab di ayat selanjutnya.

“Mereka (yang disembah itu) menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidaklah pantas bagi kami mengambil pelindung selain Engkau, tetapi Engkau telah memberi mereka dan nenek moyang mereka kenikmatan hidup, sehingga mereka melupakan peringatan, dan mereka kaum yang binasa.” Alquran surat Alfurqan ayat 18.

Kelak, semua sesembahan manusia, apakah itu patung, pohon besar, batu besar, api, dan semua hal lainnya yang disembah selain Allah, akan dikumpulkan dan ditanya. Apakah mereka yang menyesatkan umat manusia itu? Apakah mereka yang minta disembah? Dan semua sesembahan itu akan menyangkal, bahwa mereka tidak pernah minta disembah. Mereka tidak pernah menyuruh manusia untuk menyekutukan Allah. Manusia itu sendirilah yang sesat dan mengikuti hawa nafsunya dengan membabibuta.

Kenikmatan hiduplah salah satunya yang berperan besar dalam kesesatan manusia. Harta benda, kekayaan, fasilitas, dan segala kenikmatan hidup itulah yang sering kali membuat manusia lupa daratan. Padahal semua itu hanya ujian. Semoga kita bisa tetap menyembah dan mengabdi kepada Allah dalam setiap keadaan. Aamiin.