Salah satu argumentasi orang-orang yang menentang penerapan syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah adalah, banyaknya pembunuhan dan darah tertumpah. Terbukti, empat orang dari Khulafa Rasyidin, tiga diantarnya wafat karena dibunuh. Padahal argumentasi ini tidak layak sama sekali untuk dijadikan alat untuk menolak syariat Islam dan Khilafah.
Apakah di dalam pemerintahan demokrasi tidak ada pembunuhan dan pertumpahan darah? Justru hal-hal mengerikan itu jauh lebih banyak terjadi di dalam alam pemerintahan demokrasi. Coba saja lihat John F. Kennedy yang mati dibunuh, begitu juga Abraham Lincoln.
Dalam artikel ini saya ingin sekali berbagi tentang kisah syahidnya Khalifah kedua kaum Muslimin, Umar bin Khaththab. Beliau adalah seorang pemimpin luar biasa, yang wafat dalam kemuliaan. Prof. Dr. Ibrahim Al-Quraibi menyatakan di dalam kitabnya, “wafatnya Umar adalah peristiwa besar. Belum ada musibah sebesar ini yang menimpa umat Islam setelah kepergian Rasulullah.”
Setelah menunaikan ibadah Haji pada tahun 23 H, dan singgah di sebuah daerah bernama Abthah, Khalifah Umar berdoa kepada Allah swt. Beliau mengadu bahwa usianya telan lanjut, kekuatannya telah berkurang, sedangkan rakyatnya makin banyak dan tersebar ke berbagai penjuru. Beliau khawatir tidak bisa mengemban amanah dengan baik. Di dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Khalifah Umar berdoa, “Ya Allah, berilah aku rezeki syahadah (mati syahid) di jalanMu, dan jadikan kematianku di negeri RasulMu.”
Khalifah Umar merasakan telah dekat masanya untuk kembali kepada Allah lewat sebuah mimpi. Imam Muslim meriwayatkan kisah mimpi ini dari Ma’dan bin Abi Thalhah. Pada sebuah Jumat, Khalifah Umar berkhutbah. Dalam khutbahnya, beliau menyebut Nabi Muhammad dan Khalifah Abu Bakar. Beliau kemudian berkata, “Aku bermimpi seakan-akan ayam jantan mematukku tiga kali. Aku tidak menafsirkan mimpi itu kecuali tentang datangnya ajalku…” (HR. Muslim dan Ahmad). Di dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad disebutkan bahwa Khalifah Umar menceritakan mimpi itu kepada Asma binti Umais. Asma’ mengatakan bahwa Khalifah Umar akan dibunuh oleh seorang lelaki ‘ajam (non-Arab).
Hari yang memilukan itu pun datanglah, tepatnya pada hari Rabu tanggal 25 Dzulhijjah tahun 23 Hijriyah. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wa Nihayah mengisahkan peristiwa ini. Waktu subuh telah tiba dan kaum Muslim bersiap-siap untuk melaksanakan solat subuh berjamaah bersama sang Khalifah, Umar bin Khaththab. Setelah Khalifah Umar memastikan barisan lurus dan rapat, beliau maju untuk menjadi imam. Saat hendak melantunkan takbir, seorang pria melompat ke hadapan beliau entah dari mana datangnya. Pria itu membawa belati bermata dua, dan langsung menikamkan belati itu ke perut Khalifah Umar. Pria itu menikam Khalifah Umar di bagian bawah pusarnya, sebanyak tiga tikaman (berkaitan juga dengan mimpi Khalifah Umar). Darah pun tertumpah, Khalifah Umar langsung ambruk, dan pembunuh itu berlari ke belakang sambil mengayunkan belati berdarah di tangannya dengan membabibuta. Dia membunuh orang-orang yang dilewatinya, dan dalam peristiwa itu telah terluka 13 orang dan 6 orang dari mereka wafat. Seorang sahabat bernama Abdullah bin Auf meringkus pria pembunuh itu dengan melemparkan burnus (mantel lebar dengan tudung kepala). Pria itu berhasil ditangkap, namun dia bunuh diri.
Khalifah Umar segera dilarikan ke rumahnya sementara darah mengalir deras dari lukanya. Beliau memerintahkan Abdurrahman bin Auf untuk menggantikan menjadi imam. Dalam keadaan tertikam seperti itu, beliau masih sempat melaksanakan solat subuh di atas pembaringan. Beliau bertanya tentang siapakah pria yang menikamnya. Ternyata, pembunuh itu adalah Abu Lu’luah Fairuz, orang kafir beragama Majusi sekaligus seorang budak serba bisa milik Mughirah bin Syu’bah. Budak ini dendam kepada Khalifah Umar karena persoalan upah. Dia biasa mendapat bayaran 2 dirham sehari, Khalifah Umar menetapkan upah untuknya 100 dirham sebulan. Dan dia tidak menyukai hal itu.
Di atas pembaringan, Khalifah Umar diberikan semacam jus anggur, ketika beliau meminumnya, jus anggur itu keluar lagi dari luka beliau. Kemudian beliau diberikan segelas susu, susu itu pun keluar lagi dari luka beliau. Karena hal ini, orang-orang menjadi sadar bahwa Khalifah Umar sudah tidak mungkin bisa diselamatkan lagi. Tiga hari kemudian setelah peristiwa itu, Khalifah Umar wafat di awal bulan Muharram 24 H. Satu lagi pemimpin adil telah pergi.