Pada suatu hari, seorang kawan saya yang tinggal di sebuah ruko, kedatangan seorang tamu tidak diundang. Si tamu ini memang tidak pernah diundang, sebab tahu-tahu dia datang begitu saja, padahal nggak kenal, bukan saudara, bukan teman, bukan siapa-siapa. Lantas siapakah seorang tamu ini? Ternyata dia adalah petugas pajak.
Ruko kawan saya tadi dipasangi semacam plang yang cukup besar yang betuliskan nama tokonya. Terjadilah sebuah percakapan yang menyebalkan antara kawan saya dengan petugas pajak itu. Salah satu hal yang paling menyebalkan dari si petugas pajak itu adalah tentang plang nama toko tadi.
“Ini plang dengan ukuran sebesar ini harus kena pajak juga Pak,” kata si petugas pajak
“Oh gitu ya Pak. Berapa pajaknya pak?” Tanya kawan saya.
“Kalau sebesar ini kena 10 juta pak!” Kata si petugas pajak dengan entengnya. Seolah-olah orang nyari duit tinggal metik doang di depan rumah, atau tinggal ngambil doang di bawah bantal.
“Oh gitu. Nanti saya bayarnya ke kantor pajak ya Pak?”
“Oh nggak harus ke kantor pajak Pak. Lewat saya juga bisa!”
Di sini mulai tercium aroma korupsi. Siapa yang bisa menjamin kalau kawan saya membayar pajak melalui petugas pajak itu, dia bakal benar-benar menyetorkan pajaknya kepada negara? Dan apakah benar pajak plang-nya 10 juta? Berhubung banyak warga negara yang tidak paham soal pajak dan berapa besarannya.
Dari sini terlihat sekali betapa menyebalkannya pajak. Dari sini terlihat pula betapa zhalim dan tidak adilnya pemerintah dalam mengatur hajat hidup rakyatnya. Rakyat diperas habis-habisan hingga segala sisi kehidupan rakyat pasti ada pajaknya. Sementara perusahaan multinasional yang merampok sumber kekayaan negeri ini yang menunggak uang milyaran hingga mungkin triliunan malah diikhlaskan begitu saja. Alasannya karena sudah tutup buku. Tapi kalau dari rakyat yang nggak seberapa diperes terus.
Jangan ikhlas membayar pajak, karena sebenarnya itu perampokan. Jangan bangga membayar pajak, karena sebenarnya itu penjajahan. Jangan senang membayar pajak, karena sebenarnya itu pemerasan.