Wajah-Wajah Sumringah Caleg

Superman jadi caleg.
Superman jadi caleg.

Tahun 2014 adalah tahun pesta demokrasi di Indonesia.  Pada tahun itu akan diadakan Pemilu yang akan menentukan ke mana arah negeri ini menuju. Kita akan memilih para wakil kita yang akan duduk di kursi legislatif, sekaligus kita akan memilih pemimpin kita secara langsung dalam pemilihan presiden. Karena itulah akhir-akhir ini saya perhatikan selalu saja ada poster dan baligo bergambar wajah-wajah sumringah para caleg dari berbagai partai yang berusaha merebut hati rakyat. Mareka terlihat “manis-manis” dan “patriotis” sekali. Seakan-akan merekalah orang-orang yang paling memerhatikan nasib rakyat (janji dan jargon mereka bahkan terlihat lucu-lucu, seperti berbagai gambar yang saya sajikan ini).

Tapi sayangnya, fenomena selalu berulang. Sudah banyak para caleg berjanji, tapi setelah mereka terpilih, janji tinggal janji. Sejak tahun jebot sudah begitu. Tidak ada perubahan. Sekarang apakah kita masih berharap pada semua ini? Pada demokrasi? Tidakkah kita muak sudah bertahun-tahun diperlakukan seperti ini?

 

Sodaranya Obama

Sodaranya Obama

?

Lucu bange posternya
Lucu bange posternya

“Mengutuk Demokrasi, Tapi Menikmatinya”

sampahLontaran lain yang kerap kali dialamatkan kepada pihak-pihak yang menolak demokrasi adalah “mengutuk demokrasi, tetapi menikmatinya.” Mereka menyatakan bahwa orang-orang yang tidak mau menerima demokrasi itu adalah orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih, karena tindakan mereka menolak demokrasi itu sebenarnya adalah karena berkah demokrasi. Kalau kran demokrasi tidak dibuka lebar-lebar, tentunya orang-orang seperti itu tidak akan diberi kesempatan untuk meneriakkan penolakan mereka terhadap demokrasi.

Sekilas, lontaran di atas kedengarannya benar. Setelah berlalunya rezim Orde Baru, kran demokrasi dibuka lebar-lebar melalui Reformasi. Setiap orang bebas untuk menyatakan pendapat dan opininya. Suara-suara oposisi terhadap rezim yang berkuasa kini bisa kita dengar di berbagai forum. Dengan demikian kebebasan seperti tadi adalah berkah demokrasi yang sudah seharusnya “disyukuri”. Jadi demokrasi jangan dikutuk, karena ia telah berjasa besar membuat kita bebas berbicara sebagaimana saat ini. Ketika muncul orang-orang yang tidak suka terhadap demokrasi, pada hakikatnya mereka sedang menipu diri mereka sendiri. Sebab, mereka tidak sadar bahwa mereka sedang menikmati “anugerah” yang diberikan demokrasi.

Benarkah demikian? Hal ini mungkin benar bagi orang-orang yang menganggap demokrasi membawa kebaikan dan berkah. Namun orang-orang yang mengutuk demokrasi itu (termasuk saya), tidak pernah sama sekali menganggap demokrasi sebagai kebaikan dan berkah. Justru demokrasi membawa bencana dan malapetaka besar bagi kehidupan kita sekarang ini. Demokrasi telah banyak menghabiskan uang rakyat dengan pagelaran pemilu yang selalu gagal menghasilkan pemimpin yang adil dan bijaksana. Karena demokrasi pula negeri kita tetap berada di bawah cengkeraman asing yang tidak berkesudahan. Gara-gara demokrasi lahirlah berbagai undang-undang yang berpotensi menyengsarakan rakyat dan membuat orang asing dengan bebas mengangkangi sumber daya alam kita. Gara-gara demokrasi pemerintahan kita dikontrol total oleh para konglomerat. Lantas di mana berkahnya demokrasi? Apakah hanya karena demokrasi itu telah membuat kita bebas berbicara kemudian dengan serta merta kita menganggap dia membawa berkah? Naif dan simplistik sekali.

Sudah saatnya kita melepaskan diri kita dari cengkeraman demokrasi. Demokrasilah yang telah membuat kita hidup sengsara dalam cengkeraman penjajahan global.

follow @sayfmuhammadisa

Tentang Perempuan

Maryam, anak pertama saya, mulutnya celemongan karena habis makan. Insya Allah bulan Desember mendatang adiknya si Maryam akan dilaunching.
Maryam, anak pertama saya, mulutnya celemongan karena habis makan. Insya Allah bulan Desember mendatang adiknya si Maryam akan dilaunching.

Pada suatu ketika, saya pernah ngobrol-ngobrol dengan istri saya. Saya bilang, “Fase hidup yang paling berbahaya bagi seorang perempuan adalah ketika dia harus menghadapi lamaran seorang laki-laki.” Mungkin fase ini juga berbahaya bagi seorang laki-laki, tapi karena ini adalah tulisan saya, saya ingin membicarakan perempuan saja, hehe… Istri saya bertanya-tanya, kenapa saya bilang seperti itu? Sekarang mari kita coba obrolkan.

Ketika seorang perempuan telah mencapai usia yang matang, maka biasanya akan datang lelaki yang akan melamarnya, meminta dia menikah dengan lelaki itu, dan menjadi istrinya, kemudian menjalani seluruh sisa hidup dengan lelaki itu. Coba kita bayangkan, datanglah seorang lelaki, asing sama sekali, belum pernah dikenal sebelumnya, tetapi tiba-tiba lelaki itu meminta jiwa, raga, dan agama sang perempuan secara utuh untuknya. Apakah saya terlalu lebay? Saya rasa tidak.

Jika ada seorang lelaki datang hendak melamar seorang perempuan, itu tandanya lelaki tadi sedang meminta seluruh hidup sang perempuan. Jika sang perempuan tadi bersedia menikah dengan si lelaki, tandanya dia harus menyerahkan jiwa dan raganya serta seluruh sisa hidupnya kepada lelaki tadi, tak ketinggalan pula seluruh loyalitasnya. Tidakkah ini amat berbahaya? Tentu saja ini amat berbahaya setidaknya di mata saya. Terlebih lagi, lelaki itu tidak pernah dikenal sama sekali oleh sang perempuan, benar-benar asing. Sementara dunia ini penuh dengan kepura-puraan dan sandiwara. Bagaimana kalau misalnya lelaki itu ternyata brengsek? Tentunya hanya derita yang akan dirasakan sang perempuan sepanjang sisa hidupnya. Malang benar nasib perempuan (mulai lebay nih).

Tapi tunggu dulu, jangan dulu merasa galau. Islam datang kepada kita sebagai satu-satunya petunjuk yang baik. Untuk menghadapi hal ini, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita sesuatu yang amat berharga. Kalau seorang perempuan kadatangan seorang lelaki yang hendak melamarnya, setidaknya kenalilah satu hal, seberapa taat lelaki itu kepada agamanya.

Jodoh memang di tangan Allah, dan hanya Dia yang mengetahuinya, namun Allah tidak pernah memberitahu kita tentang siapakah jodoh kita itu, tetaplah kita harus memilih sendiri. Di sinilah Rasulullah mengajarkan, jika kita memilih orang yang taat kepada agamanya, maka akan beroleh kebahagiaan, Insya Allah.

Saya tidak pernah tahu seperti apa wajah istri saya ketika saya hendak menikahinya dahulu. Berkali-kali dia menawarkan kepada saya untuk mengirimkan fotonya, tapi saya selalu menolak. Saya sudah siap untuk menerima seperti apapun bentuk fisik dan seperti apa wajah istri saya kelak, karena hal paling penting yang harus saya tahu sudah saya dapatkan. Kenyataan bahwa istri saya adalah seorang perempuan yang salehah, aktivis dakwah kampus, penyabar, dan penyayang, sudah cukup untuk membuat saya berjuang keras untuk menikah dengannya. Dan saya ingin menikahinya karena ketaatannya kepada agama dan karena sifat-sifatnya itu, bukan karena wajah atau bentuk fisiknya. Karena itulah saya menolak ketika dia menawarkan fotonya kepada saya, walau pun saya berhak untuk melihat fotonya (walaupun menikahi perempuan karena melihat kecantikannya itu tetap dibolehkan). Kalau saya lihat fotonya, saya kuatir nanti memilih dia hanya karena wajah dan bentuk fisiknya itu, padahal saya hanya ingin memilih dia karena ketaatannya kepada Allah. Ketika itu yang saya pikir adalah, bagi saya tidaklah penting seperti apa bentuk fisik dan wajahnya, sebab saya yakin bahwa Rasulullah sudah menjamin saya akan hidup bahagia dengannya karena dia adalah perempuan yang taat kepada Islam. Saya sudah siap, walau pun mungkin ternyata kupingnya cuman sebelah, atau lubang hidungnya cuman satu, misalnya (hehe). Dan ketika saya benar-benar bertemu muka dengan dia menjelang pernikahan, Allah menyempurnakan kebahagiaan itu dengan kecantikan wajah dan kesempurnaan fisiknya. Dialah istri saya, dan saya bahagia hidup dengan dia (mudah-mudahan dia juga bahagia hidup dengan saya, ehm).

Follow @sayfmuhammadisa

Memuji Istri (Sekadar Obrolan Para Suami)

Apakah ada sesuatu yang aneh di dalam diri saya karena saya membuat tulisan ini? Saya rasa tidak (saya yang bertanya, dan saya juga yang menjawab, hehe)! Dengan kata lain saya serius dengan judul yang saya pajang di atas, sebab ada permasalahan krusial di dalamnya.

Pada masa-masa awal pernikahan, mungkin kita (maksudnya para suami) begitu mudah dan amat terbiasa untuk memuji istri kita. Ketika itu cinta memang sedang mekar-mekarnya di taman hati. Namun tak lama berselang, kita akan semakin mengenal tentang seperti apa istri kita itu. Kita akan tahu hal-hal menggelikan dari dirinya, kita juga akan tahu hal-hal yang menyebalkan dan bahkan amat mengganggu kita yang ada di dalam dirinya. Seiring berjalannya waktu, hubungan yang hangat saat di awal pernikahan lama kelamaan akan mendingin, dan bahkan bisa saja menjadi beku. Hubungan yang membeku ini kemudian ditandai dengan saling acuh tak acuh, canda tawa menjadi hampa, dan kita menjadi malas untuk memuji istri kita.

Saya ingin mengatakan bahwa memuji istri amatlah penting, seiring dengan berderainya canda dan tawa, yang akan menghangatkan hubungan suami-istri. Terkadang suami malas memulai hal ini karena gengsi. Saya rasa, kita, para suami, harus ingat, bahwa pujian dan canda adalah seperti makanan bagi jiwa istri. Kalau kita ingin istri kita terlihat awet muda dan cantik di hadapan mata kita, maka selalulah membuatnya tersenyum dengan sanjung puji dan canda dari kita. Para suami memang harus berinisiatif dalam hal ini.

Walau pun mungkin kita sudah mengetahui hal-hal menjengkelkan dari istri kita, pastilah ada lebih banyak hal yang baik yang telah ia berikan kepada kita. Maka palingkanlah wajah kita dari hal-hal yang menjengkelkan itu, kemudian tengoklah sisi baik darinya, kemudian pujilah. Karena saya telah melakukan semua ini, maka saya berani menulis hal ini. Jadi saya memang sudah merasakannya sendiri, dan semua itu berdampak positif bagi kondisi fisik maupun mental istri, termasuk “pelayanannya” kepada kita, para suami. Insya Allah. silakan dicoba. Hehe… (bernuansa jadi konsultan keluarga sakinah).

Tentang Kenapa

night-sky-hd-wallpaperSemua rahasia adalah di langit jawabannya. Tersimpan rapi di dalam helaian-helaian bintang, dijagai oleh malam dan siang. Sanubari mencari-cari, menerawang ke satu tempat penuh misteri. Di mana semua tanda tanya, seribu rasa menyerbu jiwa. Selama tanah masih dipijak, selamanya penantian akan menyiksa. Dan wajah tidak sanggup menengadah. Tidak kuasa jemari meraih semua asa. Karena hidup akan terus bertanya, kenapa? Kenapa? Cuma langit yang tahu jawabannya. Sayang, dia tidak akan pernah mau bicara! Tapi, waktu yang bijak tidak akan terus membisu. Suatu hari nanti, dia akan memberi tahu, tentang semua kenapa harus  begitu!

Cut Meutia dan Tiga Peluru (3)

Teungku Ismail Yakub dalam karya klasiknya yang berkisah tentang Cut Meutia mengisahkan bahwa Sultan Aceh Alaiddin Muhammad Daud Syah turut aktif dalam perjuangan di pedalaman Aceh. Sebagai seorang pemimpin perlawanan, suami Cut Meutia, Teuku Cik Tunong, berkoordinasi dengan Sultan Aceh, sementara Cut Meutia sendiri selalu menyertainya.

Semakin hari berlalu, perjuangan jadi semakin sulit. Para ulama dan penglima yang memimpin perlawanan telah banyak yang syahid karena peluru Belanda. Dalam masa-masa seperti itu tersiarlah kabar bahwa Sultan Aceh telah “turun gunung”. Maksud turun gunung di sini adalah menyerah kepada Belanda. Penyerahan ini dikabarkan diikuti oleh para pembesar kesultanan lainnya, seperti Panglima Polem dan Tuanku Raja Keumala. Mulanya Teuku Cik Tunong ragu akan kebenaran kabar itu. Setelah ditelusuri, ternyata kabar itu benar adanya. Sultan menyerah di Ie Leubeue Pidie pada tanggal 9 Januari 1903. Dari Sigli, Sultan berangkat ke Kutaraja (Banda Aceh) pada tanggal 13 Januari 1903. Pada tanggal 20 Januari 1903, Sultan bersama putranya, Tuanku Ibrahim, diterima oleh Gubernur J.B. van Heutsz.

Para pejuang tidak pernah memandang hal ini adalah sebuah penyerahan diri, melainkan sebuah upaya pengumpulan kekuatan kembali, dan ketika nanti kesempatan telah terbuka, perlawanan pun akan dikobarkan kembali. Karena itulah Teuku Cik Tunong ikut turun gunung juga. Berdasarkan catatan dari buku Gedenkboek  van Het  Korps  Marechaussee  van  Atjeh  en  Onderhoorigheden  1890  – 1940, melapornya Teuku Cik Tunong terjadi pada tanggal 5 Oktober 1903 di Lhokseumawe. Kira-kira 9 bulan kemudian setelah Sultan melapor di Ie Leubeue Pidie pada tanggal 9 Januari 1903. Bagaimana kisah kehidupan Teuku Cik Tunong dan Cut Meutia sekeluarga setelah peristiwa “melapor” ini? Insya Allah pada artikel selanjutnya.

Bersambung…

Follow @sayfmuhammadisa