Perang Sabil muslim Aceh melawan kafir Belanda yang dimulai ketika Belanda menyerbu Aceh pada tahun 1873 adalah perang terdahsyat dan terlama yang harus dihadapi Belanda sepanjang sejarah kolonialisme mereka di timur. Aceh adalah sekolah perang bagi militer Belanda, sebab di Aceh, Belanda harus menghadapi sekelompok manusia yang begitu teguh mengangkat senjata, berani, memiliki daya tahan tinggi, dan memiliki permusuhan yang begitu mendalam terhadap penjajahan mereka. Sehingga sepanjang penjajahan mereka di aceh, mereka tidak sanggup berdiri dengan tenang.
Salah satu hal yang membuat semangat perang muslim Aceh begitu berkobar adalah sebuah karya sastra, Hikayat Perang Sabil. Karya sastra ini menjadi bukti bahwa sastra adalah salah satu media yang sangat efektif untuk membangkitkan semangat, keyakinan, keimanan, dan spirit rela berkorban di dalam diri manusia. Dengan demikian jangan ada lagi siapapun yang meremehkan sastra.
Hikayat Perang Sabil konon ditulis oleh Teungku Cik Pante Kulu dalam perjalanan pulangnya dari Makkah setelah menunaikan ibadah haji. Seluruh bagian dari karya sastra ini berisi seruan dan dorongan agar muslim Aceh turun ke medan perang sabil untuk melawan kaphe (kafir, bahasa Aceh) Belanda. Di dalamnya berisi kisah-kisah kepahlawanan yang ditulis dalam bentuk hikayat. Menurut Teungku Ali Hasymi, seorang cendekiawan besar Aceh, kisah-kisah di dalam Hikayat Perang Sabil adalah fiksi.
Salah satu bagian dari hikayat ini berkisah tentang Ainon Mardhiyah (penyebutan lainnya adalah Ainul Mardhiyah). Kisah ini bercerita tentang seorang pemuda yang di dalam karya sastra ini disebut mudabelia. Dia adalah seorang pemuda yatim piatu yang ditinggali harta warisan yang lumayan dari orangtuanya. Dia pun adalah seorang murid dari seorang ulama yang bernama Abdul Wahid. Ketika itu mudabelia sedang berada di majelis gurunya yang sedang membahas perang sabil dengan orang tua-tua. Sementara di majelis itu juga ada orang yang menyenandungkan ayat Alquran. Salah satu ayat itu adalah surat Attaubah ayat 111. Inilah yang dikatakan mudabelia kepada gurunya.
Rindu hati tidak tertahan
Bertanya sambil memuji Ilahi
“Adakah benar yang demikian
Wahai Teungku payung kami?”
“Allah membeli nyawa kami
Surga tinggi tukaran pasti
Kalau memang demikian janji
Sekarang ini hamba pergi”
Abdul Wahid menjawab pasti
“Memang demikian anakku jauhari
Tuhan kita Khaliqulbahri
Tidak akan mengubah janji”
Mudabelia berdatang sembah
“Insyaallah wahai ya saidi
Nyawa dan harta, daging berdarah
Rela menyerah kepada Ilahi”
Pulanglah mudabelia ke rumahnya. Seluruh hartanya dia habiskan untuk belanja perang sabil. Dia beli senjata dan kuda. Dan bahkan dia tidak hanya belanja untuk dirinya sendiri saja, tapi juga untuk kawan-kawannya yang tidak mampu tapi ingin ikut dalam perang sabil. Hingga semua harta warisannya habis tak bersisa. Ketika datang hari keberangkatan pasukan ke medan perang sabil, mudabelia ada di barisan paling depan. Saat pasukan kelelahan dalam menempuh perjalanan menuju perang sabil, pasukan itu beristirahat. Mudabelia pun tertidur lelap.
Tiba-tiba mudabelia tersentak dan terbangun, dia menangis tersedu-sedu sambil menyebut-nyebut nama Ainon Mardhiyah. Saat kawan-kawannya bertanya kepadanya apa yang menyebabkan dia menangis dan meracau begitu rupa, dia tak mau menyahut. Hingga datanglah Abdul Wahid dan bertanya hal yang sama kepadanya. Kepada Abdul Wahid-lah Mudabelia menceritakan semuanya.
Tertidur hamba bagaikan pingsan
Rasanya terpandang sorga tinggi
Dahsyat ajaib tidak terlukiskan
Teladan umapama tiada di sini
Mudabelia menceritakan kepada guru dan teman-temannya apa yang disaksikannya dalam mimpinya, yang akan jadi tamsil ibarat bagi umat manusia.
Muda pahlawan lanjutkan kisah
Rasa hamba berjalan sendiri
Sepanjang sungai beralam indah
Ribuan kandil warna warni
Kandil bergantung tanpa tali
Berbuai indah karunia Allah
Batu pantai intan baiduri
Cahaya cemerlang sinar berseri
Demikian rupa siang dan malam
Kehendak Tuhan Ilahi Robbi
Termenung hamba duduk diam
Hilang akal, hilang budi
Cahaya zamrut penaka bintang
Sinar pualam setahun lari
Rasakan pingsan hamba memandang
Akal melayang, ingatan khali
Telapak kaki terasa tiada
Jatuh terkulai pantun diri
Sungai bening manis rasanya
Kalkausar nama dari Ilahi
Mudabelia dalam mimpinya berjalan sendiri, mengikuti arus sebuah sungai yang bening dan indah. Pasir di sekitarnya dari intan permata. Ada kandil-kandil yang melayang tanpa tali. Semuanya adalah keindahan tak terperi. Mudabelia terus berjalan menyusuri sungai itu, hingga dia melihat ada dara-dara yang sedang mandi.
Dara turun mandi bersama
Di air bening kecimpung riang
Kulit kuning memancar cahaya
Dalam sungai sinar cemerlang
Sambil mandi dara bernyanyi
Berbalas pantun lagu rindu
Suara merdu bagaikan nafiri
Mengalun nyaman menyentuh kalbu.
Kain tipis lilit di badan
Kalung mutiara pakai di dada
Umur sebaya, rupa sepadan
Muda remaja gadis jelita
Memandang betapa cantiknya dara-dara itu, sebagai lelaki normal pastinya Mudabelia merasa terpesona dan terbangkitkan naluri cintanya. Ketika dara-dara bidadari itu menatap padanya, mereka berkata bahwa mereka hanya dayang-dayang, sementara tuan putri telah lama menunggu Mudabelia di depan sana.
Dara gairah mencumbu daku
“Datang sudah jodoh dinanti
Tunangan putri berhati rindu
Selamat tuan sampai di sini
Mudabelia berjalan lagi, menyusuri sungai Kalkausar. Di depan dia menemukan lagi dara-dara jelita. Dara-dara itu menyambutnya dan mengatakan hal yang sama. Bahwa tuan putri telah lama menunggunya, dan mereka hanyalah dayang-dayang dari tuan putri itu.
Dara jenaka mengedip hamba:
Bercumbu kata seperti tadi
“Sampailah janji, jodoh pun tiba
Menyongsong adinda gahara putri
Termenung heran wahai guruku,
Mendengar cumbu kata dara
Lihat rupa bulan syahdu
“Apa gerangan kata adinda”
Tuanku ampun raja kami
Putri dendam dalam istana
Kasih bergelut di dalam hati
Siang malam rindukan kakanda
Kami ini dayang-dayang
Hanya pelayan tuan putri
Kemudian hamba terus berjalan
Jumpa lagi sungai suci
Beberapa kali Mudabelia bertemu dengan taman dan sungai. Beberapa kali pula dia bertemu dengan dara-dara jelita yang sedang mandi atau sedang bermain-main. Berbagai keindahan mengepungnya, namun belum dia temukan juga di mana tuan putri yang katanya telah menunggunya itu.
“Assalamualaikum putri pilihan
Di sinikah gerangan jodoh hamba?
Ainon Mardhiyah di mana tuan?
Katakan wahai dara jelita”
Dara rupawan sampaikan pesan
Suara bagaikan buluh perindu
Lagu merdu, irama menawan
Penaka rebab menyayat kalbu
Heran sesaat termenung hamba
Keringat limpah, kalbu merindu
“Marhaban salam bahagia
Selamat datang tuan kemari”
Sampailah Mudebalia di hadapan sebuah istana dengan taman-taman yang indah tidak terperi. Sampai-sampai kata-kata tak sanggup lagi melukiskan keindahannya. Ketika dia masuk ke taman-taman itu, dia bertemu lagi dengan dara-dara jelita (isinya surga emang bidadari doang ya! Subhanallah.)
“Alhamdulillah kurnia Ilahi
Pahlawan kami telah tiba
Dayang-dayang lunglai berlari
Kepada putri laporkan berita
Lihat wahai putri andalan
Jodoh tuan kemala negeri
Itu di taman muda pahlawan
Rindu dendam di dalam hati
Berjumpalah Mudabelia dengan Ainon Mardhiyah. Kegembiraannya tak terperi, ketika mata mereka saling berpandang. Gelora hati membuncah dalam, menikmati cinta karunia ilahi.
“Ya Allah Tuhan penyayang
Mahasempurna karuniaMu ini
Jodohku kekasih sayang
Kemala negeri telah kembali
Cinta melanda pantai hatiku
Panah rindu mengamuk di dalam
Kini kami sudah bertemu
Kekasihku datang bawakan manikam
… Aduhan kakanda kemala hati
Mujahid sejati kekasih Allah
Hatiku gaira mari kemari
Adik menanti berhati gelisah
Kemari sayang, ke atas peraduan
Bantal tilam emas bersuji
Silakan mari kakandaku tuan
Cinta bergelut di dalam hati
Malu mengapa kemala negeri
Istana ini pusaka Ilahi
Untuk kakanda mujahid berani
Pejuang sabil dalam perang suci
Ketika Mudabelia telah diselimuti gairah cinta, ia hendak memeluk dan mencium Ainon Mardhiyah. Sayangnya, dengan lembut Ainon Mardhiyah menolaknya.
Gemetar tubuhku sekujur badan,
Hilang keseimbangan dalam diri,
Ingin memeluk dara rupawan,
Tetapi puteri mengelak diri
“Aduhai tuan mainan hatiku,
Sabar dulu kemala negeri,
Sebentar lagi datanglah waktu,
Sekembali abang dari Perang Suci.
Aduhai sayang pahlawan setia,
Malam ini sampailah janji,
Sekejap tangguh pinta adinda,
Jiwa kakanda belumlah suci.
Pinta kakanda makbul sudah,
Kembalilah sayang ke medan perang,
Asalkan niat ikhlas lillah,
Meninggikan Kalimah Tuhan Penyayang
Ainon Mardhiyah menyuruh Mudabelia kembali ke medan perang. Sebab masih ada kewajiban yang harus ditunaikan. Nanti kalau gelar syuhada telah disandang, itulah mahar paling indah buat Ainon Mardhiyah. Subhanallah, walhamdulillah, wallahu akbar.
Setelah menceritakan semua itu, turunlah Mudabelia ke medan perang. Sudah banyak kaum kafir yang tewas di tangannya, hingga meraih syahid dalam perang sabil. Cintanya kini menyatu dengan Ainon Mardhiyah. [sayf]