Novel Ghazi jilid 3 sedang dalam tahap produksi. Mohon doa kawan-kawan agar berjalan lancar dan maksimal. Berikut ini sedikit trailer novel Ghazi 3: The Howling of Wolf, The Eyesight of Eagle.
Episode 23
Valea Draganului
Pasukan Hungaria itu mendekati tepian sungai. Mereka ingin cepat-cepat melintasi sungai itu sambil mencuci muka atau mengisi kantung-kantung air mereka yang telah mengering. Air memang membawakan kehidupan bagi jiwa-jiwa yang kehausan.
Hunyadi menggerakkan kudanya untuk mendekati Sigismund. Ada sesuatu yang hendak dibicarakannya.
“Yang Mulia,” katanya, “lebih baik kita mendirikan kemah dan bermalam di sepanjang lembah ini. Sebab hari telah semakin sore. Akan cukup berbahaya jika kita kemalaman di dalam hutan. Besok pagi-pagi sekali kita lanjutkan perjalanan! Jika tidak ada halangan, kita akan tiba di pusat Transylvania setelah berjalan seharian.”.
Sigismund mengangguk. “Baiklah, lakukanlah apa yang kau anggap perlu!”.
Hunyadi baru saja hendak melecut kudanya untuk memberi perintah kepada seluruh pasukan, ketika Barbara mengarahkan telunjuknya lurus ke depan.
“Tunggu! Lihatlah!” Serunya.
Serta-merta Hunyadi mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi untuk memberi tanda agar seluruh pasukan berhenti melangkah. Semua orang menatap ke depan, ke arah yang ditunjuk Barbara.
Di sana, di seberang sungai yang mengalir dengan tenang itu, ada dua orang prajurit yang menunggang kuda. Semua pandangan mata milik orang-orang yang ada di barisan terdepan pasukan Hungaria itu tertuju ke sana. Semuanya bertanya-tanya tentang siapakah kedua prajurit berkuda itu. Tiba-tiba Hunyadi menyadari sesuatu.
“Turki Utsmani,” gumamnya.
Sigismund menoleh kepada Hunyadi sambil membelalak. Kemudian dia kembali mengarahkan pandangannya kepada kedua prajurit berkuda yang ada di seberang sungai.
Di hadapan Kaisar Romawi Suci dan seluruh pasukannya, ada dua orang prajurit berkuda. Mereka adalah prajurit Janissari Turki Utsmani dengan pakaian seragamnya yang khas. Topi tinggi yang bagian belakangnya menjuntai hingga ke punggung terpasang di kepala mereka. Seragam merah Janissari di tubuh mereka dilapisi baju zirah yang gagah. Masing-masing mereka menggenggam sebatang tombak panjang dengan bendera yang berkibar megah di ujungnya. Salah seorang prajurit memegang bendera merah berlambang bulan sabit dan bintang, bendera Turki Utsmani. Seorang prajurit yang lain memegang bendera hitam bertuliskan Kalimah Syahadat, itulah panji perang Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam. Mereka menatap tajam kepada seluruh pasukan Hungaria.
“Tak salah lagi,” kata Hunyadi, “mereka adalah prajurit Janissari, pasukan elit Turki Utsmani!”.
“Mengapa ada orang Turki di tempat seperti ini?” Sigismund gusar alang kepalang.
“Kemungkinannya hanya satu, Yang Mulia, berarti Transylvania telah berada di bawah kendali mereka,” sahut Hunyadi.
“Apa yang harus kita lakukan?” Tanya Barbara.
“Hancurkan saja mereka,” kata Sigismund sambil mengacungkan telunjuknya. Matanya membelalak, dia benar-benar gusar. “Tembak mereka dengan panah. Bunuh mereka.”
“Sabar dulu, Yang Mulia, kita tidak boleh bertindak gegabah,” kata Hunyadi. Dia mengangkat tangannya dan berusaha menenangkan rajanya. “Kehadiran mereka pasti telah direncanakan dengan matang, dan mereka pastilah bukan orang-orang sembarangan. Kita tidak boleh salah bertindak, atau kita sendiri yang akan hancur!”.
“Mereka cuma berdua, Jonas, kita bisa memusnahkan mereka dengan mudah,” serapah Sigismund.
“Yang Mulia, itu tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin. Di belakang mereka pasti sudah ada ratusan bahkan mungkin ribuan tentara Turki Utsmani. Di balik semak-semak dan pepohonan itu pasti mereka sedang menunggu. Mungkin mereka terlihat hanya berdua, tapi kenyataannya pasti tidaklah begitu. Kita tidak boleh bertindak gegabah.”
“Lantas apa yang harus kita lakukan, Jenderal?” Tanya Cesarini. Dia tak kalah galau dengan Sigismund.
“Kita harus tenang, jangan bertindak terburu-buru,” Hunyadi menatap tajam kepada dua orang pasukan Turki di seberang sungai, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar lembah itu.
Pasukan Hungaria sudah ribut menyoraki kehadiran prajurit Turki Utsmani itu. Segala sumpah serapah dan caci-maki terlontar deras dari mulut-mulut mereka. Namun segala hal tidak berguna itu tak dihiraukan oleh kedua prajurit Turki Utsmani tadi. Mereka tetap duduk tegap dan tenang di atas pelana kuda mereka sambil menatap tajam kepada seluruh pasukan Hungaria.
“Apa yang mesti kita lakukan, Jonas?” Sigismund sudah tidak sanggup menahan kerisauannya, emosi, dan amarahnya. “Mereka tegak dengan kesombongan di hadapan kita, lantas apakah kita mesti diam saja?”
“Tidak, Yang Mulia,” kata Hunyadi, “kita tidak akan diam saja. Aku akan mencari tahu apa yang mereka inginkan!”
Hunyadi menjalankan kudanya menghampiri tepi sungai. Sekarang, yang memisahkannya dengan kedua prajurit Turki Utsmani itu hanyalah aliran air sungai.
“Apa yang kalian inginkan?” Hunyadi mendongak dan menguatkan suaranya agar terdengar ke seberang.
Prajurit Muslim yang membawa panji Rasulullah menggerakkan kudanya lebih dekat ke tepi sungai. Suaranya menggelegar seisi lembah.
“Wallachia dan Transylvania telah berada di bawah perlindungan Islam. Kami menyeru kepada kalian semua, untuk berpegang teguh pada kalimat yang satu. Sebuah kalimat yang kokoh yang akan menyatukan kita semua,” tangan prajurit Turki itu terangkat, telunjuknya tegak menikam langit. “Sembahlah Allah, Tuhan yang satu, Dialah Tuhan semesta alam, Tuhannya Yesus Kristus dan Muhammad shalallahu‘alayhi wasallam. Jangan menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun. Taati semua perintahNya, dan jauhi segala laranganNya. Berpegangteguhlah kepada Islam sebagai risalah terakhir dari Tuhan semesta alam!”
Desir angin membawa seruan suci itu kepada seluruh pasukan kafir. Dan seruan yang amat mulia itu hanya membuat hati mereka semakin bebal. Hunyadi tersenyum mengejek.
“Bagaimana kalau kami tidak mau?” Tanyanya.
“Pulanglah kalian ke rumah-rumah kalian. Sesungguhnya Wallachia dan Transylvania telah berada di bawah perlindungan Islam. Kami akan menerapkan syariat Islam di sana dan akan kami sejahterakan seluruh penduduknya sebab Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Kelak, kami akan datang ke negeri kalian untuk membebaskan kalian dari seluruh sistem dan aturan kufur yang menyengsarakan kalian. Insya Allah.”
“Kalau kami tetap tidak mau?” Hunyadi kembali memampang senyum mengejek.
Prajurit Janissari itu membelalak dan menyeringai kepada Hunyadi. Bendera hitam di ujung tombaknya berkibar diembus angin. Dia bicara dengan penuh ketegasan.
“Kalau kalian tetap tidak mau, kami yang akan memulangkan kalian… … ke Neraka!”.
Hunyadi menelan ludah. Dia tahu persis bahwa ancaman tentara Janissari itu bukan sekadar bualan. Seluruh pasukan Hungaria berada di dalam posisi yang tidak menguntungkan. Mereka sama sekali tidak bisa melihat di mana musuh mereka. Yang ada di hadapan mereka hanya dua orang tentara Janissari. Ancaman dari tentara Janissari itu berlanjut.
“Aliran sungai di lembah ini adalah pembatas antara kalian dengan pintu Neraka. Jika kalian berani menyeberangi sungai ini, berarti kalian telah mempersiapkan diri untuk mati sia-sia dan masuk Neraka.”
Setelah mengabarkan sebuah kabar gembira dan memberi peringatan, kedua tentara Janissari itu berbalik dan pergi. Mereka berjalan menuju lereng gunung dan lebatnya hutan menelan mereka. Mereka sudah menghilang dari pandangan. Yang tertinggal adalah kesunyian Valea Drăganului dan seluruh pasukan Hungaria yang bertanya-tanya.
Hunyadi kembali kepada Sigismund dengan raut wajah yang keruh. Kegalauan berhamburan dari seluruh tubuhnya.
“Mereka menyeru kita masuk Islam,” kata Hunyadi. “Jika kita menolak, mereka meminta kita untuk pulang saja, sebab Wallachia dan Transylvania telah berada di bawah perlindungan mereka.”
“Semua itu tidak akan mungkin terjadi,” Sigismund meninju telapak tangannya sendiri.
“Jika kita menyeberangi sungai ini, perang akan pecah,” kata Hunyadi.
“Bukankah itu yang kita inginkan?” Sigismund ketus.
Hunyadi melempar pandang ke lereng gunung di seberang sungai. Jika hendak maju terus, mereka harus menyeberangi sungai itu dan mendaki lereng gunung agar tiba di Transylvania. Hunyadi yakin benar, walaupun terlihat sunyi, lereng gunung itu telah dipenuhi oleh tentara Turki Utsmani.
“Aku tidak menyangkal semua itu, Yang Mulia,” katanya. “Hanya saja, yang jadi masalah, kita tidak bisa melihat musuh kita. Dan hal itu menjadi kelemahan bagi kita.”
“Kita tidak perlu khawatir, tuhan Yesus Kristus berserta kita.” Kata Sigismund. “Sekarang perintahkan seluruh pasukan untuk menyeberangi sungai. Kita harus merebut kembali tanah Kristendom yang terampas.”
Tak ada lagi pilihan lain. Hunyadi mencabut pedangnya dan berteriak lantang.
“DEUSSS VUUUULLLTTT!!”.