Sebuah fiksi-sejarah
Malam menggeliat memeluk alam, menyenandungkan nada yang suram bagi waktu-waktu yang muram. Manusia kembali ke peraduannya, mendekap kekhawatiran. Setiap dada diguncang api dalam sekam. Tak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi, kecuali Allah Robbul ‘izzati. Istanbul, ibukota Khilafah Islam, tenggelam dalam kelam. Purnama kelam menyaksikan peradaban manusia, murung dan sayu.
Sebuah kereta kuda melintasi malam yang baru datang itu dengan cepat. Seorang laki-laki berjas hitam duduk di kursi sais, setengah membungkuk, sebab melarikan kereta kuda itu dengan gila-gilaan. Angin menderu kencang, menerbangkan surai dua ekor kuda yang gagah-gagah di depan. Yang derap kakinya berketoplak cepat. Sais kereta kuda itu sedang menjalankan amanah, mengantarkan seorang Syekh ke tempat tujuannya.
Di dalam kereta kuda duduklah seorang Syekh yang sedang tergesa-gesa. Tangannya tergenggam menopang dagunya. Sesekali ia membelai janggut lebatnya yang telah putih. Sorban menutupi kepalanya dengan penuh wibawa. Ia mengenakan sebuah mantel tebal untuk menutupi tubuh tuanya, sebab malam begitu dingin. Matanya yang masih tajam menatap keluar, kepada jalan-jalan yang sepi, berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Hatinya selalu menggelayut kepada Allah azza wa jalla, lidahnya selalu basah dengan puji-pujian kepadaNya, terlebih di saat-saat yang genting seperti malam itu. Dialah Syekh Yusuf an Nabhany. Seorang ulama yang wara’, dan amat disegani. Dan dia harus cepat, tak boleh terlambat.
Dengan susah payah sais kereta kuda menarik tali kekang kuat-kuat, untuk menghentikan derap kaki kuda. Akhirnya tibalah Syekh Yusuf di hadapan sebuah gerbang besar, gerbang istana Yildiz. Ia segera turun dari kereta kuda dengan terburu-buru, dan setengah berlari ia menghampiri saisnya.
“Kau pulanglah duluan,” perintahnya.
Lelaki sais itu terkejut mendengar perintah Syekh Yusuf. “Nanti siapa yang akan mengantar Syekh pulang?”
“Aku tidak akan pulang malam ini. Aku akan tetap di sini menemani Khalifah.”
Sais itu tak bisa bicara apa-apa lagi, ia mengangguk dan segera memacu kereta kudanya. Tinggallah Syekh Yusuf di hadapan gerbang besar istana Yildiz. Dua orang penjaga berseragam hitam segera keluar menghampiri Syekh yusuf.
“Syekh, mengapa datang malam-malam?” Tanya penjaga itu dengan hormat. Dia telah mengenal siapa Syekh Yusuf.
“Aku ingin bertemu dengan khalifah, ada hal yang sangat penting ingin kusampaikan,” sahut Syekh yusuf.
“Tapi ini sudah malam, dan Syekh tidak punya janji untuk bertemu dengan Khalifah.”
“Urusan ini sangat mendesak, menyangkut nasib kaum muslim, pertemukan aku dengan khalifah sekarang juga.”
“Mohon maaf, Syekh, aku tidak berani, kabinet telah menetapkan aturan protokoler bagi khalifah bahwa beliau tidak bisa ditemui pada malam hari.”
“Demi Allah dan RasulNya, orang-orang kabinet sudah banyak yang membebek pada kaum kafir, aturan yang mereka buat pasti akan mereka langgar sendiri, aku tahu itu. Kaum kafir telah berhasil menyusupkan aturan kufur ke dalam Daulah Islam. Demi Allah dan RasulNya, sebentar lagi akan datang musuh-musuh Islam untuk menemui Khalifah, sebelum mereka datang, aku harus menemui khalifah lebih dulu. Katakan pada Khalifah bahwa aku datang untuk menemuinya, untuk urusan Islam dan kaum muslim. Cepatlah.”
Penjaga itu mengernyitkan alisnya saat menatap Syekh yusuf. Dia tak bicara apa-apa, dan segera berbalik berlari menyusuri pekarangan istana yildiz yang luas. Syekh yusuf menunggu di depan pagar bersama seorang penjaga yang lain.
“Memangnya siapa yang akan datang menemui Khalifah, Syekh?” tanya penjaga itu.
“Insyaallah nanti kau akan tahu. Itulah tanda orang-orang kabinet menginjak-injak hukum buatan mereka sendiri. Jika kaum muslim ingin bertemu dengan Khalifah maka akan dihalang-halangi. Tapi jika kaum kafir yang ingin bertemu dengan Khalifah demi memuluskan kepentingannya, mereka akan memepertemukannya dengan leluasa.”
Setelah sepuluh menit menunggu, penjaga yang masuk ke istana tadi tiba kembali di pagar istana dengan terengah-engah.
“Khalifah sangat bersyukur Syekh datang malam ini, beliau ingin sekali menemui Syekh. Silakan, Syekh.” Katanya.
Kedua penjaga itu membukakan gerbang istana yildiz bagi Syekh yusuf an nabhany. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari, Syekh yusuf menyusuri pekarangan istana yang amat luas, hingga ia sampai di depan teras istana. Saat Syekh Yusuf mendekati teras itu ia melihat Khalifah Abdul Hamid II berdiri dengan gelisah. Ia tak henti melongok ke depan, ke tempat di mana Syekh yusuf akan datang. Setelah ia melihat sosok Syekh yusuf, ia segera berlari keluar teras dan memeluk ulama besar itu. seolah-olah seorang penyelamat telah datang.
“Alhamdulillah, wallahu akbar, terima kasih, Syekh, sudah mau hadir di sini,” ada getar kekhawatiran yang dalam di serat suara Khalifah Abdul Hamid. Ia menepuk-nepuk dengan lembut punggung Syekh yusuf.
“Ini kewajibanku,” kata Syekh yusuf pendek saja.
Khalifah segera mempersilakan Syekh yusuf masuk ke dalam istana yildiz. Mereka berada di dalam sebuah ruangan persegi yang luas. Dinding-dinding ruangan itu berwarna biru muda. Langit-langitnya indah, dihiasi dengan ornamen-ornamen berwarna putih dan emas. Di tengah-tengah ruangan itu, menggelantung pada langit-langit, ada sebuah lampur kristal yang besar dan menawan. Lampu itu berpijar menerangi seluruh ruangan. Persis di bawah lampu hias itu ada sebuah meja emas yang indah, yang dikelilingi kursi-kursi berukir. Sebuah cermin besar tertempel di salah satu sisi ruangan itu. Bingkainya berukirkan sulur-sulur yang melingkar, membuat keelokannya menembus sampai ke dasar hati. Jendela-jendela dengan bingkai putih turut mempecantik ruangan itu, yang setiap pagi selalu bermandikan sinar mentari.
“Apakah Syekh sudah mendengar kabar itu?” Tanya khalifah sambil mempersilakan Syekh yusuf duduk di tengah-tengah ruangan itu.
“Karena mendengar kabar itu sekarang aku berada di sini, Khalifah,” sahut Syekh yusuf.
000
Dari detik ke detik, menit demi menit, ketegangan meradang. Jantung berdegup kencang menantikan segala kejadian. Apa yang akan terlaksana malam itu, akan jadi penentu langkah Daulah Islam di masa depan. Dan malam itu, dua orang lelaki tawadhu yang di hati mereka hanya ada Islam dan kaum muslim, sedang menghadapi ujian berat dalam hidup mereka. Khalifah Abdul Hamid II, sultan ke-34 dari Khilafah Ustmaniyah, duduk di tengah-tengah ruangan megah di Istana Yildiz. Wajahnya menunduk, menatap kedua belah kepalan tangannya di atas meja. Fez berwarna merah bertengger di kepalanya, membuat segan orang yang menatapnya. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mengalir dari keningnya, padahal udara dingin menelusup dinding. Napasnya lambat, tetapi resah. Terkadang gelisah menyempitkan tenggorokannya, membuatnya kesulitan menelan ludah.
Di hadapan khalifah duduklah Syekh Yusuf an Nabhany. Ia bersandar ke kursinya, berusaha meringankan beban pikiran yang menggelayuti sorbannya. Sesekali matanya memandang Khalifah kaum muslim yang ada di depannya. Terbayang di matanya betapa berat beban seorang pemimpin. Tak heran jika Khalifah Umar ibn Khathab rela memanggul sekarung gandum dengan bahunya sendiri demi rakyatnya. Tak aneh jika ia begitu khawatir jika ada kaki seekor keledai yang terpeleset karena jalan yang berlubang di Iraq. Sebab semua itu akan ditanya, oleh Qadhi Rabbun Jalil ketika Dia menggelarkan pengadilannya yang besar kelak. Tak heran pula, jika malam itu Syekh Yusuf menyaksikan Khalifah Abdul Hamid bercucuran keringat, padahal malam begitu dingin.
“Semua sudah berjalan sebegini buruk, Syekh,” ratap Khalifah, “seolah-olah aku sudah tidak bisa menghentikan semua ini. Aku merasa ada dua pihak yang memerintah di dalam Daulah Islam, aku dan kabinet. Posisi kabinet sudah sedemikian kuat, bahkan mungkin mengalahkan kekuasaanku. Sampai-sampai mereka mengaturku tentang siapa orang-orang yang mesti kutemui, bahkan dengan dia, si Yahudi itu, Theodore Hertzl. Tadi siang perdana menteri Midhat Pasha meneleponku, dia mengabarkan akan ada pertemuan rahasia antara aku dengan Hertzl di sini. Dia memaksaku melayani Hertzl atau dia akan menggalang mosi tidakpercaya dari seluruh kabinet terhadapku, yang akan mengantarkan pada pemakzulanku. Kalau aku berhasil mereka gulingkan, aku khawatir kekuasaan akan dipegang kabinet secara penuh sebab tak ada seorang pun yang sanggup menggantikanku. Akhirnya jabatan Khalifah hanya jadi sekedar nama tanpa makna, hanya jadi simbol, tanpa kekuasaan apa-apa, sungguh tidak berguna.”
Syekh Yusuf mengembuskan napas kecewa. “Aku pun mengetahui kabar ini secara mendadak. Tadi sore, ‘Izzat Pasha membisikiku bahwa Dr. Hertzl malam ini akan menemui anda secara rahasia atas fasilitasi dari kabinet. Aku percaya kedatangannya membawa bahaya besar bagi Islam dan kaum muslim, karena itulah aku berusaha menemui anda malam ini, Khalifah. Aku memahami keadaannya sudah berjalan sedemikian buruk. Hukum-hukum dan sistem kufur sudah menancap di dalam tubuh Daulah Islam sejak lama, seperti racun yang akan terus menyebar dan sangat mematikan, yang akan membuat Daulah Islam semakin kacau. Kabinet menetapkan aturan protokoler bahwa anda tidak boleh ditemui setelah malam, tapi mereka sendiri yang melanggar hukum yang mereka buat dengan apa yang akan terjadi malam ini. Namun jangan sampai anda menyerah, Khalifah, anda adalah pemimpin kaum muslim.”
Khalifah Abdul Hamid II hanya menunduk, seakan-akan kehabisan kata-kata untuk diucapkan. Apalagi yang mesti ia lakukan? Dari luar, negara-negara kafir siap menerkam Khilafah Islamiyah tak ubahnya serigala-serigala yang lapar, dengan air liur menetes dan lidah menjulur menjijikan. Mereka berhasil menyulut berbagai pemberontakan dan berhasil menipu kaum muslim agar melepaskan diri dari naungan Khilafah Islamiyah dengan alasan murahan seperti nasionalisme. Dari dalam, mereka berhasil menanamkan antek-antek mereka dan sistem hukum mereka di tengah-tengah jantung Khilafah Islamiyah. Hingga tanpa sadar, kaum muslim terbius, dan menyangka bahwa hidup di bawah naungan hukum-hukum kufur dan negara-negara kufur itu lebih indah daripada di bawah naungan hukum Allah. Khalifah telah terpenjara, tak ada lagi jalan keluar baginya. Bayang-bayang buram menari-nari di hadapan bola matanya, sangat buram.
“Apalagi yang harus kulakukan, Syekh? Kemana lagi aku harus mencari jalan untuk menghentikan semua kerusakan ini? Apakah Khilafah Islamiyah ini akan runtuh? Allahu Robbi, aku tak sanggup membayangkannya. Apa yang akan terjadi pada umat kalau memang bencana itu menjadi kenyataan? Kerusakan sudah sebegini parah, aku tak sanggup menghentikannya. Allahu Robbi… Sekarang datang lagi musuh Islam ke hadapanku mengantarkan bencana… Allahu Robbi… Apa yang mesti kukatakan di hadapan Allah? Apa, Syekh?” Mata Khalifah telah berair, pandangannya telah nanar. Pemimpin yang tawadhu itu menangis tersedu-sedu, menangisi dirinya sendiri, menangisi negaranya, menangisi umat.
Syekh Yusuf menggeleng pelan. Dahinya mengernyit, bibirnya gemetar. Kepiluan yang tajam merajam hatinya. Suaranya parau, bergetar. “Masya Allah… Astaghfirullahal’azhim… Jangan menyerah! Jangan pernah anda menyerah, Khalifah. Masih banyak kaum muslim yang mendukung anda, yang sudi menanggung beban berat dalam mempertahankan tetap tegaknya Khilafah Islamiyah. Kalau memang kaum kafir membuat makar keji, serahkan saja mereka kepada Allah. Kalau memang antek-antek kafir dan hukum-hukum kufur telah sedemikian menggurita, pasrahkan saja dia kepada Allah. Kalau memang suatu hari kelak Khilafah Islamiyah akan runtuh, kembalikan dia kepada Allah. Sejauh mana pengetahuan kita terhadap hal itu, tak ubahnya buih di lautan. Yang Mahatahu hanyalah Allah. Yang wajib kita lakukan malam ini, esok, dan sampai nanti ajal menjemput kita, adalah tetap berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan tetap tegaknya Dinullah, mempertahankan Khilafah Islamiyah. Sebab dia kewajiban paling agung, yang tanpanya kaum muslim akan tenggelam dalam seribu kemaksiatan. Aku harap, aku tidak mendengar lagi suara sumbang itu dari diri anda, Khalifah. Jika seluruh dunia memusuhi anda karena anda tetap teguh mempertahankan Khilafah, akulah yang akan berdiri bersama anda, sampai ajal menjemputku.”
“Allahu Robbi… Astaghfirullahal’azhim…” Khalifah menangis, benar-benar menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bahunya naik turun, terguncang. Ia dicekam kebingungan, tak mengerti lagi apa yang mesti dilakukan. Hanya kepada Allah hatinya berpasrah. Aku mohon petunjukMu, ya Allah, gumamnya.
Suara isak tangis dan ratap Khalifah Abdul Hamid II terdengar sendu dan pilu di telinga Syekh Yusuf. Matanya mulai berkaca-kaca, ia terharu. Sudah sejak lama ia tahu bahwa Khilafah Islamiyah terus menerus diseret ke dalam kondisi yang paling buruk, karena itu pulalah ia bersedia ketika ditunjuk sebagai Qadhi di Istanbul oleh Khalifah, ia tak ingin jauh dari Khalifah, sebab ia ingin selalu menyertai Khalifah dalam mengambil setiap keputusan. Ia tahu ada begitu banyak ulama su’ yang disusupkan kaum kafir ke dalam tubuh Khilafah Islamiyah. Ulama Su’ yang keberadaannya hanya akan menjerumuskan kaum muslim ke dalam kesesatan dan gelimangan dosa. Dari mulut para ulama su’ itulah keluar ide-ide kufur yang dibalut dengan nama-nama Islam. Sistem hukum kufur yang disamarkan dengan syariat Islam.
“Khalifah, mohon bersabarlah! Anda adalah pemimpin kaum muslim,” Syekh Yusuf mengangkat tangannya kepada Khalifah Abdul Hamid II. “Mohon bersabarlah, Allah beserta kita, jika kita tetap teguh menggenggam syariahNya, Insyaallah.”
Perlahan isak tangis Khalifah pun mereda. Khalifah menyeka airmatanya. Ia berusaha menyibak lara yang pekat di dalam jiwa. Hatinya tak henti berzikir kepada Allah, sebab hanya dengan itulah akan datang ketenangan. Wajah Khalifah menunduk sayu, menatap meja yang bisu, yang akan tak akan pernah bisa bersaksi tentang apa yang akan terjadi.
“Yaa amirul mu’minin, yaa Khalifatul muslimin,” seru Syekh Yusuf, “bersabarlah, kuatkanlah hati anda, jangan pernah mau menyerah. Apa yang akan terjadi, pasrahkanlah kepada Allah. Yang mesti kita lakukan sekarang adalah menaati syariat Islam.”
Mata Khalifah menatap tajam pada Syekh Yusuf, ada gurat merah pada bola matanya. Sisa-sisa lara dan airmata masih tertinggal di sana. “Terima kasih banyak, Syekh. Semoga Allah yang mahapemurah memberkahi Khilafah Islamiyah.”
“Insyaallah,” Syekh Yusuf mengangguk teguh.
Khalifah menarik napas dalam-dalam, menjalarkan ketenangan ke dalam nadinya. Matanya terpejam sejenak, merasakan bahwa Allah begitu dekat, jauh lebih dekat daripada urat leher manusia. Laa hawla wa laa quwwata illabillah, bisik Khalifah. Tiadalah arti daya dan upayaku, ya Allah, kecuali dengan kuasa dan pertolonganMu.
Tiba-tiba datanglah penjaga gerbang yang tadi membukakan gerbang bagi Syekh Yusuf. Langkahnya tergesa-gesa menghampiri Khalifah. Setelah memberi hormat gaya militer dia melapor.
“Perdana Menteri Midhat Pasha, dan seorang Hongaria bernama Dr. Theodore Hertzl telah menunggu di depan, berharap untuk bertemu dengan Yang Mulia.”
Setelah menerima laporan itu, Khalifah menatap Syekh Yusuf dengan penuh makna, akhirnya waktunya telah tiba. Mereka berdua bangkit dari kursi mereka dengan bersamaan. Kemudian Khalifah memberi perintah kepada bawahannya.
“Suruh mereka menemuiku di ruangan ini.”
“SIAP.”
Sebelum beranjak pergi, penjaga itu memandang wajah Syekh Yusuf an-Nabhany dan mengangguk pelan, seolah-olah ingin berkata, apa yang tadi Syekh katakan benar adanya.
000
Berdiri tegak kepala, gagah berwibawa, Khalifah kaum muslim, Abdul Hamid Khan Ghazi. Fez merah dengan rumbai yang anggun terpasang di kepalanya. Jas hitamnya memesona, dengan bintang-bintang kehormatan berkilauan tersemat di dadanya. Kedua belah tangannya terkepal di sampingnya, menyiratkan kegagahan. Matanya menatap lurus ke depan, kepada dua orang tamunya.
Syekh Yusuf an-Nabhany setia menyertai pemimpinnya. Ia berdiri persis di sisi kanan Khalifah sambil melipat tangannya ke belakang. Dalam sekejap pancaran ilmu menggelora dari tubuhnya. Sinar matanya menyiratkan kebijaksanaan dan keteguhan. Kakinya yang telah tua menapak kuat di atas lantai, seakan mendeklarasikan, jika Khalifah berdiri di sana selamanya untuk Khilafah Islamiyah, maka ia pun akan tetap tegak. Tak akan pernah beranjak.
Di hadapan Khalifah Abdul Hamid II dan Syekh Yusuf an Nabhany berdirilah dua orang pria yang telah membuat malam itu begitu berbeda. Mereka adalah Perdana Menteri Khilafah Ustmaniyah Midhat Pasha, dan seorang Yahudi Hongaria bernama Theodore Hertzl.
Kumis dan janggut hitam menggelantung di wajah Midhat Pasha. Jas hitamnya terkancing ketat pada tubuhnya. Tangan kirinya menenteng sebuah koper kecil, entah apa isi dari koper itu. Sesekali dia melirik pada Syekh Yusuf an Nabhaby sementara hatinya bertanya-tanya, mengapa ulama kolot itu ada di sini?
Pada sisi kiri Midhat Pasha, berdirilah Dr. Theodore Hertzl. Dia berperawakan kurus dan tinggi. Rambutnya hitam, ikal, dan lebat, dan rambut itu tidak terputus sampai ke wajahnya, menjadi kumis dan janggut yang tebal. Hingga seluruh mulutnya hampir tak kelihatan. Matanya menyipit saat menatap Khalifah, mungkin dia sedang tersenyum. Ekspresi wajahnya sulit dipastikan karena kumis dan janggut itu begitu lebat. Sehelai dasi berwarna biru terulur dari lehernya, dirangkaikan dengan krah yang rapi. Jas hitamnya serasi, dipadukan dengan sepatu pantovel yang sangat mengkilap. Tangan kirinya pun menenteng sebuah koper.
Mereka semua berdiri saling berhadap-hadapan, seolah-olah membentuk dua kubu yang saling berlawanan. Khalifah sengaja tidak mempersilakan mereka duduk.
“Mohon maaf, Yang Mulia,” kata Midhat Pasha, dengan sikap hormat yang pura-pura, “aku kira anda sendirian.”
“Sendirian itu berbahaya, tuan Perdana Menteri,” sahut Khalifah dengan sehelai senyum tipis. “Biri-biri yang sendirian akan mudah diterkam serigala.”
Midhat Pasha melirik lagi pada Syekh Yusuf lalu memberi senyum kecil. Syekh Yusuf mengangguk saja.
“Jadi, untuk urusan apa kau membawa Dr. Hertzl kemari?” Tanya Khalifah. “Bahkan secara rahasia.”
“Ada hal yang amat penting yang ingin sekali Dr. Hertzl bicarakan dengan Yang Mulia,” kata Midhat Pasha. “Dr. Hertzl ingin menawarkan sebuah proposal yang menarik untuk negara kita. Aku merasa ada baiknya Yang Mulia memerhatikan proposal ini.”
“Baiklah, silakan sampaikan,” perintah Khalifah.
“Silakan, Dr. Hertzl,” Midhat Pasha menoleh pada lelaki jangkung di sisinya.
Dr. Hertzl membuka koper yang dibawanya, dari sana dia mengeluarkan sebuah map cokelat dari kulit. “Terima kasih banyak atas waktu dan kesempatan yang telah diberikan oleh Yang Mulia kepadaku. Ini adalah momen yang sangat berharga bagiku bisa menyampaikan proposal ini kepada Yang Mulia. Kami, umat Yahudi, telah berdiaspora selama ribuan tahun, dan hal yang paling penting serta paling membahagiakan bagi kami adalah jika kami bisa kembali ke tanah yang dijanjikan bagi kami, yaitu tanah Palestina. Kami ingin mengajukan kepada Yang Mulia untuk mencabut batasan waktu tiga bulan untuk orang Yahudi diizinkan tinggal di Palestina. Dan agar umat Yahudi diizinkan untuk memiliki tanah di sana. Kami sangat mengharapkan sekali bisa tinggal di tanah yang dijanjikan bagi kami dan bisa menetap di sana. Sebagai kompensasi dari hal tersebut, kami bersedia untuk menyerahkan tiga puluh lima juta Lira emas, kami juga bersedia untuk membiayai pembangunan benteng pertahanan bagi Khilafah Ustmaniyah, dan kami bersedia untuk menanggung seluruh utang luar negeri Khilafah Ustmaniyah. Kami sangat mengharapkan Yang Mulia berkenan dengan pengajuan kami ini, sebab hidup di dalam diaspora amatlah menyakitkan. Kami ingin sekali pulang dan tinggal di kampung halaman kami, ke tanah yang dijanjikan bagi kami. Demikian, semoga Yang Mulia berkenan. Proposal ini akan kami serahkan kepada Yang Mulia melalui Perdana Menteri Midhat Pasha.”
Dr. Hertzl membungkuk hormat kepada Khalifah lalu menatap Khalifah dengan mata menyipit. Mata Khalifah menatap tajam kepada Midhat Pasha. Berapa banyak orang Yahudi ini membayarmu, bisik hatinya. Beberapa detik lamanya kesunyian menyeruak, tak ada yang bicara. Hingga Khalifah membuka suaranya.
“Aku telah menyimak apa yang disampaikan oleh Dr. Hertzl, dan aku telah mafhum maksudnya,” Khalifah memandang Dr. Hertzl. “Tidakkah anda ingat, apa yang menyebabkan kaum Yahudi berdiaspora? Mungkin memang benar tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan bagi kaum Yahudi, karena itulah dahulu Allah memerintahkan kaum Yahudi untuk berjihad menaklukkan tanah itu bersama-sama dengan nabi Musa. Tidakkah anda ingat apa yang dikatakan kaum Yahudi kepada Nabi Musa atas perintah itu?”
Dr. Hertzl menggeleng pelan, dia tak punya jawaban untuk pertanyaan Khalifah, namun dia menyimak setiap helai kata-kata Khalifah, tak ingin terlewat sedikit pun.
“Kaum Yahudi berkata, ‘wahai Musa, pergilah engkau berperang bersama Tuhanmu melawan kaum itu, sementara kami duduk-duduk saja di sini.’” Khalifah diam sejenak, mengatur tempo bicaranya. “Sekarang tahukah anda, Dr. Hertzl, kaum Yahudi harus menanggung takdir diaspora Karena pembangkangannya sendiri terhadap perintah Tuhan dan utusanNya. Dengan kata lain, kaum Yahudi sendirilah yang telah menolak tanah Palestina karena pembangkangan mereka. Jelaslah, bahwa apa yang tadi anda katakan semuanya tidak benar.”
Khalifah Abdul Hamid II dan Syekh Yusuf an Nabhany berdiri tegak di hadapan musuh-musuh Islam itu. Menunjukkan izzul Islam wal muslimin, menampakkan keteguhan bahwa merekalah yang akan membela tegaknya Khilafah Islamiyah sampai akhir.
“Dr. Hertzl,” lanjut Khalifah, “silakan anda bawa kembali seluruh harta anda dan kaum Yahudi, sebab kami tidak membutuhkannya. Jika kami berhutang, kami akan berupaya melunasinya dengan harta kami sendiri atas limpahan karunia dari Allah. Jika kami ingin membangun benteng pertahanan, kami pun akan berupaya sekuat kami dengan harta kami sendiri. Tanah Palestina bukanlah milikku, tetapi milik umat. Mujahidin telah membebaskan tanah itu dengan menyiramkan darah mereka di setiap butiran pasirnya. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah melepaskan tanah Palestina dari tubuh Khilafah Islamiyah. Jika kelak Khilafah Islamiyah telah runtuh, silakan kaum Yahudi mengambil tanah itu tanpa membayar harganya sepeserpun. Tapi, selama aku masih hidup, lebih baik aku menerima tusukan pedang di tubuhku, daripada membiarkan pemisahan itu terjadi.”
Kesenyapan bangkit kembali. Detik-detik terlewati dengan degup jantung berubah menjadi kencang. Semuanya terpaku dengan apa yang disampaikan Khalifah. Mulut Syekh Yusuf an Nabhany pun mengatup keras. Kebanggaan menyelubungi dirinya akan pemimpinnya itu. Ia bersyukur berada di sisi Khalifah pada saat-saat yang sangat penting itu.
“Aku rasa semuanya telah jelas, tuan Perdana Menteri,” kata Dr. Hertzl sambil menoleh kepada Midhat Pasha. Kemudian dia beralih lagi kepada Khalifah. “Terima kasih, Yang Mulia telah sudi memberi kesempatan kepadaku untuk menyampaikan proposal ini. Apa yang dijelaskan oleh Yang Mulia telah sama-sama kita pahami. Kalau begitu…”
Mata Dr. Hertzl yang tadinya menyipit tiba-tiba berubah menjadi besar. Bola matanya yang hijau seolah-olah sebilah pedang yang menusuk tajam langsung ke sanubari Khalifah. Suaranya yang awalnya lembut dan ceria, berubah menjadi datar dan tegang, “… Kami akan runtuhkan Khilafah Islamiyah! Aku mohon diri, Yang Mulia.”
Dr. Hertzl segera berbalik dan melangkah keluar tanpa menunggu Midhat Pasha. Perdana Menteri Khilafah Islamiyah itu mendelik sinis kepada Khalifah Abdul Hamid II dan Syekh Yusuf an Nabhany, dia bergegas mengikuti langkah Dr. Hertzl. Malam terus bergulir, menyaksikan semuanya, hanya saja dia tidak mampu mengungkapkan kisah-kisah itu, sebab dia saksi bisu.
The End