Tips dan Trik Menulis Fiksi-Sejarah

Sebelum memulai tulisan tentang tips dan trik menulis fiksi sejarah ini perlu saya informasikan bahwa saya tidak pernah mendapat pendidikan menulis secara formal. Saya juga jarang membaca buku seputar ilmu menulis. Jadi jika mungkin nanti terdapat kontradiksi antara isi tulisan ini dengan berbagai kaidah ilmu menulis yang telah baku, harap dimaklumi. Sebab saya memang tidak pernah belajar menulis secara formal. Apa yang saya tahu tentang menulis murni saya dapat hanya dari pengalaman saya saja.

Pertama-tama saya ingin berbagi tentang apa itu FIKSI SEJARAH yang ada di benak saya. FIKSI SEJARAH adalah kisah-kisah fiksi (rekaan atau khayalan) yang diinspirasi dari sejarah. Kalau dari dunia film, saya bisa menyebut bahwa film-film seperti Braveheart, Kingdom of Heaven, dan Fetih 1453, termasuk ke dalam genre fiksi sejarah ini. Begitu juga novel-novel yang berkisah tentang sejarah seperti Gadjah Mada, Putroe Neng, Impian terindah (karya Pak Salman Iskandar, salah seorang penulis Islam ideologis senior), dan Sabil (karya saya) termasuk ke dalam fiksi sejarah. karya-karya yang saya sebut di atas adalah karya-karya yang plot, alur, adegan, dialog, dan penokohannya, terinspirasi oleh sejarah. Dengan demikian akan sangat terlihat sekali bedanya, mana yang naskah sejarah dan mana yang naskah fiksi sejarah. Saya akan coba berikan sedikit contoh.

Pada adegan akhir dari film Braveheart, saat William Wallace (yang diperankan Mel Gibson) sedang disiksa, dia meneriakkan Freedom dengan tenaganya yang penghabisan. Padahal dalam sejarah William Wallace tidak pernah ditemukan bahwa dia meneriakkan freedom ketika disiksa. Dengan demikian adegan berteriak itu murni imajinasi dari pembuat film untuk mendramatisasi kematian William Wallace. Dalam sejarah aslinya, William Wallace memang mati disiksa, bahkan badannya dipotong-potong oleh Inggris.

Contoh lain adalah apa yang saya buat di dalam novel saya, Sabil. Di dalam sejarah disebutkan bahwa Teungku Cik Pante Kulu menulis karya agungnya, Hikayat Prang Sabil, dalam perjalanan pulang ke Aceh dari Makkah. Nah, dengan inspirasi dari catatan sejarah itu saya buat seperti ini.

Sejauh mata memandang hanya ada lautan. Beriak tenang, naik turun riang. Memukul-mukul mesra lambung kapal yang bergaris rapat. Bergoyang perlahan, berjalan dan menimbulkan ayunan ringan. Layar kapal menggelembung besar ditiup angin, mengantarkannya menuju persinggahan manusia di dunia. Semuanya kecil di tengah-tengah halaman samudra. Manusia hanya sehamparan zarah di tengah-tengah alam raya.

Nama-nama Allah yang suci terus berhamburan keluar. Menyerbu langit dari mulut pencinta-Nya, Teungku Cik Pante Kulu. Seluruh rangkaian ibadah haji telah dilaksanakannya. Harapannya melayang mengangkasa, meminta agar haji yang telah dilaksanakannya digelari mabrur di dalam pandangan Allah. Bukan di dalam pandangan manusia. Sebab, pandangan manusia tak berharga apa-apa.

Teungku Kulu sedang membungkukkan tubuhnya, bersandar pada tepian pagar kapal. Membiarkan angin memainkan selendang serbannya, dan menikmati tiupannya yang halus dan ramah. Nama-nama Tuhan terus menyeruak dari tenggorokannya. Dalam bisik-bisik halus yang menandakan bahwa ia cinta! Cinta yang sangat kepada Tuhannya. Senyum tipis tiba-tiba muncul di bibirnya ketika ia melihat lautan, matanya menerawang menyusuri alam. Sesekali tertuju pada awan yang berlipat-lipat, lantas mengembara lagi pada riak samudra. Makin pahamlah ia bahwa ia hanyalah makhluk Allah yang tak berdaya jika tanpa perlindungan dan petunjuk-Nya.

Kapal yang ditumpangi Teungku Kulu berlayar menuju Penang. Dari penang ia akan menumpang kapal lagi, terus berlayar ke Aceh. Tak sabar ia untuk menginjakkan kaki lagi di kampung halamannya. Di tanah suci memang menyenangkan. Namun tetap saja tak bisa mengalahkan gembiranya tiba di kampung halaman.

Rasa rindu yang nikmat di dada Teungku Kulu ternyata bercampur dengan rasa cemas yang menyiksa ketika ia membayangkan bagaimanakah kondisi Aceh ketika ia sampai nanti. Apakah Aceh telah berperang dengan Belanda? Ah, ia sungguh-sungguh tak bisa memastikannya. Hanya kecemasan itu sajalah yang ada di dadanya.

Tiba-tiba dari mulutnya keluarlah ayat-ayat Allah. Ayat-ayat tentang laut, langit, kapal, dan hidup manusia. Begitu indah Al-Quran menggambarkan semuanya. Ketika angan-angannya sampai ke Aceh, ia baca ayat-ayat tentang keteguhan, pengorbanan, surga, dan perang. Seketika air matanya menitik ke samudra, bercampur dengan geloranya. Ia bertobat kepada Allah berkali-kali. Cepat-cepat dihapusnya air matanya itu sebab awak-awak kapal dan penumpang yang lain ramai di sekitarnya.

Datanglah seseorang menghampirinya. Seorang lelaki berbaju putih dan berkopiah hitam. Kulitnya gelap dengan tekuk wajah yang keras. “Assalamualaikaum,” sapanya.

“Wa alaikumussalam,” sahut Teungku Kulu, ia tersenyum.

“Teungku sedang menikmati lautan?” tanya orang itu. Ia berdiri di samping Teungku Kulu, tangannya memegang pagar tepian kapal.

“Menikmati ciptaan Allah.”

“Perkenalkan namaku Iman Majo. Saudara pasti Teungku Cik Panté Kulu.”

“Senang sekali berkenalan denganmu. Tapi bagaimana kau tahu siapa aku?” Teungku Kulu penasaran pada orang yang baru dikenalnya itu.

“Ah, siapa yang tidak tahu pimpinan rombongon haji dari Aceh?” Iman Majo tersenyum.

“Kau orang Aceh pula?”

“Bukan, aku orang Padang,” sahut Iman Majo.

“Pulang dari ibadah haji juga?”

“Tidak, aku telah berhaji tahun lalu. Aku pulang dari tanah suci karena ada urusan dagang. Aku akan turun di Penang nanti.”

“Aku akan turun di Penang pula dan setelah itu terus ke Aceh.”

“Mendengar nama Aceh aku membayangkan keadaannya yang cukup genting saat ini, Teungku,” Air muka Iman Majo mendadak berubah.

“Apakah yang kau tahu tentang Aceh?” Mendengar Iman Majo bicara begitu antusiasme Teungku Kulu bangkit tiba-tiba. “Sebenarnya ketika aku akan berangkat haji pun berbagai macam desas-desus tak enak telah tersebar bahwa ada kemungkinan Belanda akan menyerang Aceh.”

“Hal itu pun sebenarnya telah banyak tersebar di penang. Ada banyak pedagang yang tidak menyukai apa yang kemungkinan akan dilakukan Belanda atas Aceh itu. Malah dari kabar-kabar yang aku dengar ternyata keadaannya lebih buruk lagi.”

“Bagaimanakah rupanya? Tolong ceritakan padaku,” Teungku Kulu menghadapkan seluruh badannya kepada Iman Majo, terbakar rasa ingin tahu. “Bagaimanakah kabar-kabar itu?”

“Pedagang-pedagang Inggris yang berhubungan denganku banyak yang menceritakan bahwa Inggris dan Belanda sedang menyusun sebuah perjanjian baru untuk memperbaharui perjanjian yang lama. Di perjanjian yang lama, dua negara itu masih memperhitungkan Aceh sebagai sebuah negara berdaulat dan keberadaannya tak boleh diganggu gugat sama sekali,” Iman Majo memandang sekilas kepada lautan, menunduk sedih. “Pada perjanjian yang baru ini, kabarnya mereka sudah tidak memperhitungkan keberadaan Aceh lagi sebagai Kesultanan yang berdaulat. Mereka menganggap Aceh sebagai sebuah wilayah bebas yang bisa ditaklukkan siapa pun!”

Teungku Kulu serius memperhatikan Iman Majo. Alisnya melengkung, sorot matanya tajam. Ia mendengarkan kata-katanya dengan saksama.

“Dengan kondisi ini, kemungkinannya Belanda menyerang Aceh akan makin besar, apalagi niatan-niatan itu sebelumnya memang sudah terlihat jelas,” Iman Majo menggenggam pagar kapal karena goyangan kapal cukup kuat dipermainkan gelombang.

“Belanda ingin sekali mengambil alih kendali atas wilayah-wilayah strategis di Sumatra, terlebih-lebih atas Aceh. Aku sendiri tidak tahu apakah perjanjian itu sudah ditandatangani atau belum. Kalau sudah, berarti perang memang sudah di ambang mata.”

Teungku Kulu mengangguk pelan. “Oh, begitu rupanya.”

“Kami pun, para pedagang, sebenarnya tidak setuju kalau memang Belanda menyerang Aceh. Sebab, kemungkinannya Belanda akan memblokade perairan dan pelabuhan sehingga perdagangan akan terhambat.”

Teungku Kulu mengarahkan lagi pandangannya ke lautan. Mengetahui apa yang seseungguhnya terjadi dari Iman Majo membuatnya merasa sedih. Ia membayangkan sesampainya ia di kampungnya nanti ternyata kampungnya itu telah musnah dibombardir tentara Belanda. Ia membayangkan orang-orang yang dicintainya telah tewas menjadi korban perang. Bayangan-bayangan menyedihkan itu terus berseliweran di dalam benaknya.

“Maafkan aku, Teungku! Bukan maksudku membuatmu khawatir seperti ini,” Iman Majo menyesal karena telah menceritakan apa yang diketahuinya kepada Teungku Kulu.

“Ah, jangan begitu! Lagi pula, tadi akulah yang memintamu menceritakan semuanya. Kalau memang Aceh ditakdirkan Allah harus berperang dengan Belanda, artinya Allah telah memberikan kehormatan kepada kaum muslim di Aceh untuk meraih surga! Kita harus menyambutnya dengan gembira.”

Iman Majo pun tersenyum. “Semoga Allah melindungi kita semua.”

“Mohon maaf, aku tak bisa menemanimu, ada yang harus aku lakukan,” Teungku Kulu pamit.

“Oh, silakan, Teungku! Tak apa-apa,” sahut Iman Majo. Setelah berbalas salam, mereka berpisah. Teungku Kulu masuk ke kapal, menuju kabinnya.

Ruangan kabin yang disediakan untuk Teungku Kulu di kapal itu tak terlalu besar, tapi rapi. Hanya ada sebuah ranjang kecil dan lemari pendek dengan dua laci di dalamnya. Teungku Kulu masuk ke kabinnya, menggelar sajadah mengikuti ke mana arah laju kapal dan melaksanakan shalat dua rakaat. Ia harus berdiri dengan kuat untuk menahan goyangan perlahan kapal. Setelah menyempurnakan shalatnya, Teungku Kulu membaca lagi ayat-ayat Al-Quran. Ia tak perlu mushaf lagi sebab ia telah menghafal seluruh isi Al-Quran di dalam kepalanya.

“Dan tidaklah orang-orang yang berperang di jalan Allah itu mati, melainkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki,” ketika bacaannya tiba kepada ayat Allah itu meneteslah air mata sucinya. Ia teringat Aceh. Ia teringat orang-orang di sana. Ia teringat dengan apa yang kemungkinan akan terjadi.

Allah Maha Memberi Petunjuk. Dia ilhamkan kepada Teungku Kulu sesuatu yang sangat berarti dan akan membuat segalanya berbeda. Teungku Kulu menarik laci yang ada di dekatnya, mengambil pena dan kertas, lantas menulis. Terus menulis….

Di atas kapal itu ia menulis Hikayat Prang Sabil dengan tinta dan penanya. Kelak ia akan menulis sejarah Perang Sabil dengan peluru dan darahnya.

Teungku Cik Pante Kulu memang menulis Hikayat Prang Sabil dalam perjalanan pulang dari Makkah ke Aceh. Tapi bagaimana cara dia menulis, di mana dia menulis, dan bagaimana gejolak emosinya saat dia menulis, itu hanya khayalan saya. Dengan demikian, fiksi sejarah adalah tulisan-tulisan fiksi yang diinspirasi oleh peristiwa-peristiwa sejarah. (bersambung)

Hikayat Perang Sabil, The Most Powerful Poet

Beberapa tahun yang lalu saya berkesempatan untuk berkunjung ke Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia yang beralamat di jalan Salemba Raya 28A Jakarta Pusat. Waktu itu, apa yang ada di kepala saya saat pertama kali memasuki gerbangnya adalah, saya ingin mendapatkan beberapa buku yang jadi referensi tentang Perang Aceh. Buku-buku tersebut di antaranya: Aceh Sepanjang Abad (oleh Muhammad Said), Aceh (oleh Zentgraff), Sastra Perang (oleh Teuku Ibrahim Alfian), dan beberapa buku lainnya. Sayangnya Cuma Aceh saja yang saya dapat.

Ketika itu saya teringat sesuatu, mungkin saja Hikayat Perang Sabil yang terkenal itu ada di sini. Maka saya cek lagi katalog yang berderet-deret itu, dan saya menemukannya. Saya tulis nomor panggilnya, dan saya tandai di lantai berapa karya sastra itu bisa saya temukan. Setelah semuanya siap saya bergegas ke sana. Ketika saya tiba di lantai yang saya tuju, hati saya merasa takjub. Ternyata lantai itu khusus untuk tempat menyimpan manuskrip-manuskrip kuno. Lemari-lemari kaca berjajar di dalamnya, memuat lembaran-lembaran berwarna cokelat baik dari kulit, daun lontar, ataupun dari kayu. Saya langsung terpana. Dan ruangan itu sepi. Datanglah seorang lelaki muda, kelihatannya pintar, dan memang benar-benar pintar, sebab dialah yang menjelaskan banyak hal kepada saya tentang berbagai naskah kuno yang ada di dalam ruangan itu. Kemudian saya tanyakan kepadanya tentang Hikayat Perang Sabil yang saya cari. Dia bilang naskah itu ada. Dia bergegas masuk ke bagian dalam ruangan itu. saat keluar lagi, dia sudah membawa sebuah buku kecil yang secara umum telah berwarna cokelat saking tuanya. “Ini dia Hikayat Perang Sabil.”

Di atas meja pada ruangan itu saya menatap buku kecil itu, saya terpana. Hikayat Perang Sabil ditulis dengan Aksara Arab. Saya sama sekali tidak bisa membacanya. Saya tanya juga kepada lelaki muda sang librarian tadi, ternyata dia juga tidak bisa membacanya karena dia mempelejari displin ilmu yang berbeda, yaitu naskah Jawa kuno. Librarian yang ahli untuk naskah Melayu Kuno dan Aceh sedang tidak masuk. Yah, akhirnya saya hanya menikmati wujud fisik dari naskah itu saja, tanpa bisa memahami apa maknanya.

Hikayat Perang Sabil ditulis di atas kertas yang tebal sekali, hampir mirip karton, bahkan lebih tebal lagi daripada karton. Semua bagiannya telah berwarna cokelat, dan seluruh tulisannya dibuat dengan tinta hitam. Saya tidak tahu itu tulisan tangan siapa, tapi saya melihat tulisannya bagus sekali. naskahnya ditulis dalam dua kolom. Librarian muda itu menawarkan kepada saya untuk memfotokopi naskah itu lewat media film-nya (mahal sekali, selembar 3000 perak). Ada kebahagiaan tersendiri bahwa saya telah berkesempatan untuk melihat salah satu salinan naskah asli dari Hikayat Perang Sabil.

Dari beberapa sumber yang saya dapatkan, Hikayat Perang Sabil adalah karya sastra yang paling ditakuti oleh Belanda. Sebab karya sastra ini mampu menggelorakan semangat jihad melawan penjajah. Hikayat ini kerap kali dideklamasikan di masjid-masjid dan meunasah-meunasah. Belanda melarang siapapun menggenggam naskah ini, jika kedapatan akan langsung disita. Karena itulah saat ini salinan Hikayat Perang Sabil ada di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda.

Tak lama setelah Hikayat Perang Sabil dibacakan, biasanya akan ada saja opsir Belanda yang terluka karena ditikam atau ditembak oleh orang Aceh. Dalam skala lebih besar, karya sastra ini akan melipatgandakan keberanian dari para pejuang Aceh untuk bertempur sampai akhir melawan Belanda. Kenyataan ini bisa kita ketahui –salah satunya- pada buku berjudul Aceh yang ditulis oleh seorang wartawan Belanda bernama Zentgraff (akhirnya secara tak disangka-sangka saya bisa memiliki buku penting ini). Mudah-mudahan karya sastra ini bisa menjadi amal jariah yang tak putus-putus bagi penulisnya, Teungku Cik Pante Kulu. Dan kita semua terpacu untuk terus menulis, juga sebagai amal jariah di akhirat kelak. [sayf]

Nibak mate di rumoh inong
Bahle meukeunong seunjata kaphe
Nibak mate di ateuh tilam
Bahle lamseuh prang syahid meugule

Daripada mati di bilik pengantin
Lebih baik peluru kafir menembus tubuh
Daripada mati di atas tilam
Biar dalam perang syahid tubuhku luluh

Hikayat Perang Sabil

An Nabhany

Sebuah fiksi-sejarah

Malam menggeliat memeluk alam, menyenandungkan nada yang suram bagi waktu-waktu yang muram. Manusia kembali ke peraduannya, mendekap kekhawatiran. Setiap dada diguncang api dalam sekam. Tak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi, kecuali Allah Robbul ‘izzati. Istanbul, ibukota Khilafah Islam, tenggelam dalam kelam. Purnama kelam menyaksikan peradaban manusia, murung dan sayu.

Sebuah kereta kuda melintasi malam yang baru datang itu dengan cepat. Seorang laki-laki berjas hitam duduk di kursi sais, setengah membungkuk, sebab melarikan kereta kuda itu dengan gila-gilaan. Angin menderu kencang, menerbangkan surai dua ekor kuda yang gagah-gagah di depan. Yang derap kakinya berketoplak cepat. Sais kereta kuda itu sedang menjalankan amanah, mengantarkan seorang Syekh ke tempat tujuannya.

Di dalam kereta kuda duduklah seorang Syekh yang sedang tergesa-gesa. Tangannya tergenggam menopang dagunya. Sesekali ia membelai janggut lebatnya yang telah putih. Sorban menutupi kepalanya dengan penuh wibawa. Ia mengenakan sebuah mantel tebal untuk menutupi tubuh tuanya, sebab malam begitu dingin. Matanya yang masih tajam menatap keluar, kepada jalan-jalan yang sepi, berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Hatinya selalu menggelayut kepada Allah azza wa jalla, lidahnya selalu basah dengan puji-pujian kepadaNya, terlebih di saat-saat yang genting seperti malam itu. Dialah Syekh Yusuf an Nabhany. Seorang ulama yang wara’, dan amat disegani. Dan dia harus cepat, tak boleh terlambat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dengan susah payah sais kereta kuda menarik tali kekang kuat-kuat, untuk menghentikan derap kaki kuda. Akhirnya tibalah Syekh Yusuf di hadapan sebuah gerbang besar, gerbang istana Yildiz. Ia segera turun dari kereta kuda dengan terburu-buru, dan setengah berlari ia menghampiri saisnya.

“Kau pulanglah duluan,” perintahnya.

Lelaki sais itu terkejut mendengar perintah Syekh Yusuf. “Nanti siapa yang akan mengantar Syekh pulang?”

“Aku tidak akan pulang malam ini. Aku akan tetap di sini menemani Khalifah.”

Sais itu tak bisa bicara apa-apa lagi, ia mengangguk dan segera memacu kereta kudanya. Tinggallah Syekh Yusuf di hadapan gerbang besar istana Yildiz. Dua orang penjaga berseragam hitam segera keluar menghampiri Syekh yusuf.

“Syekh, mengapa datang malam-malam?” Tanya penjaga itu dengan hormat. Dia telah mengenal siapa Syekh Yusuf.

“Aku ingin bertemu dengan khalifah, ada hal yang sangat penting ingin kusampaikan,” sahut Syekh yusuf.

“Tapi ini sudah malam, dan Syekh tidak punya janji untuk bertemu dengan Khalifah.”

“Urusan ini sangat mendesak, menyangkut nasib kaum muslim, pertemukan aku dengan khalifah sekarang juga.”

“Mohon maaf, Syekh, aku tidak berani, kabinet telah menetapkan aturan protokoler bagi khalifah bahwa beliau tidak bisa ditemui pada malam hari.”

“Demi Allah dan RasulNya, orang-orang kabinet sudah banyak yang membebek pada kaum kafir, aturan yang mereka buat pasti akan mereka langgar sendiri, aku tahu itu. Kaum kafir telah berhasil menyusupkan aturan kufur ke dalam Daulah Islam. Demi Allah dan RasulNya, sebentar lagi akan datang musuh-musuh Islam untuk menemui Khalifah, sebelum mereka datang, aku harus menemui khalifah lebih dulu. Katakan pada Khalifah bahwa aku datang untuk menemuinya, untuk urusan Islam dan kaum muslim. Cepatlah.”

Penjaga itu mengernyitkan alisnya saat menatap Syekh yusuf. Dia tak bicara apa-apa, dan segera berbalik berlari menyusuri pekarangan istana yildiz yang luas. Syekh yusuf menunggu di depan pagar bersama seorang penjaga yang lain.

“Memangnya siapa yang akan datang menemui Khalifah, Syekh?” tanya penjaga itu.

“Insyaallah nanti kau akan tahu. Itulah tanda orang-orang kabinet menginjak-injak hukum buatan mereka sendiri. Jika kaum muslim ingin bertemu dengan Khalifah maka akan dihalang-halangi. Tapi jika kaum kafir yang ingin bertemu dengan Khalifah demi memuluskan kepentingannya, mereka akan memepertemukannya dengan leluasa.”

Setelah sepuluh menit menunggu, penjaga yang masuk ke istana tadi tiba kembali di pagar istana dengan terengah-engah.

“Khalifah sangat bersyukur Syekh datang malam ini, beliau ingin sekali menemui Syekh. Silakan, Syekh.” Katanya.

Kedua penjaga itu membukakan gerbang istana yildiz bagi Syekh yusuf an nabhany. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari, Syekh yusuf menyusuri pekarangan istana yang amat luas, hingga ia sampai di depan teras istana. Saat Syekh Yusuf mendekati teras itu ia melihat Khalifah Abdul Hamid II berdiri dengan gelisah. Ia tak henti melongok ke depan, ke tempat di mana Syekh yusuf akan datang. Setelah ia melihat sosok Syekh yusuf, ia segera berlari keluar teras dan memeluk ulama besar itu. seolah-olah seorang penyelamat telah datang.

“Alhamdulillah, wallahu akbar, terima kasih, Syekh, sudah mau hadir di sini,” ada getar kekhawatiran yang dalam di serat suara Khalifah Abdul Hamid. Ia menepuk-nepuk dengan lembut punggung Syekh yusuf.

“Ini kewajibanku,” kata Syekh yusuf pendek saja.

Khalifah segera mempersilakan Syekh yusuf masuk ke dalam istana yildiz. Mereka berada di dalam sebuah ruangan persegi yang luas. Dinding-dinding ruangan itu berwarna biru muda. Langit-langitnya indah, dihiasi dengan ornamen-ornamen berwarna putih dan emas. Di tengah-tengah ruangan itu, menggelantung pada langit-langit, ada sebuah lampur kristal yang besar dan menawan. Lampu itu berpijar menerangi seluruh ruangan. Persis di bawah lampu hias itu ada sebuah meja emas yang indah, yang dikelilingi kursi-kursi berukir. Sebuah cermin besar tertempel di salah satu sisi ruangan itu. Bingkainya berukirkan sulur-sulur yang melingkar, membuat keelokannya menembus sampai ke dasar hati. Jendela-jendela dengan bingkai putih turut mempecantik ruangan itu, yang setiap pagi selalu bermandikan sinar mentari.

“Apakah Syekh sudah mendengar kabar itu?” Tanya khalifah sambil mempersilakan Syekh yusuf duduk di tengah-tengah ruangan itu.

“Karena mendengar kabar itu sekarang aku berada di sini, Khalifah,” sahut Syekh yusuf.

000

Dari detik ke detik, menit demi menit, ketegangan meradang. Jantung berdegup kencang menantikan segala kejadian. Apa yang akan terlaksana malam itu, akan jadi penentu langkah Daulah Islam di masa depan. Dan malam itu, dua orang lelaki tawadhu yang di hati mereka hanya ada Islam dan kaum muslim, sedang menghadapi ujian berat dalam hidup mereka. Khalifah Abdul Hamid II, sultan ke-34 dari Khilafah Ustmaniyah, duduk di tengah-tengah ruangan megah di Istana Yildiz. Wajahnya menunduk, menatap kedua belah kepalan tangannya di atas meja. Fez berwarna merah bertengger di kepalanya, membuat segan orang yang menatapnya. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mengalir dari keningnya, padahal udara dingin menelusup dinding. Napasnya lambat, tetapi resah. Terkadang gelisah menyempitkan tenggorokannya, membuatnya kesulitan menelan ludah.

Di hadapan khalifah duduklah Syekh Yusuf an Nabhany. Ia bersandar ke kursinya, berusaha meringankan beban pikiran yang menggelayuti sorbannya. Sesekali matanya memandang Khalifah kaum muslim yang ada di depannya. Terbayang di matanya betapa berat beban seorang pemimpin. Tak heran jika Khalifah Umar ibn Khathab rela memanggul sekarung gandum dengan bahunya sendiri demi rakyatnya. Tak aneh jika ia begitu khawatir jika ada kaki seekor keledai yang terpeleset karena jalan yang berlubang di Iraq. Sebab semua itu akan ditanya, oleh Qadhi Rabbun Jalil ketika Dia menggelarkan pengadilannya yang besar kelak. Tak heran pula, jika malam itu Syekh Yusuf menyaksikan Khalifah Abdul Hamid bercucuran keringat, padahal malam begitu dingin.

“Semua sudah berjalan sebegini buruk, Syekh,” ratap Khalifah, “seolah-olah aku sudah tidak bisa menghentikan semua ini. Aku merasa ada dua pihak yang memerintah di dalam Daulah Islam, aku dan kabinet. Posisi kabinet sudah sedemikian kuat, bahkan mungkin mengalahkan kekuasaanku. Sampai-sampai mereka mengaturku tentang siapa orang-orang yang mesti kutemui, bahkan dengan dia, si Yahudi itu, Theodore Hertzl. Tadi siang perdana menteri Midhat Pasha meneleponku, dia mengabarkan akan ada pertemuan rahasia antara aku dengan Hertzl di sini. Dia memaksaku melayani Hertzl atau dia akan menggalang mosi tidakpercaya dari seluruh kabinet terhadapku, yang akan mengantarkan pada pemakzulanku. Kalau aku berhasil mereka gulingkan, aku khawatir kekuasaan akan dipegang kabinet secara penuh sebab tak ada seorang pun yang sanggup menggantikanku. Akhirnya jabatan Khalifah hanya jadi sekedar nama tanpa makna, hanya jadi simbol, tanpa kekuasaan apa-apa, sungguh tidak berguna.”

Syekh Yusuf mengembuskan napas kecewa. “Aku pun mengetahui kabar ini secara mendadak. Tadi sore, ‘Izzat Pasha membisikiku bahwa Dr. Hertzl malam ini akan menemui anda secara rahasia atas fasilitasi dari kabinet. Aku percaya kedatangannya membawa bahaya besar bagi Islam dan kaum muslim, karena itulah aku berusaha menemui anda malam ini, Khalifah. Aku memahami keadaannya sudah berjalan sedemikian buruk. Hukum-hukum dan sistem kufur sudah menancap di dalam tubuh Daulah Islam sejak lama, seperti racun yang akan terus menyebar dan sangat mematikan, yang akan membuat Daulah Islam semakin kacau. Kabinet menetapkan aturan protokoler bahwa anda tidak boleh ditemui setelah malam, tapi mereka sendiri yang melanggar hukum yang mereka buat dengan apa yang akan terjadi malam ini. Namun jangan sampai anda menyerah, Khalifah, anda adalah pemimpin kaum muslim.”

Khalifah Abdul Hamid II hanya menunduk, seakan-akan kehabisan kata-kata untuk diucapkan. Apalagi yang mesti ia lakukan? Dari luar, negara-negara kafir siap menerkam Khilafah Islamiyah tak ubahnya serigala-serigala yang lapar, dengan air liur menetes dan lidah menjulur menjijikan. Mereka berhasil menyulut berbagai pemberontakan dan berhasil menipu kaum muslim agar melepaskan diri dari naungan Khilafah Islamiyah dengan alasan murahan seperti nasionalisme. Dari dalam, mereka berhasil menanamkan antek-antek mereka dan sistem hukum mereka di tengah-tengah jantung Khilafah Islamiyah. Hingga tanpa sadar, kaum muslim terbius, dan menyangka bahwa hidup di bawah naungan hukum-hukum kufur dan negara-negara kufur itu lebih indah daripada di bawah naungan hukum Allah. Khalifah telah terpenjara, tak ada lagi jalan keluar baginya. Bayang-bayang buram menari-nari di hadapan bola matanya, sangat buram.

“Apalagi yang harus kulakukan, Syekh? Kemana lagi aku harus mencari jalan untuk menghentikan semua kerusakan ini? Apakah Khilafah Islamiyah ini akan runtuh? Allahu Robbi, aku tak sanggup membayangkannya. Apa yang akan terjadi pada umat kalau memang bencana itu menjadi kenyataan? Kerusakan sudah sebegini parah, aku tak sanggup menghentikannya. Allahu Robbi… Sekarang datang lagi musuh Islam ke hadapanku mengantarkan bencana… Allahu Robbi… Apa yang mesti kukatakan di hadapan Allah? Apa, Syekh?” Mata Khalifah telah berair, pandangannya telah nanar. Pemimpin yang tawadhu itu menangis tersedu-sedu, menangisi dirinya sendiri, menangisi negaranya, menangisi umat.

Syekh Yusuf menggeleng pelan. Dahinya mengernyit, bibirnya gemetar. Kepiluan yang tajam merajam hatinya. Suaranya parau, bergetar. “Masya Allah… Astaghfirullahal’azhim… Jangan menyerah! Jangan pernah anda menyerah, Khalifah. Masih banyak kaum muslim yang mendukung anda, yang sudi menanggung beban berat dalam mempertahankan tetap tegaknya Khilafah Islamiyah. Kalau memang kaum kafir membuat makar keji, serahkan saja mereka kepada Allah. Kalau memang antek-antek kafir dan hukum-hukum kufur telah sedemikian menggurita, pasrahkan saja dia kepada Allah. Kalau memang suatu hari kelak Khilafah Islamiyah akan runtuh, kembalikan dia kepada Allah. Sejauh mana pengetahuan kita terhadap hal itu, tak ubahnya buih di lautan. Yang Mahatahu hanyalah Allah. Yang wajib kita lakukan malam ini, esok, dan sampai nanti ajal menjemput kita, adalah tetap berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan tetap tegaknya Dinullah, mempertahankan Khilafah Islamiyah. Sebab dia kewajiban paling agung, yang tanpanya kaum muslim akan tenggelam dalam seribu kemaksiatan. Aku harap, aku tidak mendengar lagi suara sumbang itu dari diri anda, Khalifah. Jika seluruh dunia memusuhi anda karena anda tetap teguh mempertahankan Khilafah, akulah yang akan berdiri bersama anda, sampai ajal menjemputku.”

“Allahu Robbi… Astaghfirullahal’azhim…” Khalifah menangis, benar-benar menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bahunya naik turun, terguncang. Ia dicekam kebingungan, tak mengerti lagi apa yang mesti dilakukan. Hanya kepada Allah hatinya berpasrah. Aku mohon petunjukMu, ya Allah, gumamnya.

Suara isak tangis dan ratap Khalifah Abdul Hamid II terdengar sendu dan pilu di telinga Syekh Yusuf. Matanya mulai berkaca-kaca, ia terharu. Sudah sejak lama ia tahu bahwa Khilafah Islamiyah terus menerus diseret ke dalam kondisi yang paling buruk, karena itu pulalah ia bersedia ketika ditunjuk sebagai Qadhi di Istanbul oleh Khalifah, ia tak ingin jauh dari Khalifah, sebab ia ingin selalu menyertai Khalifah dalam mengambil setiap keputusan. Ia tahu ada begitu banyak ulama su’ yang disusupkan kaum kafir ke dalam tubuh Khilafah Islamiyah. Ulama Su’ yang keberadaannya hanya akan menjerumuskan kaum muslim ke dalam kesesatan dan gelimangan dosa. Dari mulut para ulama su’ itulah keluar ide-ide kufur yang dibalut dengan nama-nama Islam. Sistem hukum kufur yang disamarkan dengan syariat Islam.

“Khalifah, mohon bersabarlah! Anda adalah pemimpin kaum muslim,” Syekh Yusuf mengangkat tangannya kepada Khalifah Abdul Hamid II. “Mohon bersabarlah, Allah beserta kita, jika kita tetap teguh menggenggam syariahNya, Insyaallah.”

Perlahan isak tangis Khalifah pun mereda. Khalifah menyeka airmatanya. Ia berusaha menyibak lara yang pekat di dalam jiwa. Hatinya tak henti berzikir kepada Allah, sebab hanya dengan itulah akan datang ketenangan. Wajah Khalifah menunduk sayu, menatap meja yang bisu, yang akan tak akan pernah bisa bersaksi tentang apa yang akan terjadi.

Yaa amirul mu’minin, yaa Khalifatul muslimin,” seru Syekh Yusuf, “bersabarlah, kuatkanlah hati anda, jangan pernah mau menyerah. Apa yang akan terjadi, pasrahkanlah kepada Allah. Yang mesti kita lakukan sekarang adalah menaati syariat Islam.”

Mata Khalifah menatap tajam pada Syekh Yusuf, ada gurat merah pada bola matanya. Sisa-sisa lara dan airmata masih tertinggal di sana. “Terima kasih banyak, Syekh. Semoga Allah yang mahapemurah memberkahi Khilafah Islamiyah.”

“Insyaallah,” Syekh Yusuf mengangguk teguh.

Khalifah menarik napas dalam-dalam, menjalarkan ketenangan ke dalam nadinya. Matanya terpejam sejenak, merasakan bahwa Allah begitu dekat, jauh lebih dekat daripada urat leher manusia. Laa hawla wa laa quwwata illabillah, bisik Khalifah. Tiadalah arti daya dan upayaku, ya Allah, kecuali dengan kuasa dan pertolonganMu.

Tiba-tiba datanglah penjaga gerbang yang tadi membukakan gerbang bagi Syekh Yusuf. Langkahnya tergesa-gesa menghampiri Khalifah. Setelah memberi hormat gaya militer dia melapor.

“Perdana Menteri Midhat Pasha, dan seorang Hongaria bernama Dr. Theodore Hertzl telah menunggu di depan, berharap untuk bertemu dengan Yang Mulia.”

Setelah menerima laporan itu, Khalifah menatap Syekh Yusuf dengan penuh makna, akhirnya waktunya telah tiba. Mereka berdua bangkit dari kursi mereka dengan bersamaan. Kemudian Khalifah memberi perintah kepada bawahannya.

“Suruh mereka menemuiku di ruangan ini.”

“SIAP.”

Sebelum beranjak pergi, penjaga itu memandang wajah Syekh Yusuf an-Nabhany dan mengangguk pelan, seolah-olah ingin berkata, apa yang tadi Syekh katakan benar adanya.

 000

Berdiri tegak kepala, gagah berwibawa, Khalifah kaum muslim, Abdul Hamid Khan Ghazi. Fez merah dengan rumbai yang anggun terpasang di kepalanya. Jas hitamnya memesona, dengan bintang-bintang kehormatan berkilauan tersemat di dadanya. Kedua belah tangannya terkepal di sampingnya, menyiratkan kegagahan. Matanya menatap lurus ke depan, kepada dua orang tamunya.

Syekh Yusuf an-Nabhany setia menyertai pemimpinnya. Ia berdiri persis di sisi kanan Khalifah sambil melipat tangannya ke belakang. Dalam sekejap pancaran ilmu menggelora dari tubuhnya. Sinar matanya menyiratkan kebijaksanaan dan keteguhan. Kakinya yang telah tua menapak kuat di atas lantai, seakan mendeklarasikan, jika Khalifah berdiri di sana selamanya untuk Khilafah Islamiyah, maka ia pun akan tetap tegak. Tak akan pernah beranjak.

Di hadapan Khalifah Abdul Hamid II dan Syekh Yusuf an Nabhany berdirilah dua orang pria yang telah membuat malam itu begitu berbeda. Mereka adalah Perdana Menteri Khilafah Ustmaniyah Midhat Pasha, dan seorang Yahudi Hongaria bernama Theodore Hertzl.

Kumis dan janggut hitam menggelantung di wajah Midhat Pasha. Jas hitamnya terkancing ketat pada tubuhnya. Tangan kirinya menenteng sebuah koper kecil, entah apa isi dari koper itu. Sesekali dia melirik pada Syekh Yusuf an Nabhaby sementara hatinya bertanya-tanya, mengapa ulama kolot itu ada di sini?

Pada sisi kiri Midhat Pasha, berdirilah Dr. Theodore Hertzl. Dia berperawakan kurus dan tinggi. Rambutnya hitam, ikal, dan lebat, dan rambut itu tidak terputus sampai ke wajahnya, menjadi kumis dan janggut yang tebal. Hingga seluruh mulutnya hampir tak kelihatan. Matanya menyipit saat menatap Khalifah, mungkin dia sedang tersenyum. Ekspresi wajahnya sulit dipastikan karena kumis dan janggut itu begitu lebat. Sehelai dasi berwarna biru terulur dari lehernya, dirangkaikan dengan krah yang rapi. Jas hitamnya serasi, dipadukan dengan sepatu pantovel yang sangat mengkilap. Tangan kirinya pun menenteng sebuah koper.

Mereka semua berdiri saling berhadap-hadapan, seolah-olah membentuk dua kubu yang saling berlawanan. Khalifah sengaja tidak mempersilakan mereka duduk.

“Mohon maaf, Yang Mulia,” kata Midhat Pasha, dengan sikap hormat yang pura-pura, “aku kira anda sendirian.”

“Sendirian itu berbahaya, tuan Perdana Menteri,” sahut Khalifah dengan sehelai senyum tipis. “Biri-biri yang sendirian akan mudah diterkam serigala.”

Midhat Pasha melirik lagi pada Syekh Yusuf lalu memberi senyum kecil. Syekh Yusuf mengangguk saja.

“Jadi, untuk urusan apa kau membawa Dr. Hertzl kemari?” Tanya Khalifah. “Bahkan secara rahasia.”

“Ada hal yang amat penting yang ingin sekali Dr. Hertzl bicarakan dengan Yang Mulia,” kata Midhat Pasha. “Dr. Hertzl ingin menawarkan sebuah proposal yang menarik untuk negara kita. Aku merasa ada baiknya Yang Mulia memerhatikan proposal ini.”

“Baiklah, silakan sampaikan,” perintah Khalifah.

“Silakan, Dr. Hertzl,”  Midhat Pasha menoleh pada lelaki jangkung di sisinya.

Dr. Hertzl membuka koper yang dibawanya, dari sana dia mengeluarkan sebuah map cokelat dari kulit. “Terima kasih banyak atas waktu dan kesempatan yang telah diberikan oleh Yang Mulia kepadaku. Ini adalah momen yang sangat berharga bagiku bisa menyampaikan proposal ini kepada Yang Mulia. Kami, umat Yahudi, telah berdiaspora selama ribuan tahun, dan hal yang paling penting serta paling membahagiakan bagi kami adalah jika kami bisa kembali ke tanah yang dijanjikan bagi kami, yaitu tanah Palestina. Kami ingin mengajukan kepada Yang Mulia untuk mencabut batasan waktu tiga bulan untuk orang Yahudi diizinkan tinggal di Palestina. Dan agar umat Yahudi diizinkan untuk memiliki tanah di sana. Kami sangat mengharapkan sekali bisa tinggal di tanah yang dijanjikan bagi kami dan bisa menetap di sana. Sebagai kompensasi dari hal tersebut, kami bersedia untuk menyerahkan tiga puluh lima juta Lira emas, kami juga bersedia untuk membiayai pembangunan benteng pertahanan bagi Khilafah Ustmaniyah, dan kami bersedia untuk menanggung seluruh utang luar negeri Khilafah Ustmaniyah. Kami sangat mengharapkan Yang Mulia berkenan dengan pengajuan kami ini, sebab hidup di dalam diaspora amatlah menyakitkan. Kami ingin sekali pulang dan tinggal di kampung halaman kami, ke tanah yang dijanjikan bagi kami. Demikian, semoga Yang Mulia berkenan. Proposal ini akan kami serahkan kepada Yang Mulia melalui Perdana Menteri Midhat Pasha.”

Dr. Hertzl membungkuk hormat kepada Khalifah lalu menatap Khalifah dengan mata menyipit. Mata Khalifah menatap tajam kepada Midhat Pasha. Berapa banyak orang Yahudi ini  membayarmu, bisik hatinya. Beberapa detik lamanya kesunyian menyeruak, tak ada yang bicara. Hingga Khalifah membuka suaranya.

“Aku telah menyimak apa yang disampaikan oleh Dr. Hertzl, dan aku telah mafhum maksudnya,” Khalifah memandang Dr. Hertzl. “Tidakkah anda ingat, apa yang menyebabkan kaum Yahudi berdiaspora? Mungkin memang benar tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan bagi kaum Yahudi, karena itulah dahulu Allah memerintahkan kaum Yahudi untuk berjihad menaklukkan tanah itu bersama-sama dengan nabi Musa. Tidakkah anda ingat apa yang dikatakan kaum Yahudi kepada Nabi Musa atas perintah itu?”

Dr. Hertzl menggeleng pelan, dia tak punya jawaban untuk pertanyaan Khalifah, namun dia menyimak setiap helai kata-kata Khalifah, tak ingin terlewat sedikit pun.

“Kaum Yahudi berkata, ‘wahai Musa, pergilah engkau berperang bersama Tuhanmu melawan kaum itu, sementara kami duduk-duduk saja di sini.’” Khalifah diam sejenak, mengatur tempo bicaranya. “Sekarang tahukah anda, Dr. Hertzl, kaum Yahudi harus menanggung takdir diaspora Karena pembangkangannya sendiri terhadap perintah Tuhan dan utusanNya. Dengan kata lain, kaum Yahudi sendirilah yang telah menolak tanah Palestina karena pembangkangan mereka. Jelaslah, bahwa apa yang tadi anda katakan semuanya tidak benar.”

Khalifah Abdul Hamid II dan Syekh Yusuf an Nabhany berdiri tegak di hadapan musuh-musuh Islam itu. Menunjukkan izzul Islam wal muslimin, menampakkan keteguhan bahwa merekalah yang akan membela tegaknya Khilafah Islamiyah sampai akhir.

“Dr. Hertzl,” lanjut Khalifah, “silakan anda bawa kembali seluruh harta anda dan kaum Yahudi, sebab kami tidak membutuhkannya. Jika kami berhutang, kami akan berupaya melunasinya dengan harta kami sendiri atas limpahan karunia dari Allah. Jika kami ingin membangun benteng pertahanan, kami pun akan berupaya sekuat kami dengan harta kami sendiri. Tanah Palestina bukanlah milikku, tetapi milik umat. Mujahidin telah membebaskan tanah itu dengan menyiramkan darah mereka di setiap butiran pasirnya. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah melepaskan tanah Palestina dari tubuh Khilafah Islamiyah. Jika kelak Khilafah Islamiyah telah runtuh, silakan kaum Yahudi mengambil tanah itu tanpa membayar harganya sepeserpun. Tapi, selama aku masih hidup, lebih baik aku menerima tusukan pedang di tubuhku, daripada membiarkan pemisahan itu terjadi.”

Kesenyapan bangkit kembali. Detik-detik terlewati dengan degup jantung berubah menjadi kencang. Semuanya terpaku dengan apa yang disampaikan Khalifah. Mulut Syekh Yusuf an Nabhany pun mengatup keras. Kebanggaan menyelubungi dirinya akan pemimpinnya itu. Ia bersyukur berada di sisi Khalifah pada saat-saat yang sangat penting itu.

“Aku rasa semuanya telah jelas, tuan Perdana Menteri,” kata Dr. Hertzl sambil menoleh kepada Midhat Pasha. Kemudian dia beralih lagi kepada Khalifah. “Terima kasih, Yang Mulia telah sudi memberi kesempatan kepadaku untuk menyampaikan proposal ini. Apa yang dijelaskan oleh Yang Mulia telah sama-sama kita pahami. Kalau begitu…”

Mata Dr. Hertzl yang tadinya menyipit tiba-tiba berubah menjadi besar. Bola matanya yang hijau seolah-olah sebilah pedang yang menusuk tajam langsung ke sanubari Khalifah. Suaranya yang awalnya lembut dan ceria, berubah menjadi datar dan tegang, “… Kami akan runtuhkan Khilafah Islamiyah! Aku mohon diri, Yang Mulia.”

Dr. Hertzl segera berbalik dan melangkah keluar tanpa menunggu Midhat Pasha. Perdana Menteri Khilafah Islamiyah itu mendelik sinis kepada Khalifah Abdul Hamid II dan Syekh Yusuf an Nabhany, dia bergegas mengikuti langkah Dr. Hertzl. Malam terus bergulir, menyaksikan semuanya, hanya saja dia tidak mampu mengungkapkan kisah-kisah itu, sebab dia saksi bisu.

 The End

Mendaki Tebing Karya

Seorang penulis baru bisa disebut sebagai penulis secara utuh, jika dia sudah memiliki karya. Semakin banyak dan semakin berkualitas karyanya, maka ia akan semakin diakui. Karya yang dimaksud di sini –bagi seorang penulis- adalah dalam bentuk tulisan, baik itu berupa buku, artikel, cerpen, puisi, dan berbagai bentuk tulisan lainnya. Karya pun bukanlah tulisan yang hanya dijadikan konsumsi pribadi, tapi juga harus dipublikasikan sehingga bisa dibaca semua orang. Dengan demikian, jika ada seseorang yang telah sedemikian banyaknya membuat tulisan, namun tulisannya itu hanya mengendap di dalam harddisk laptop atau di dalam buku catatannya saja, maka –tanpa mengurangi rasa hormat- dia belumlah bisa disebut sebagai penulis (mungkin baru setengah penulis). Seorang penulis mestilah membuat karya yang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga harus bisa dibaca orang lain, dengan kata lain, karyanya itu mesti dipublikasikan.

Membuat karya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Seorang penulis seolah-oleh harus mendaki sebuah tebing yang tinggi sampai ke puncak tatkala membuat sebuah karya. Maksudnya begini, ketika membuat sebuah karya, seorang penulis pastilah mengawalinya dengan memunculkan sebuah ide. Kemudian ide itu ia kembangkan menjadi kerangka-kerangka, barulah ia menggarapnya menjadi naskah yang utuh, sampai selesai. Di tengah-tengah penggarapan karya itu pastilah akan ditemui berbagai kesulitan, persis seperti mendaki sebuah tebing. Dan ketika ia telah berhasil menyelesaikan karya itu, maka telah tibalah ia di puncak tebing dengan perasaan lega.

Menggarap sebuah karya membutuhkan kesabaran, konsentrasi, dan konsistensi yang tinggi, tidak boleh angin-anginan. Kalau angin-anginan, yang terjadi adalah naskah itu lambat selesainya, atau malah tidak akan pernah selesai sama sekali. Yang sering kali terjadi adalah, seorang penulis punya banyak ide brilian di kepalanya, kemudian ia mulai menggarap idenya itu dengan penuh semangat, tapi di tengah-tengah semuanya berantakan karena ada banyak hal yang mengalihkannya dari karyanya. Seorang penulis hebat bukanlah dia yang hanya punya ide brillian, tapi juga harus bisa memulai penggarapan idenya itu kemudian menyelesaikannya.

Ide-ide Islam dan perjuangan penegakan syariah Islam serta Khilafah Islamiyah sangat membutuhkan penulis-penulis tangguh yang pandai meliukkan pena dan mengguratkan makna. Jangan sampai tulisan-tulisan dan kisah-kisah tentang perjuangan Islam tenggelam oleh air bah karya-karya sekular-liberal yang menyesatkan. Keep on writing. [sayf]

 

 

Berbagai Kepayahan

A friend in need is a friend indeed, pepatah barat itu mungkin ada benarnya. Pasti akan ada banyak sekali orang yang mau berteman dengan kita ketika kita tertawa dan senang. Namun ketika kesulitan dan kepayahan yang murung datang, biasanya satu persatu teman meninggalkan kita. Dan teman yang baik adalah dia yang mau terus berteman dengan kita apapun keadaannya. Saat senang saling berbagi, saat sulit saling membantu. Dan Islam mengajarkan seperti itu.

Dan dalam tulisan sederhana ini saya ingin sekali berbagi sedikit kepayahan. Ketika seseorang telah menegakkan suatu cita-cita di dalam hatinya, Allah swt akan mendatangkan ujian yang berat akan cita-citanya itu. Hal itu pulalah yang saya rasakan. Ketika saya menegakkan cita-cita untuk penjadi penulis dan berjanji untuk terus menulis, Allah menguji saya dengan berbagai kepayahan.

Dwilogi SABIL saya tulis dalam keadaan seperti itu. Ekonomi keluarga berantakan. Label media yang saya bangun dengan kawan-kawan harus kolaps. Saya harus kenyang dengan hinaan. Putus kuliah. Dan berbagai macam kepayahan yang lain. Hingga pada suatu saat sampailah saya pada satu titik yang paling gelap, saya sudah tak tahu lagi apa yang mesti saya lakukan dalam hidup. Seolah-olah nasib memenjara saya, dan tak akan pernah lagi saya temukan jalan keluar. Buntu!

Waktu itu apa yang ada di kepala saya adalah, saya ingin sekali naik ke bukit, walau saya tak tahu apa tujuannya (bukan buat bunuh diri lho). Hanya dengan dua kali naik angkot, sampailah saya di bukit itu, bersama seorang kawan dekat saya. Baru beberapa kali saja saya ke sana, namun saya langsung menyukai tempat itu. Di puncak bukit itu ada batu karang yang bertumpuk-tumpuk, membentuk sebuah gua. Saya naik ke gua itu, awan dan langit tak bersudut di depan mata saya. Saat itulah saya berteriak sekuat-kuatnya. Saya hanya ingin menulis. Saya hanya akan terus menulis. Saya akan menulis sampai saya tak bisa menulis lagi. Tangan saya teracung tinggi-tinggi. Setelah saya berteriak, semua rasa sesak di hati saya menguap entah ke mana. Perjalanan menuju bukit itu menjadi pelajaran berharga buat saya.

Esok paginya, usai solat subuh, saya baca majalah pinjaman dari seorang kawan. Ada kisah perang sabil Aceh dalam majalah itu. Ketika itulah saluruh langkah menulis Sabil seolah-olah dihamparkan Allah di depan hidung saya. Seluruh langkahnya dari awal sampai akhir, tak ada yang tertinggal. Padahal sebelumnya belum pernah ada seorang pun yang mengajari saya menulis novel. Saya bahagia sekali mendapatkan petunjuk itu. Saya ikuti terus langkah-langkah itu dengan sabar, walau kepayahan masih terus mendera hidup saya. Saya garap Sabil dengan semangat menggebu. Saya menulis Sabil dengan tulisan tangan, semua naskahnya saya garap dengan tulisan tangan. Hampir setiap hari selama tujuh bulan saya menulis. Mulainya habis subuh, baru berhenti habis isya, hampir nonstop. Jari saya sampai bengkak dan kembang-kempis. Setelah selesai saya langsung mengirimkan naskahnya ke Mizan, hanya dengan pertolongan Allah, Mizan langsung menerimanya untuk diterbitkan. Saat ini saya sedang menunggu terbitnya seri kedua Sabil.

Dan saya semakin mengerti, bahwa kepayahan yang mendera saya, datang sambil berkata, “seberapa kuat kau bertahan di atas jalan cita-cita itu?” Dengan memohon pertolongan hanya kepada Allah, saya akan teriakkan bahwa saya akan tetap bertahan di sana.[sayf]

Dikibulin Demokrasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1. teacher: what’s democracy? | student: the freedom to choose your own dictators!
2. mereka bicara tentang “bebas memilih” | sebenarnya anda hanya bebas memilih apa yang sudah mereka tentukan, paham? 🙂
3. jadi “bebas memilih” saat ini adl bebas memilih yang sudah mereka paksa untuk anda pilih, dan anda tak punya pilihan selain itu 🙂

Poin-poin di atas adalah beberapa tweet dari senior saya, mas Felix Siauw, seorang inspirator muslim, pendakwah yang tegas, pengusaha sukses, penulis best seller, sekaligus sosok yang saya kenal sangat tawadhu. Setiap kalimat di dalam tweet dan status-statusnya sarat dengan hikmah dan kebijaksanaan. Selalu memacu kita semua untuk menjadi lebih baik lagi. Ia selalu menjaga dirinya dari kata-kata yang tidak berguna. Saya rasa, beliaulah salah satu sosok pemuda (usianya masih kepala 2 walaupun anaknya sudah 3, hehe) pada masa kita sekarang ini yang mesti diteladani. Tapi marilah kita hentikan memuji Mas Felix karena pastinya beliau tidak suka dipuji-puji. Sekarang mari kita ngobrol tentang tweet Mas Felix yang berbicara tentang demokrasi di atas.

Ada banyak penipuan dan permainan kata di dalam demokrasi. Di antaranya adalah “demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dari jaman fir’aun masih bujangan (peribahasa, maksudnya jaman dulu banget) demokrasi nggak pernah ada buat rakyat. Lihat aja, di dalam demokrasi, koruptor malah dapet remisi. Di dalam demokrasi pula pencurian harta kekayaan rakyat menjadi amat sangat leluasa.

Permainan kata yang lainnya adalah “bebas bertanggungjawab.” Istilah ini pernah dipropagandakan oleh guru PPKN saya semasa saya sekolah dulu. Dan saya jadi penentangnya yang utama (saya sampai berdiskusi dengan guru saya tentang isu ini). Istilah bebas bertanggungjawab ini sebenarnya adalah kumpulan dari dua hal yang sangat bertolakbelakang. Bebas tidak akan mungkin bisa disatukan dengan tanggungjawab. Orang yang bebas tidak akan mungkin bertanggungjawab, namanya juga bebas ya pastilah bertindak seenak udelnya sendiri. Orang yang bertanggungjawab pun tidak akan mungkin hidup bebas, sebab setiap tindakannya harus disesuaikan dengan standar tertentu yang mengharuskan dia memertanggungjawabkan tindakannya itu. Tapi di dalam demokrasi, kedua istilah ini dikawinkan, yaudah talak tilu sakalian.

Propaganda demokrasi yang menipu lainnya adalah apa yang disampaikan Mas Felix dalam tweet-nya di atas, “bebas memilih”. Lha di sebelah mana bebas memilih kalau pilihannya sudah ditentukan? Kalau emang bener-bener mau bebas memilih, nggak usah ada calonn presiden. Biarin aja rakyat bebas memilih presidennya sendiri! Kalau saya sih maunya bapak saya yang jadi presiden, biar keluarga saya pada makmur semua. Kalau kawan saya pengen bapaknya yang jadi presiden, yaudah biarin aja, namanya juga “bebas memilih”. Tapi ternyata kan nggak. Katanya bebas memilih, tapi pilihannya udah dibatasi duluan, cuman bisa milih nomor urut 1, atau 2, atau 3, atau 4. Di luar itu nggak boleh. Lha kalo kaya’ gitu ya nggak bebas memilih dong namanya. Hmph… dasar demokrasi, KADAL semua…!!!

Menulis Sampai Mati

The Narrative of Arthur Gordon Pym of Nantucket

Perkenalan saya dengan Edgar Allan Poe terjadi belum lama ini. Saya dapatkan beberapa naskahnya, kemudian saya telusuri siapa dia. Dari sekelumit kisah yang saya dapatkan, saya berkesimpulan, Edgar Allan Poe bukanlah penulis sembarangan. Mari kita ngobrol sejenak tentang penulis yang satu ini.

Sebagai pembuka obrolan, saya akan mengisahkan sebuah cerita tentang Allan Poe, dan kisah ini –saya percaya- akan memperlihatkan betapa hitamnya tulisan dan hidup Allan Poe.

Satu-satunya novel yang berhasil diselesaikan oleh Allan Poe sepanjang masa hidupnya berjudul The Narrative of Arthur Gordon Pym of Nantucket. Novel ini mengisahkan petualangan seorang pemuda bernama Arthur Gordon Pym dari Nantucket, mengarungi samudera bersama sebuah kapal pemburu paus bernama Grampus. Awalnya Pym hanyalah pendatang haram di Grampus. Dia diselundupkan ke kapal itu oleh seorang temannya yang bernama Augustus. Selama beberapa waktu, Pym berdiam di sebuah tempat persembunyian yang telah dipersiapkan oleh Augustus. Tanpa mereka perkirakan, terjadilah sebuah pemberontakan di atas kapal Grampus. Sebagian awak kapal melawan kapten kapal dan orang-orang yang mendukungnya, terjadilah huru-hara. Sebagian awak kapal dibunuh, sebagian lagi dibuang ke laut. Sementara kapten kapal dan beberapa awak kapal yang lain dilepas ke laut dengan sekoci. Augustus sendiri selamat karena dia berteman dengan seorang anggota pemberontak yang bernama Dirk Peters.

Kemudian bertemanlah Pym dengan Augustus dan Peters. Mereka bertiga merencanakan sebuah pemberontakan yang baru untuk mengambil alih Grampus. Pym harus berpura-pura memakai pakaian para pemberontak yang telah mati agar disangka hantu, untuk memuluskan rencana mereka. Pemberontakan pun berhasil, awak kapal yang tersisa dibunuh atau dibuang ke laut, kecuali seorang pemuda berusia 17 tahun, bernama Richard Parker (kalau Peter Parker itu Spiderman). Mereka menyisakan Richard Parker untuk membantu melayarkan Grampus.

Tiba-tiba badai besar datang. Gelombang mematahkan tiang kapal, menyobek layar, dan membanjiri geladak. Mereka berempat mengikatkan tubuh mereka ke badan kapal agar tidak terlempar ke laut. Mereka semua selamat, namun badai yang ganas itu hanya menyisakan sebuah kapal yang telah rusak, walaupun masih tetap bisa mengapung. Bencana belum berakhir, mereka dihantui bayang-bayang kelaparan dan kehausan karena bahan makanan telah habis tersapu badai atau membusuk. Sementara itu tak ada tanda-tanda mereka sedang mendekati daratan atau ada kapal yang lewat.

Suatu hari mereka melihat sebuah kapal berbendera Belanda mendekati Grampus yang sudah hancur-hancuran itu. Awak kapal Belanda itu bertopi merah, bersandar pada tepian kapal dan menyeringai lebar. Mereka bersorak kegirangan, seakan-akan dewa penolong telah datang. Saat kapal Belanda itu mendekat, lenyaplah semua harapan yang indah itu. Ternyata tak ada orang hidup di atas kapal belanda itu. Awak kapal bertopi merah yang menyeringai itu ternyata sudah mati. Seringainya adalah daging wajah yang membusuk.

Semua harapan seolah telah pupus. Richard Parker mengusulkan bahwa salah seorang di antara mereka harus mengorbankan dirinya untuk dimakan oleh yang lain. Usul itu disetujui oleh semua, undian pun dilakukan dengan sedotan. Nama yang keluar adalah Richard Parker sendiri. Parker harus menanggung nasibnya yang malang, menjadi santapan teman-temannya. Kanibalisme yang suram terjadi di atas Grampus. Pada akhirnya yang tersisa hanya Pym dan Peters. Mereka diangkut oleh sebuah kapal yang lewat, yang bernama Jane Guy. Augustus tewas karena luka yang didapatnya saat pemberontakan merebut Grampus. Petualangan Pym berlanjut sampai ke Kutub Selatan.

Kisah petualangan Pym adalah sebuah fiksi hasil imajinasi Allan Poe, walaupun dia sediri pernah menyatakan bahwa novel ini diinspirasi oleh kisah nyata. Namun fakta yang terjadi hampir setengah abad setelah diterbitkannya novel ini dan setelah kematian Allan Poe, berkata lain. Dan ini cukup membuat saya tercengang sekaligus bertanya-tanya, apa yang terjadi.

Pada tanggal 19 Mei 1884, sebuah kapal bernama Mignonette berlayar dari Southampton menuju Sydney.  Kapal itu diawaki oleh 4 orang: Tom Dudley sebagai kapten, serta tiga orang awak kapal bernama Edwin Stephens, Edmund Brooks, dan seorang lagi yang paling muda di antara mereka, berusia 17 tahun.

Sesampainya di barat laut Tanjung Harapan, Dudley memerintahkan awak kapal untuk memelankan laju kapal, agar kapal berlayar dengan santai sehingga setiap awak bisa beristirahat dan tidur nyenyak. Tak ada tanda-tanda akan terjadi badai, namun tiba-tiba sebuah gelombang besar menghantam Mignonette. Gelombang itu memporak-porandakan kapal, Dudley menyadari bahwa kapal tak bisa lagi dipertahankan, dia memerintahkan seluruh awak kapal menyelamatkan diri dengan sekoci. Dalam lima menit Mignonette karam, namun Dudley dan seluruh awak kapal selamat di dalam sekoci.

Bencana ternyata belum berakhir, mereka semua harus menghadapi ancaman kelaparan, sebab yang tersisa pada mereka hanya dua kaleng lobak. Mereka harus melewati berhari-hari tanpa kepastian, terombang-ambing di tengah laut. Ketika persediaan lobak habis, mereka makan apa saja yang mereka temukan (termasuk penyu yang lewat yang mereka makan hingga tulangnya, darahnya mereka minum). Mereka sangat menghindari minum air laut, karena dipercaya akan fatal akibatnya, sehigga mereka minum air kencing mereka sendiri.

Karena situasi semakin kritis, akhirnya terpaksa mereka minum air laut. Brooks dan awak kapal yang termuda itu minum air laut, yang membuat kondisi mereka semakin parah. Terlebih lagi awak yang termuda ini, dia sampai tak sadarkan diri karena minum air laut.

Dudley kemudian mengusulkan bahwa ada salah satu di antara mereka yang harus mengorbankan dirinya demi keselamatan yang lain. Namun Brooks menolak. Dudley melirik kepada awak kapal yang tidak sadarkan diri itu dan mengusulkan agar dia dibunuh saja. Sementara dia, Brooks, dan Stephens punya anak istri, siapa yang akan menangisi jomblo berusia 17 tahun yang mati di tengah laut, jadi baiknya dia saja yang dikorbankan. Lagipula kalau dia mati dengan cara dibunuh, darahnya masih segar untuk diminum, lain halnya kalau dia mati dengan sendirinya, darahnya sudah beku. Akhirnya keputusan dibuat, pemuda yang tak sadarkan diri itu akan dibunuh. Brooks tetap abstain. Dudley memanjatkan doa sambil mencabut pisau lipatnya, sementara Stephens memegangi kaki pemuda itu, takut kalau-kalau dia meronta. Dudley menikamkan pisau lipatnya ke jantung pemuda itu yang langsung tersentak bangun. “What me?” Rintihnya.

Mereka makan daging pemuda itu dan minum darahnya. Walaupun abstain, ternyata Brooks makan banyak dan lahap. Dudley juga makan banyak, sementara Stephens makan sedikit sekali. Ternyata manusia bisa sebegitu jahat dan kejamnya, kalau sudah urusan perut. Terbayang sekali betapa menjijikkannya minum darah dan daging mentah. Daging manusia lagi.

Tak lama kemudian datanglah sebuah kapal bernama SS Montezuma. Mereka semua diselamatkan oleh awak kapal itu. Sesampainya di darat mereka dijatuhi hukuman. Tom Dudley sendiri mendapat julukan yang tidak sedap, cannibal Tom.

Satu hal yang mencengangkan saya adalah, pemuda berusia 17 tahun yang tewas dibunuh kemudian dimakan itu bernama Richard Parker. Dan sampai di sini saya benar-benar tidak habis pikir, apa yang sebenarnya terjadi?

 

Edgar Allan Poe dilahirkan pada tanggal 19 Januari 1809 di Boston, Massachusets, Amerika Serikat. Dia terkenal dengan puisi dan prosanya yang misteri dan macabre (menggambarkan suasana suram dan murung, serta mengeksploitasi simbol-simbol kematian). Dialah penulis Amerika yang pertama kali menjadi praktisi cerita pendek, dan dianggap sebagai penemu genre fiksi-detektif. Dialah penulis Amerika pertama yang berusaha bertahan hidup hanya dari hasil menulis, walaupun kemudian menghasilkan kehidupan finansial dan karir yang sulit.

Karir menulisnya dimulai dari bawah sekali dengan pertama kali menerbitkan kumpulan puisi bertajuk Tamerlanes and Other Poems (1827) yang hanya dicetak 50 eksemplar, dan karya ini sama sekali tidak diperhatikan. Dia kemudian beralih fokus kepada prosa, dia juga bekerja di beberapa media sebagai kritikus naskah dan asisten editor. Pilihan hidupnya ini memaksanya untuk berpindah-pindah ke beberapa kota, di antaranya Baltimore, Philadelphia, dan New York.

Di Baltimore, pada tahun 1835, Allan Poe menikah dengan Virginia Clemm, sepupunya yang berusia 13 tahun. Pada bulan Januari 1835 dia menerbitkan puisinya yang terkenal, “The Raven”. Istrinya kemudian meninggal karena TBC dua tahun setelah penerbitan The Raven. Pilihan menjadi penulis pada masa Allan Poe sebenarnya adalah sebuah pilihan hidup yang berat. Pada masa itu hukum hak cipta belumlah sebaik sekarang, negara juga kurang memperhatikan nasib para penulis (tidak seperti di Khilafah Islam, yang walaupun tidak meratifikasi hukum hak cipta namun pemerintahannya sangat menghargai para penulis). Para penerbit lebih suka membajak hasil karya penulis-penulis Inggris, daripada membayar karya-karya baru dari penulis-penulis Amerika. Perekonomian pun diguncang oleh fenomena Panic 1837 (semaca krisis ekonomi di Amerika yang terjadi pada tahun 1837), yang membuat penerbit kerap kali mengabaikan pembayaran honor para penulis. Puisi The Raven yang dimuat di koran Evening Mirror dan berhasil melambungkan nama Allan Poe hanya dibayar $9 untuk penerbitannya.

Berbagai karya fiksi Allan Poe mengambil tema Gothic Horor dan banyak berkutat tentang peristiwa-peristiwa dan pertanyaan tentang kematian, juga tanda-tanda fisik tentangnya. Dia juga banyak membahas tentang efek pembusukan yang berhubungan dengan penguburan dan pembentukan kembali orang-orang mati. Selain horor, Allan Poe juga banyak menulis satire, humor, dan hoax.

Sebagai seorang kritikus literatur, Allan Poe kerap kali mengeluarkan lontaran-lontaran pedas terhadap penulis naskah-naskah yang dikrikitnya. Salah seorang penulis yang kebagian kritik pedasnya adalah Henry Wadsworth Longfellow. Allan Poe mempermalukan Longfellow secara terbuka dengan menyatakan “the heresy of the didactic” (bid’ah dalam didaktik), menulis puisi seperti menulis khotbah, dan secara tematis seorang plagiat. Allan Poe dengan tepat memprediksi bahwa reputasi Longfellow dan gaya sastranya akan akan dilupakan. Allan Poe juga dikenal sebagai penulis Amerika di abad ke-19 yang lebih populer di Eropa daripada di Amerika sendiri. Kisah detektif Allan Poe yang pertama menampilkan tokoh C. Auguste Dupin, yang kemudian tokoh ini menjadi landasan inspirasi kisah-kisah detektif di masa setelahnya. Sir Arthur Conan Doyle (penulis Sherlock Holmes) berkomentar: “Each [of Poe’s detective stories] is a root from which a whole literature has developed…. Where was the detective story until Poe breathed the breath of life into it?

Sayangnya, Edgar Allan Poe suka sekali mabuk. Dia pernah dipecat dari posisinya sebagai asisten editor di Souther Literary Messenger di Richmond karena ketahuan mabuk. Ketika istrinya meninggal pun dia mencari pelarian dengan mabuk-mabukan. Pada tanggal 3 Oktober 1849, dia ditemukan di sebuah jalan di Baltimore dalam keadaan mengigau. Rambutnya berantakan, matanya kuyu, tubuhnya lemah, wajahnya kotor, dan pakaiannya kumal. Beberapa sumber menyatakan bahwa pakaiannya itu bukanlah miliknya, karena kelihatan tidak muat. Dia diangkut ke Washington College Hospital di mana pada akhirnya dia meninggal pada hari Minggu, tanggal 7 Oktober 1849, jam 5 pagi. Selama beberapa hari menjelang kematiannya itu, Allan Poe tidak pernah berhasil menjelaskan kenapa dia bisa berada pada kondisi yang sangat aneh dan memprihatinkan itu. Disebutkan pula pada malam sebelum kematiannya, dia mengigaukan nama “Reynolds” berkali-kali. Sampai hari ini, siapakah Reynolds yang dia maksud tetaplah spekulasi. Beberapa sumber mengatakan bahwa kata-kata terakhir Allan Poe menjelang kematiannya adalah: “Lord help my poor soul.” Seluruh catatan medis hingga sertifikat kematiannya hilang. Berbagai spekulasi muncul di seputar sebab kematiannya. Ada yang menyebut karena alkohol, gagal jantung, ayan, sipilis, kolera, rabies, dll.

Misteri apa yang ada di balik naskah-naskah dan jalan hidup Edgar Allan Poe, hanya Allah-lah yang tahu. Hanya saja, marilah kita lihat tekadnya yang bulat untuk tetap menulis, dan jadi penulis. Seolah-olah dia ingin mengatakan pada dunia, “mau jadi miskin kek, mau dihina orang kek, apapun yang terjadi, gue bakal tetep jadi penulis.” Sebagai seorang muslim, kita punya sesuatu yang lebih berharga daripada Edgar Allan Poe, yaitu perjuangan menegakkan ideologi Islam. Tuangkan dia ke dalam tulisan, dan tetap teguhlah di sana, sehingga kelak akan menginspirasi serta menarik gerbong sebuah perubahan. Keep on writing!

The Black Cat and The Writer

Edgar Allan Poe (1809 – 1849)

Hitam sekali jiwa seorang pemabuk. Ketika cairan laknat itu telah menuangi jiwa seseorang, rasa kasih sayang akan cepat berganti dengan kebengisan. Rasa iba menguap entah kemana. Itulah yang terjadi pada seorang lelaki yang hidupnya –awalnya- begitu sempurna. Ia menyayangi binatang piaraannya dan begitu pula istrinya. Karena dia dan istrinya sama-sama penyayang binatang, maka mereka memelihara beberapa jenis binatang di rumah mereka. Ada kera, kelinci, burung, anjing, juga kucing. Dari semua hewan piaraannya, kucinglah yang paling disayanginya.

Kucing ini berbulu hitam pekat, Pluto namanya. Badannya besar dan manis sekali. Awalnya hubungan mereka begitu baik, namun semua berubah ketika jiwa lelaki itu menjadi semakin hitam karena alkohol. Setiap kali dia pulang dalam keadaan mabuk, dia menjadi kesal dan jijik pada kucing itu, hingga dia mengambil sebilah pisau kecil dari saku pakaiannya, kemudian mencungkil sebelah mata kucingnya. Ketika dia bangun pagi harinya, dia menyesali semua itu. Kucing kesayangannya telah terlanjur kehilangan sebelah mata. Yang tersisa hanya rongga kosong yang hitam, tempat di mana awalnya bola mata itu berada.

Sayangnya, kejahatan itu kemudian kambuh lagi saat alkohol menguasai dirinya, hingga dia tidak segan-segan menggantung kucing kesayangannya itu. Dan bukan hanya kucingnya, dia pun menanamkan sebilah kapak ke kepala istrinya. Mayat istrinya itu dibenamkannya di dinding ruang bawah tanah, di balik susunan batu bata dan semen. Kisah yang sungguh hitam dan gelap.

Cerita pendek yang mengerikan di atas adalah sebuah kisah klasik buah pena Edgar Allan Poe, yang berjudul The Black Cat. Namanya dinobatkan sebagai penulis kisah horor gothic terbesar, dan kisah hidupnya tak kalah misterius seperti kisah-kisah yang ditulisnya. Setidaknya ada satu hikmah yang bisa kita petik dari The Black Cat, mabuk adalah sebuah pintu yang lebar menuju kriminalitas dan kemaksiatan. Orang-orang yang baik sekalipun kalau dia sedang mabuk, dia bisa saja menjadi seorang pembunuh berdarah dingin, atau pemerkosa paling sadis. Lebih dari itu, tulisan Edgar Allan Poe ini hanya memanjakan orang-orang yang mungkin di dalam hatinya ada jiwa psikopat.

Edgar Allan Poe memang seorang pemabuk, mungkin dari sanalah dia mendapatkan inspirasi bagi kisah-kisahnya yang gelap dan hitam. Dia meninggal pada usia yang cukup muda, 40 tahun, di Washington College Hospital, setelah sebelumnya ditemukan di sebuah jalan di Baltimore dalam keadaan sangat buruk, pucat, lemas, dan mengigaukan nama Reynolds yang hingga kini tidak pernah diketahui siapa. Dia meninggal dalam keadaan miskin tanpa teman atau saudara.

Satu pelajaran berharga yang bisa kita petik adalah, Edgar Allan Poe tetap teguh menjadi seorang penulis, walaupun menjadi seorang penulis pada masanya amatlah berat. Pada paruh pertama abad ke-19 M berprofesi menjadi penulis amatlah terpinggirkan. Terkadang karya-karya seorang penulis dimuat begitu saja tanpa kompensasi, dan walaupun mendapat bayaran, jumlahnya sangat memprihatinkan. Semasa hidupnya, Poe sendiri tidak mendapatkan hasil apa-apa dari sekian banyak karya tulisnya (selain untuk hidup dengan amat sangat sederhana). Namun setelah kematiannya, dia dinobatkan sebagai salah satu penulis horor/suspens/teror/misteri terbaik yang pernah hidup. Gaya menulisnya berkali-kali ditiru dan dikembangkan orang. Dia dikenang umat manusia sebagai penulis yang hebat. Di sanalah kekuatan tekad.

Sebagai seorang muslim, tentunya kita memiliki satu hal yang lebih berharga untuk kita tuliskan. Jauh lebih berharga daripada kengerian dan kebengisan yang diceritakan Poe. Hal berharga itu adalah perjuangan menegakkan ideologi Islam. Tuliskanlah perjuangan itu, tuangkanlah dia dalam aliran kisah-kisah, rangkaikanlah dia dalam rima-rima puisi, dan bentangkanlah dia dalam setiap argumentasi. Lakukanlah semua itu dengan penuh tekad, yang kelak akan menginspirasi. [sayf]