Sejak sebelum menikah, saya sudah mengazzamkan diri, bahwa kelak jika Allah berkenan menitipkan anak kepada saya, saya akan menyaksikan proses kelahirannya. Saya sendiri tidak tahu apakah saya sanggup menyaksikan proses yang amat menakjubkan sekaligus “mengerikan” itu. Sebab ada banyak suami di luar sana yang tidak berani menyaksikan proses melahirkan, dan lebih memilih untuk menyingkir dari istrinya ketika sedang melahirkan anaknya. Setelah urusan selesai, barulah dia datang. Saya memandang bahwa sikap seperti itu adalah wujud lain dari kepengecutan. Seorang suami seharusnya hadir pada suatu waktu yang paling penting dan paling kritis dalam hidup istrinya, yakni ketika melahirkan. Dia harus diam di sana, memberikan dukungan, ikut membantu, dan menyaksikan.
Ketika saya mengetahui bahwa istri saya telah mengandung anak kami yang pertama, saya masih tetap bertanya-tanya apakah saya sanggup menyaksikan kelahiran! Saya kembali menguatkan diri saya, dan berkata dalam hati bahwa saya harus sanggup. Hari-hari berlalu, janinnya tumbuh dengan baik, kuat, dan sehat. Semakin hari semakin besar, dan setelah datang waktunya, dia siap untuk dilahirkan.
Hari itu Jum’at, tanggal 30 Maret 2012, istri saya sudah mulas-mulas, dan kami segera melarikannya ke rumah sakit bersalin. Kata orang-orang, kelahiran anak pertama memang makan waktu agak lama. Prosesnya cukup panjang, dan dalam proses yang panjang itu saya harus menyaksikan istri saya menahan sakit di perutnya. Saya tidak tahu sakitnya seperti apa, karena saya tidak merasakannya, tapi pastinya sakit sekali. Sebab hal itu terlihat di raut wajah istri saya yang tegang, sampai-sampai saya mengira dia tidak akan pernah bisa tersenyum lagi. Baru segitu saja saya hampir-hampir tidak sanggup menyaksikannya, bagaimana lagi proses melahirkannya nanti? Sebenarnya saya ingin segera kabur dari ranjang persalinan itu, tapi saya menahan diri. Bagaimana mungkin saya bisa tidak hadir di sana, di waktu-waktu ketika istri saya amat membutuhkan saya! Saya harus berada di sana, ketika napas pertama anak saya berembus di alam dunia.
Saya tetap menunggu di ruang persalinan, hingga jarum jam hampir menunjukkan waktu zuhur. Saya jadi bingung, sudah dari pagi istri saya menahan sakit perut seperti itu, tapi sampai menjelang zuhur bayinya belum lahir-lahir juga. Sementara waktu solat Jum’at semakin menjelang. Akhirnya saya tak punya pilihan lain, saya pergi solat Jum’at, tugas saya menunggui digantikan oleh mertua saya. Usai solat Jum’at, ketika saya kembali dengan segera ke ruang persalinan, ternyata anak saya sudah lahir. Istri saya cerita, rupanya tak lama setelah saya pergi, air ketubannya pecah, dari “bukaan 5” hingga bukaan selanjutnya berjalan hanya dalam hitungan detik. Dan ketika khatib sedang naik mimbar, di waktu-waktu di mana doa dikabulkan Allah, anak saya lahir. Saya cuma bisa mengucap syukur memuji Allah. Anak saya yang pertama, seorang perempuan, saya namai dia Yukizahra Maryam Sayfal.
Sejak sebelum anak saya lahir, saya terbiasa membacakan hafalan Alquran saya ke perut istri saya, hampir setiap hari. Selesai mengaji, saya panjatkan doa-doa kepada Allah subhanahu wata’ala di dekat janin yang sedang tumbuh itu. Ini menjadi tradisi di dalam keluarga. Apa yang saya saksikan kemudian pada diri si Maryam amat mencengangkan saya. Ketika si Maryam berusia kira-kira satu setengah tahun, jika saya bertanya kepadanya “siapa Tuhan kita?”, dia akan langsung menjawab “Allah”, sambil mengacungkan telunjuknya. Padahal tidak ada kosakata lain yang bisa dengan baik dia ucapkan sebaik mengucap lafaz “Allah.” Saya benar-benar tidak menyangka.
Hari demi hari berlalu, ternyata Allah berkehendak menitipkan lagi anak kepada saya dan istri saya. Saya kembali bertanya-tanya, apakah untuk anak yang kedua ini, Allah mengizinkan saya menyaksikan kelahirannya? Saya tetap tidak berubah, saya tetap berniat untuk menyaksikan kelahiran sambil memohon kekuatan kepada Allah. Kalau nanti Allah berkehendak lain, kalau Dia tidak mengizinkan saya lagi untuk menyaksikan kelahiran, saya pasrahkan semuanya kepada Allah.
Perlakuan yang sama kepada si Maryam saya lakukan juga kepada calon adiknya. Saya selalu membacakan hafalan Alquran ke perut istri saya ketika hamil anak kami yang kedua ini. Doa-doa pun selalu kami panjatkan kepada Allah yang mahamengabulkan doa. Ketika harinya sudah tiba, saya dan istri saya berangkat ke rumah sakit bersalin yang sama ketika melahirkan si Maryam. Istri saya ditempatkan di ranjang yang sama ketika dia melahirkan si Maryam.
Sejak pagi hari sudah “bukaan 4”, ternyata istri saya harus menahan sakit sampai menjelang sore. Ketika waktu ashar sudah menjelang, saya tinggalkan dulu istri saya di ranjang persalinan, untuk melaksanakan solat. Saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Tak lama kemudian ketika saya kembali, ketuban istri saya sudah pecah. Tim medis sudah bersiap-siap untuk membantu proses persalinan. Saya hadir di saat yang tepat, ternyata kali ini Allah mengizinkan saya menyaksikan kelahiran. Saya kembali bertanya kepada diri saya sendiri, apakah saya sanggup? Istri saya dan beberapa tim medis pun bertanya tentang kesanggupan saya. Maka saya kuatkan diri saya. Saya harus sanggup.
Rasa sakit di perut istri saya makin menghebat, tim medis sudah bersiap-siap. Saya hadir di sisi istri saya membisiki kalimat-kalimat toyyibah. Saya bantu mendorong, sementara istri saya mengejan sambil menahan sakit. Saya gemetaran. Ruangan persalinan itu dingin, tapi saya keringatan. Setelah berjuang sedemikian kerasnya, anak itu pun lahirlah. Anak yang baru lahir itu diangkat oleh dokter sambil mengucap syukur. Selang alamiah masih terpasang di pusarnya, warna kulitnya putih abu-abu bercampur lendir dan darah, saya menyaksikannya sambil melongo seperti orang o’on, dan saya tidak akan pernah melupakan momen itu.
Saya mengucapkan puji dan syukur kepada Allah sebab Dialah yang berkuasa dan berkehendak. Anak kedua kami juga seorang perempuan, saya namai dia Hanasaliha Aysya Sayfal. Semoga Maryam dan Hana bisa tumbuh menjadi perempuan yang salehah, yang menjaga diri serta agamanya, dan mengabdikan diri mereka kepada Allah subhanahu wata’ala sepanjang hidup mereka. Saya terkenang pada sabda Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam, jika seseorang memiliki dua orang anak perempuan, kemudian dia mendidiknya sepenuh hati untuk menjadi perempuan yang salehah, maka surga telah dijaminkan untuknya. Subhanallah. Semoga.