Futuh Ruum -full version

Ribuan kaum muslim telah berkumpul di Raudhotul Islam, sebuah landmark dari Khilafah Islamiyah yang luas. Khilafah Islamiyah adalah sebuah negara global bagi kaum muslimin. Khilafah Islamiyah adalah rumah bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

 

Walaupun orang ramai berdesak-desakan di taman yang megah itu, Raudhotul Islam, semuanya tertib dan kerumunan laki-laki tetap terpisah dari kerumunan perempuan. Mereka berdiri menghadap ke satu titik, kepada sebuah panggung yang ada di tengah-tengah taman itu. jantung mereka berdebar-debar, mereka sedang menunggu pelantikan Khalifah yang baru, Khalifah yang kedua.

 

Setelah puluhan tahun menderita karena ketiadaan Khilafah Islamiyah, pada akhirnya kaum muslim berhasil menegakkannya kembali, mereka mengangkat seorang Khalifah untuk mewakili mereka melaksanakan syariat Islam secara kaffah, Khalifah yang pertama itu bernama Ahmad, ia seorang ulama. Setelah lima tahun memimpin dengan penuh dedikasi dan pengorbanan, Khalifah Ahmad wafat dalam damai. Ia telah berhasil mempersatukan negeri-negeri Islam yang lain yang masih berada di bawah pemerintahan kufur; membangun dan mengonsolidasi kekuatan Khilafah dan semua aparaturnya; berhasil membubarkan semua pangkalan militer negara-negara kafir dari wilayah kaum muslim; dan berhasil mengambil kembali semua sumber daya alam yang dahulu –ketika Khilafah Islamiyah belum tegak- dikeruk habis-habisan oleh kaum kapitalis barat melalui perusahaan multinasional dan penguasa-penguasa muslim yang melacurkan diri menjadi antek penjajah; ia juga berhasil mengerahkan jihad akbar kaum muslim untuk menahan serangan Uni Eropa ke wilayah Khilafah Islamiyah.

 

Amirul Mukminin itu kini telah wafat, dan kewajiban kaum muslim adalah mengangkat seorang pemimpin yang baru menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Selama tiga hari, tokoh-tokoh umat yang menjadi ahlul halli wal ‘aqdi memilih Khalifah yang baru, dan hari ini, seluruh kaum muslim di dunia sedang menanti pelantikan pemimpin mereka.

 

Raudhotul Islam sudah penuh sesak. Taman yang keindahannya tak terperi itu menjadi kebanggaan kaum muslim, sekaligus menjadi salah satu landmark Khilafah Islamiyah. Taman itu meniru keindahan taman-taman surga, luasnya 5000 hektar, ia menjadi tempat bertamasya kaum muslim. Pepohonan tumbuh subur menyejukkan, ada kebun-kebun bunga beraneka warna. Sungai-sungai buatan mengalir jernih di dalamnya, ikan-ikan berenang bebas. Ada juga taman bermain untuk anak-anak. Masjid al Khilafah yang megah pun terletak di kompleks taman Raudhotul Islam. Sebatang tiang bendera yang tinggi tegak di sisi panggung. Bendera besar warna putih bertuliskan syahadat warna hitam berkibar megah di langit pagi. Tiap kali ada peristiwa penting, taman itu pasti ramai.

 

Seluruh rakyat semakin berdebar, hari ini pemimpin mereka dilantik untuk meneruskan penegakan syariat Islam dan penyebaran Islam kepada seluruh alam. Panggung yang ada di tengah-tengah taman itu telah tenggelam oleh lautan manusia di sekelilingnya. Para syurthoh yang berseragam putih berdiri tegak mengelilingi panggung sekaligus mengendalikan keadaan. Kerumunan massa yang berjumlah ribuan orang itu sangat tertib, sebab mereka semua tahu ketertiban adalah perintah Allah.

 

Tiba-tiba semua kepala menoleh ke langit, sebuah helikopter warna putih dengan tulisan syahadat di kedua sisinya melayang mendekati taman. Helai-helai angin berhamburan, rerumputah bergoyang kencang. Helikopter itu melayang memasuki taman, mengapung tepat di atas panggung di tengah-tengah taman. Semua orang menengadah sambil memicingkan mata sebab angin bertiup kencang dari baling-baling helikopter yang besar itu. Semua lensa kamera disorotkan kepada helikopter itu, para reporter melaporkan apa yang sedang terjadi, gambarnya dikirimkan ke seluruh dunia lewat udara.

 

Sebuah pintu di sisi kanan helikopter itu kemudian membuka, sebuah tangga tali diulurkan ke bawah hingga ujungnya mendarat tepat di atas panggung. Seorang demi seorang menuruni tangga tali itu hingga tiba di panggung. Empat orang laki-laki yang tegap dan gagah sudah berdiri tegak di atas panggung. Tangga tali kemudian ditarik kembali masuk ke dalam helikopter yang kemudian melayang pergi.

 

Sebatang mikrofon telah tegak di sana, seorang pria yang memakai jas hitam sederhana kemudian menghampirinya. Empat orang lelaki di atas panggng itu semuanya memakai jas hitam. Lelaki itu orang arab, janggut yang kokoh menghiasi wajahnya, matanya yang tajam berwarna cokelat bening. Ia menatap kepada kerumunan kaum muslim itu.

 

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” suara salamnya diperkeras berkali-kali lipat. Layar-layar besar yang menampilkan wajahnya yang tampan dipasang di berbagai sudut Raudhotul Islam.

 

Tiba-tiba suara salam mengguntur dari mulut ribuan kaum muslim. Lelaki itu tersenyum tipis.

 

“Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala atas segala barokah dan karunianya. Dialah yang telah memberikan rahmat kepada kita semua. Solawat dan salam akan selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw., keluarga, dan sahabatnya. Semoga kemenangan dan keselamatan akan selalu terlimpah kepada kaum Muslim dan Khilafah Islamiyah. Amin.”

 

Yaa ma’syarol muslimin rahimakumullah, perkenalkan, aku adalah Hasan Shalih, panitia pemilihan Khalifah pada ahlul halli wal ‘aqdi, alhamdulillah dengan kemudahan dari Allah swt., telah berhasil dipilih seorang Khalifah yang baru untuk kaum muslim di seluruh dunia, untuk melaksanakan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam kepada segenap penjuru alam. Dan hari ini, kita semua akan menyaksikan pelantikan Khalifah kita yang baru, Khalifah Muhammad Hasanuddin. ALLAAAAHU AKBAR.!!!” Hasan Shalih menoleh ke belakang, menatap kepada satu-satunya lelaki muda bersorban di panggung itu. Ia memakai jas hitam sederhana dengan kemeja putih tanpa dasi di bagian dalamnya. Hasan Shalih membuka tangannya dan mempersilakan sang Khalifah maju.

 

Di bawah gemuruh takbir yang riuhrendah, Khalifah Hasanuddin melangkah mendekati mikrofon. Usianya masih muda, baru tiga puluh lima tahun, namun usianya itu tidaklah menghalanginya untuk memimpin seluruh kaum muslim di dunia.

 

Khalifah mengucap salam, dan kaum muslimin menyambut salam itu dengan gelombang suara salam yang pantul memantul di udara. Setelah memuji Allah dan berselawat kepada Rasulullah ia mulai pidatonya.

 

“Wahai kaum muslim, amatlah berat amanah yang kutanggung di pundakku ini. Apakah yang akan aku katakan di hadapan Allah pada pengadilan di hari kiamat nanti? Ada milyaran kaum muslim di muka bumi ini dan semua urusannya ada di atas pundakku. Sungguh aku takut kepada Allah, takut kalau-kalau aku lalai dalam mengemban amanah ini. Tolong luruskan aku jika aku keliru. Bersama-sama, akan kita wujudkan kemenangan bagi Islam dan kaum muslim.”

“ALLAAAAAAAHU AKBAR…”

 

Pekik takbir meledak lagi. Pelantikan itu disaksikan seluruh dunia, kata-kata Khalifah yang singkat itu didengar oleh semua. Begitulah Khalifah kaum muslim, tak banyak berkata-kata, tak banyak mengumbar janji, yang dia tahu hanyalah mengerahkan segala daya upaya untuk memperhatikan dan mengurusi kaum muslimin di seluruh dunia. Wahai Allah, Tuhan seru sekalian alam, limpahkan ridhoMu untuk Khalifah kaum muslim. Beri dia kekuatan untuk mewujudkan janjiMu, untuk mewujudkan cita-cita itu… amin.!

 

Bendera putih berukir kalimat syahadat warna hitam berkibar di cakrawala biru. Kemegahannya tak terperi, sebab ia akan menguasai dunia sebentar lagi. Tiang bendera setinggi dua puluh meter tertancap tegak, mengawal Khilafah Islamiyah tumbuh dan bergerak. Di hadapan tiang bendera itu berdirilah Baytul Khilafah, sebuah istana megah yang jadi pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah. Baytul Khilafah bukanlah istana Khalifah. Rumah dinas Khalifah yang sederhana terletak tak jauh di belakang Baytul Khilafah.

 

Gedung pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah itu berarsitektur gaya Arab. Ada sepuluh kubah warna emas di puncaknya, tiang-tiangnya kokoh berukir ayat-ayat Allah. Berbagai ruangan di dalamnya menjadi kantor bagi bawahan Khalifah mengurus segala perkara, pada kompleks gedung itu pulalah terdapat Baytul Mal. Setiap hari selalu ada aktivitas di sana, Baytul Khilafah hampir tak pernah tidur. Jika rakyat memiliki kesusahan, mereka tinggal datang ke Baytul Khilafah, dan mereka pasti pulang dengan terpecahkannya kesusahan itu. Di dalam gedung itulah Khalifah kaum muslim mengatur berbagai strategi dan langkah untuk meluaskan kekuasaan Khilafah hingga penjuru dunia.

 

Pada lantai paling tinggi di kompleks Baytul Khilafah itu, sebuah rapat sangat penting sedang berjalan. Rapat itu dihadiri oleh Khalifah Muhammad Hasanuddin, dua orang Mu’awin (pembantu) Khalifah; Mahmoud Shaleh dan Zahir Abbas, Amirul Jihad; Jenderal Sayf Ali Khan, dan Kepala Badan intelijen Khilafah Islamiyah; Izzatuddin Malik.

 

Ruangan rapat itu berukuran sedang. Keputusan-keputusan penting kerap kali lahir di ruangan itu. Di dalamnya tersusun meja-meja melingkar, ada papan tulis dan proyektor, ada layar dan peta. Kursi-kursi yang sederhana mengelilingi meja. Tak ada kursi-kursi empuk, yang tersedia hanya kursi-kursi kayu sederhana yang diduduki para pelayan umat itu. Bahkan Khalifah kaum muslim tidak duduk di kursi empuk, ia duduk di kursi kayu, sama dengan pejabat-pejabat yang lain. Di seluruh dindingnya terpasang rak-rak buku yang dipenuhi oleh buku. Berbagai dokumen penting pun tersusun rapi dengan urutan tertentu, sehingga Khalifah bisa mengambil berkas-berkas tersebut dengan mudah. Dan ketika itu pembicaraan penting sedang berlangsung.

 

Khalifah Hasanuddin duduk di salah satu ujung meja, pada layar yang ada di belakangnya tersorot peta dunia besar dari proyektor. Di atas meja, di hadapan Khalifah, sebuah laptop menyala, cahaya dari monitornya terpancar ke wajah Khalifah. Ia bertopang dagu menatap monitor di laptop itu.

 

“Perkembangan yang kita raih Alhamdulillah cukup baik,” Khalifah sepintas menatap bawahan-bawahannya yang serius memerhatikan kata-katanya. Seperti biasa, ia tampil dengan jas hitam sederhana tanpa dasi, sebuah sorban warna putih bertengger sederhana di kepalanya. Ia masih muda, namun kebijaksanaannya mengalahkan orang tua. Ia seorang yang faqih fiddin, wara’, sekaligus visioner. “Amerika telah hancur-hancuran setelah kita menggempur pangkalan militer mereka di berbagai wilayah kaum muslim, sekaligus mengusir mereka. Operasi intelijen kita pun berhasil meledakkan beberapa reaktor nuklir mereka. Angkatan bersenjata mereka telah kalah. Perjanjian pun telah diikat oleh Khalifah Ahmad Rahimahullah selama sepuluh tahun. Palestina telah berhasil kita bebaskan, Israel telah hilang dari peta dunia dan kaum Yahudi telah direlokasi dari sana. Yang masih tertinggal adalah, Roma.”

 

Khalifah bangkit dari kursinya, ia menggerakkan jemarinya kepada keyboard di laptopnya, di layar terpampang peta Eropa, wilayah Italia dan Vatikan berwarna merah. Mata Khalifah menatap kepada bawahan-bawahannya. “Kota kedua setelah konstantinopel yang akan ditaklukkan oleh kaum muslimin. Dahulu Sultan al Fatih tidak sempat bergerak menaklukkan Roma, saat ini kita mesti melanjutkan perjuangannya.”

 

000

Istana Kremlin di Moscow seolah akan rubuh karena kegalauan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev. Dia melangkah dengan gusar menyusuri koridor-koridor panjang istana itu bersama dengan Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin. Langkah dua lelaki berambut pirang itu menggema di lantai koridor, mereka terlibat pembicaraan serius.

 

“Apa yang kubilang menjadi kenyataan, kalau orang-orang Islam sudah memiliki Khilafah semuanya tak akan sama lagi seperti dulu,” Medvedev mengembuskan napasnya.

 

“Semuanya salah Amerika, si bodoh Obama terlalu lembek, sekarang mereka yang hancur-hancuran,” sahut Putin.

 

“Salah kita juga, tidak segera merebut wilayah-wilayah strategis dari tangan adidaya yang sudah bangkrut seperti Amerika. Sekarang orang-orang Islam terlanjur berhasil mendirikan imperium mereka, dan semuanya jadi kacau.”

 

“Yang penting sekarang kita mempersiapkan diri, Khilafah tak akan diam saja, kalau melihat sejarah Islam, mungkin tak lama lagi mereka akan datang menginjak-injak negara kita. Untungnya sultan mereka yang baru hanya seorang pria biasa yang tidak cakap memimpin. Dia Cuma seorang mantan guru.”

 

Medvedev menghentikan langkahnya, dia pun menahan langkah Putin. Dia menatap mata Perdana Menteri Rusia itu dalam-dalam. “Jangan sekali-kali meremehkan musuh, atau kita akan celaka. Kalau bukan karena orang-orang Islam itu luar biasa, Islam tak akan pernah jadi agama yang paling banyak dianut manusia di dunia. Yang penting sekarang kita harus menggalang kekuatan.”

 

Dengan kepala penuh mereka memasuki sebuah ruangan rapat di istana Kremlin, Moscow, seluruh anggota kabinet telah menunggu di sana.

 

000

“Lima tahun yang lalu kita sudah kecolongan,” suara Paus Benediktus ke-13 serak dan lemah. Dia melangkah bersama seorang pembantunya, Uskup Ferdinand, di Basilika Santo Petrus, berdua saja. Tak ada pengawalan, tak ada parade, kota Vatikan sepi sekali malam itu, langitnya digelantungi awan mendung. Paus hanya mengenakan jubah sederhana yang di bagian dalamnya dilapisi baju hangat. Uskup Ferdinand mengenakan pakaian yang tak jauh berbeda. “Orang-orang Islam telah berhasil mendirikan negara Khilafah mereka, kau tahu apa artinya itu?”

 

“Aku memohon petunjuk dari Bapa Suci,” sahut Uskup Ferdinand sambil menekur.

 

“Tahta suci mungkin akan hilang,” Paus menggerakkan tangannya, ke dada dan dahinya, membentuk tanda salib.

 

“Seburuk itukah yang akan terjadi, Bapa Suci??” Uskup Ferdinand menatap wajah Paus yang sayu dan muram.

 

“Dulu, bencana itu hampir saja terjadi, namun tuhan menyelamatkan kita dengan mencabut nyawa Elang yang perkasa itu.”

 

“Siapakah Elang yang perkasa itu, Bapa Suci??”

 

“Dia sultan Mehmed al Fatih, dari Turki,” Paus menggenggam tangan Uskup Ferdinand dengan gemetar, dia terbatuk. “Dan Khilafah adalah induk elang, yang akan menelurkan ribuan elang yang tak kalah tangguh seperti sultan Mehmed al Fatih. Mungkin tak lama lagi, sultan akan berdiri di hadapan kita, kemudian menaklukkan kota ini, seperti janji Nabi mereka.”

000

Wajah pria itu menunduk di hadapan salib besar, yang di sana Yesus Kristus meregang nyawa, yang menurut keyakinannya, untuk menebus dosa-dosa umat manusia. Altar suci itu diterangi lilin-lilin tinggi. Cahayanya berpendar menerangi redup segala sisi. Pria itu kemudian menyentuhkan tangannya ke dahi, kemudian dadanya, membentuk tanda salib. Pria itu bertubuh gemuk, berkepala botak, jas hitamnya yang rapi menunjukkan bahwa dia orang penting. Dan memang dia benar-benar orang penting, dia adalah Presiden Republik Italia, Silvio Berlusconi.

 

Kegundahan yang aneh merambat di hati Berlusconi. Dia menengadah, menatap wajah patung Yesus Kristus yang berlumuran darah. Hatinya mengharapkan jawaban atas kekhawatirannya itu. Hembusan napas kekecewaan dilepaskan lubang hidungnya, jawaban belum dia temukan. Dia berdoa sekuat-kuatnya kepada tuhannya di kota suci Vatikan, tempat bersemayamnya para martir dan para pahlawan. Tempat di mana doa-doa dikabulkan. Tiba-tiba dia terkesiap, ada seseorang yang hadir di sisinya.

 

“Bapa Suci,” kata Berlusconi agak terkejut.

 

Ternyata yang hadir adalah Paus Benediktus XIII. Mahkota Kepausan bertengger anggun di kepalanya. Tongkatnya dia genggam, seolah-olah berat sekali. Jubah kebesarannya memang benar-benar kebesaran, sampai menyeret-nyeret di lantai. Tubuhnya ringkih sekali, berjalan saja sulit. Dia selalu ditemani uskup Ferdinand.

 

Altar itu sepi begitu juga Vatikan, Berlusconi memang berkunjung ke Vatikan pada saat-saat yang tidak biasa.

 

“Anda sedang berdoa, Presiden?” sapa Paus.

 

Berlusconi mengangguk saja.

 

“Anda jarang datang kemari, namun hari ini anda datang, mungkin ada masalah yang belum anda pecahkan??”

 

Berlusconi merengut, ia sadar kata-kata Paus adalah sindiran baginya. Saat ada masalah besar dia baru mengingat tuhan. Dia mengangguk, namun tak berkata apa-apa. Rupanya kegundahan telah menguasai hatinya.

 

“Ada yang bisa kubantu?” Paus menunduk kepada patung Yesus Kristus.

Berlusconi tersenyum tipis, “Cuma mencari sedikit ketenangan.”

 

“Anda datang ke tempat yang tepat. Tapi selain kepada tuhan, anda juga bisa menyampaikan masalah anda kepadaku, sebab kurasa masalah anda pastilah masalah yang berat. Karena itulah kulihat anda di sini sekarang.”

 

Berlusconi tersindir lagi, dia semakin malu. “Memang ada masalah, Bapa, tapi masalah ini belum terjadi. Mungkin ini cuma ketakutanku saja.”

 

“Masalah apakah itu?”

 

“Mungkin kau memikirkannya juga, Bapa, tentang Khilafah.”

 

Paus memaksakan senyum di wajahnya, sebuah senyum yang berat. Dia juga merasakan kekhawatiran di hati Presiden Italia itu. “Ada apa dengan Khilafah?”

 

“Jangan pura-pura tak tahu, Bapa. Tegaknya Khilafah adalah guncangan hebat bagi kita semua. Aku benar-benar tak menyangka, padahal dinas intelijen dahulu telah kutugaskan untuk menghancurkan setiap gerak orang-orang Islam yang bertujuan menegakkan Khilafah, sudah banyak orang yang dibunuh untuk menghentikan semua itu, tapi ternyata semuanya telah terlanjur berjalan dan akhirnya Khilafah itu pun tegak. Kalau dia sudah tegak, sulit sekali untuk menghancurkannya lagi. Aku tahu siapa mereka, Bapa, mereka tak akan diam. Mereka pasti akan datang ke sini, menginjak-injak ruangan ini, entah kapan. Dan dalam perjalanan mereka ke sini, mereka pasti akan menghancurkan Italia.” Akhirnya isi hati Berlusconi tertumpah sudah pada Paus Benedictus.

 

“Aku tahu,” sahut Paus. “Mungkin kekhawatiranku tentang hal itu lebih dalam lagi daripada anda. Aku tahu, setelah Khilafah tegak, hari-hari penuh duka itu akan datang juga. Tapi aku akan tetap berada di sini, apapun yang terjadi. Walaupun mungkin kota ini akan jatuh juga ke tangan mereka. Aku akan selalu berdoa, kalau memang tuhan menghendaki kota ini jatuh ke tangan mereka, mungkin itulah yang terbaik.”

 

“Tidak, Bapa,” Berlusconi menggeleng pelan. “Kita tidak boleh menyerah begitu saja. Kalau mereka memang datang ke sini, kita harus melawannya. Akan aku kerahkan semua kekuatan kita. Akan aku serukan semua orang Kristen di dunia ini agar turut memerangi mereka. Kalau memang perang suci seperti dulu harus berkobar, maka akan aku kobarkan dia.”

 

Tangan kisut Paus Benedictus terangkat, dia menepuk bahu Berlusconi yang tubuhnya jauh lebih tinggi darinya. “Aku merestui anda, dan tuhan pun merestui hambanya yang dengan segenap tenaga membelanya. Lakukanlah segala daya upaya untuk menghentikan langkah Khilafah.”

 

Berlusconi mengangguk dengan teguh.

 

000

Sinar emas matahari menaungi daratan Thrace, di kota Istanbul. Beberapa tahun yang lalu ketika Khilafah Islamiyah belum tegak, kota itu termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Turki. Ketika Khilafah tegak, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak untuk taat pada Khalifah dan menolak untuk menggabungkan wilayah itu ke dalam naungan Khilafah Islamiyah. Akhirnya dikirimkanlah angkatan bersenjata Khilafah untuk membubarkan pemerintahan kufur Erdogan. Kaum muslim yang tinggal di Turki sendiri sebenarnya menunggu-nunggu datangnya pasukan Khilafah itu, untuk membebaskan mereka dari cengkeraman hukum-hukum kufur dan zhalim demokrasi yang diterapkan Erdogan beserta antek-anteknya. Erdogan sendiri mendapatkan hukuman diasingkan ke pulau Nusa Kambangan.

 

Di Istanbul, sejak dua tahun yang lalu telah dibangun pangkalan militer Khilafah Islamiyah yang dinamai Pangkalan Militer Mehmed al Fatih. Sebanyak tiga puluh ribu prajurit angkatan darat Khilafah islamiyah menempati kompleks pangkalan militer yang luas itu. Beratus-ratus tank dijajarkan di sana, belum lagi berbagai alat perang lainnya. Tak jauh dari sana membentanglah lapangan terbang Angkatan Udara Khilafah Islamiyah. Pesawat-pesawat tempur dibariskan memanjang. Seluruh kendaraan perang dan peralatan tempur itu dibuat di dalam negeri, oleh Pabrik industri alat-alat perang yang bernama Darul Harb.

 

Pagi itu, para prajurit telah berbaris rapi dalam sebuah apel akbar. Seragam loreng telah terpasang di tubuh para prajurit, dengan baret hijau. Senapan otomatis dipanggul di bahu mereka, dan mereka diam seperti patung. Di depan barisan mereka ada sebatang tiang bendera. Sehelai bendera militer Khilafah yang besar berkibar megah. Bendera itu warna hitam, dengan tulisan syahadat warna putih. Di sisi tiang bendera itu ada sebuah panggung, ada dua orang yang tegak di atas panggung itu. Mereka adalah Khalifah Muhammad Hasanuddin sebagai Panglima Besar angkatan bersenjata Khilafah Islamiyah, dan Jenderal Sayf Ali Khan sebagai Panglima Tinggi angkatan bersenjata Khilafah Islamiyah.

 

Komadan apel yang berdiri tegak seorang diri persis di depan panggung itu kemudian memekik.

 

“TAKBIIIRRR!!!”

 

“ALLAAAAHU AKBAR!”

 

Dengan serempak seluruh prajurit Khilafah itu bertakbir dengan membusungkan dada, dalam posisi tetap tegak dan memanggul senjata. Setelah takbir membahana mendadak sunyi datang kembali.

 

Khalifah maju selangkah, mendekati corong mikrofon yang ada di hadapannya. Jenderal Sayf Ali Khan setia menyertainya. Seperti biasa, Khalifah hanya mengenakan jas hitam sederhana dan sehalai sorban yang membungkus kepalanya. Ia selalu berpenampilan seperti itu sebab memang hanya jas hitam itulah yang ia punya. Hidupnya sangatlah sederhana hanya dengan santunan dari Khilafah. Matanya yang tajam menyapu seluruh barisan prajurit Khilafah Islamiyah, otaknya tak henti bekerja. Setelah memuji Allah dan bersolawat kepada Rasulullah Saw. junjungan alam, ia memulai pidatonya.

 

“Yaaa… ayyuhal juyuuusy… Teruslah persiapkan diri, sebab jihad bisa saja terjadi besok hari ketika matahari belum lagi tinggi. Kalian tidak akan pernah tahu, kemana kalian akan diberangkatkan berjihad. Namun, kemana pun kalian berangkat, di sanalah kasih sayang Allah dan surga. Teruslah persiapkan diri, teruslah bersiaga, sebab mungkin tak lama lagi aku akan turun berjihad bersama kalian…”

 

Khalifah tak panjang berkata-kata, ia segera mengakhiri pembicaraannya. Ketika ia akan menuruni panggung itu, ia menghampiri Jenderal Ali Khan dan berbisik.

 

“Persiapkan terus pasukan. Istanbul akan jadi salah satu titik penyerangan ke Roma.”

 

“Perintah dilaksanakan.” Jenderal Ali Khan berdiri tegak dan menatap tajam pada Khalifah.

 

000

 

Pangkalan militer pusat Khilafah Islamiyah di Hejaz baru saja memulai aktifitasnya pada sebuah pagi yang cerah. Jenderal Sayf Ali Khan mengenakan seragam hijaunya dengan balok pangkat bintang empat bertengger wibawa di kedua belah bahunya. Ia melangkah di koridor utama Markas Besar Angkatan Bersenjata Khilafah Islamiyah, menuju kantornya. Sepatu pantovelnya berdetak cepat di lantai yang dingin, menandakan bahwa ia sedang terburu-buru, sebab ia sedang ditunggu.

 

Jenderal Ali Khan berbelok di sudut, menuju ujung ruangan yang tertutup pintu ganda yang di sana tergantung namanya. Ia menghampiri pintu itu dan membukanya. Di dalam, telah hadir lima orang pria yang menunggunya. Begitu melihat sang pemimpin militer telah masuk, kelima pria itu serentak berdiri dan menghormat dengan gaya militer yang kaku. Jenderal Ali Khan mengangguk saja dengan senyum tipis, kemudian mempersilakan mereka duduk di sofa ruang tamu. Ia pun turut mengambil tempat di sofa itu.

 

Ruangan kantor perwira tinggi Khilafah Islamiyah itu cukup luas. Namun ruangan itu hanya dibagi dua bagian saja, ruang tamu di bagian depan, dan ruang kerja persis di sebelah ruang tamu.

 

“Kehadiran saudara sekalian sesuai dengan jadwal,” kata Ali Khan, ia menatap tajam pada tamu-tamunya. “Kuharap operasi intelijen  Futuh Ruum pun berhasil dengan baik.”

 

Empat dari lima orang tamu Jenderal Ali Khan memakai kaos oblong dan celana jins longgar saja. Cuma seorang yang mengenakan pakaian resmi berupa jas dan celana panjang hitam, juga kemeja putih dengan dasi, cukup perlente. Orang yang rapi jali itu adalah Kepala Badan Intelijen Khilafah Islamiyah, Izzatuddin Malik. Empat orang sisanya adalah agen-agen intelijen Khilafah Islamiyah.

 

“Kehadiran kami di sini untuk mengiformasikan bahwa operasi Futuh Ruum  telah berhasil dilaksanakan dengan sangat gemilang,” kata Izzatuddin Malik. Ia mengedarkan pandangannya kepada keempat orang anak buahnya. “Seluruh pemimpin tim sengaja kuhadirkan di sini untuk melaporkan secara langsung kepada anda, Jenderal.”

 

Masing-masing pemimpin tim intelijen itu mengeluarkan sebuah wadah pipih yang berisi piringan DVD dari saku celana mereka. Kemudian mereka meletakkan kepingan DVD itu di atas meja di hadapan Ali Khan.

 

“Operasi Futuh Ruum oleh Tim Umar berhasil dengan baik,” kata salah satu dari empat komandan tim itu, yang memakai kaos oblong bertuliskan “Khilafah Islamiyah”. Ia biasa dikenal sebagai Agen 1. “Kami berhasil menyusup ke basis militer Inggris, dan inisiasi bisa dilakukan kapan saja. Insyaallah jika Inggris ikut campur dalam Futuh Ruum, mereka tak akan pernah bisa bergerak lagi. Seluruh laporan jalannya Operasi Futuh Ruum ke Inggris termuat di dalam DVD ini.”

 

“Dengan pertolongan Allah pun Tim Khalid berhasil menjalankan misi,” kata orang kedua. Ia duduk persis di sebelah Agen 1. Ia memakai kaos oblong putih polos dan celana jins. Dialah Agen 2. “Insyaallah Rusia takkan bisa bergerak lagi.”

 

“Bagus! Alhamdulillah,” sahut Ali Khan. Ia menoleh kepada orang ketiga, dialah agen 3.

 

“Teknologi inisiator baru kita memang sebuah terobosan, dan telah melumpuhkan semua detektor musuh. Tim Ali berhasil menjalankan misi. Posisi Prancis telah diamankan.”

 

“Bagus sekali! Selanjutnya.”

 

Agen terakhir, Agen 4, tersenyum lebar. “Laporanku tak jauh beda dengan kawan-kawan. Jerman telah berhasil dilumpuhkan tanpa mereka sadari.”

 

“Luar biasa sekali! Kuucapkan selamat kepada tim intelijen,” dengan pandangan mata yang tajam Ali Khan menatap seluruh anak buahnya. “Akan kutekankan sekali lagi bahwa posisi intelijen dalam Futuh Ruum sangatlah penting. Tetaplah seperti ini, laksanakanlah tugas-tugas selanjutnya dengan tanpa cela. Keberhasilan misi saudara sekalian akan sangat menentukan suksesnya Futuh Ruum. Tim Intelijen Khilafah Islamiyah adalah tim intelijen terbaik, sebab berhasil mewujudkan bisyarah Rasulullah, Futuh Ruum.

 

000

Khalifah Muhammad Hasanuddin berdiri tegak kepala. Ia menawarkan senyum tipis yang ramah dan menatap lurus kepada Herman van Rompuy, Presiden Dewan Eropa. Pagi yang indah di Brussel, Belgia, akan menjadi pagi yang bersejarah. Di hadapan puluhan kilatan lampu blitz kamera mereka bertukar senyum dan berjabat tangan. Ruang konferensi pers di gedung Uni Eropa itu telah didekor sedemikian rupa untuk acara penandatanganan perjanjian hubungan bilateral dan perdamaian selama 10 tahun. Baru kali itu, seorang muslim bisa berdiri sama tegak dan begitu dihormati di tengah-tengah komunitas Uni Eropa, dialah pemimpin seluruh kaum muslim, Muhammad Hasanuddin.

 

Dua orang yang dihormati itu telah duduk di belakang meja. Mereka menghadapi beberapa helai kertas yang telah tersusun rapi di dalam sebuah map yang indah. Kertas-kertas itulah yang harus mereka tandatangani.

 

Khalifah mengambil pena yang telah tersedia, ia menandatangani helai kertas pertama dengan tenang. Mengapa ia bisa setenang itu sebab draft peranjian itu disusun oleh Khilafah Islamiyah dan diterima Uni Eropa hampir tanpa reserve. Saat ia hendak menandatangani lembar kedua, ia melirik pada van Rompuy.

 

Lelaki tua yang kepalanya telah hampir botak semua itu terlihat ragu-ragu. Lembar pertama pun belum selesai ia tandatangani. Tangannya agak gemetar. Ia menatap tulisan-tulisan di atas kertas itu dengan nanar. Walaupun seluruh poin perjanjian itu sangat menguntungkan kedua belah pihak, ia masih khawatir dengan hal-hal yang tidak diketahuinya.

 

Is there any problem, Mr. President?” Khalifah menoleh pelan pada van Rompuy. Khalifah kaum muslim itu mahir menggunakan tujuh bahasa: Inggris, Arab, Prancis, Jerman, Ibrani, Yunani, dan Belanda.

 

No… No… This is a good agreement,” sahut van Rompuy dengan agak gagap.

 

I believe it gives benefits to us all,” sambut Khalifah dengan senyuman. “But, why do you look so hard to sign it?

 

Van Rompuy tersenyum getir, ia menoleh pada Khalifah dan melontarkan pertanyaan yang menggelikan. “What exactly do you want behind this, Caliph?

 

Khalifah menatap mata van Rompuy dalam-dalam dan tersenyum lagi. “I want glorious victory, for Islam and Muslims.”

 

I know…” van Rompuy membubuhkan tanda tangannya di helaian-helaian kertas itu. Perjanjian itu telah disepakati.

 

000

Dmitri Medvedev, Presiden Rusia gemetar. Apa yang dia rasakan dirasakan pula oleh perdana menterinya, Vladimir Putin. Mereka berdua sedang tegak berdiri di dalam sebuah aula yang megah, di Istana Kremlin, Moscow.

 

Dinding-dinding aula di istana Kremlin itu penuh dengan lukisan-lukisan. Berbagai lukisan itu tidak tergambar di atas bingkai, tetapi memang tergambar di atas dinding aula. Sebuah lampu kristal yang besar dan indah sekali menggelantung di tengah-tengah ruangan. Seutas rantai yang kuat terjulur dari langit-langit dan mencengkeram lampu hias itu. cahaya yang benderang berpijar dari sana, menerangi seluruh ruangan. Pada dindingnya tertempel pula lampu dinding dengan desain yang menawan. Di lantai, karpet warna merah terhampar luas menutupi seluruh ruangan. Di tengah-tengah aula itu, sofa-sofa telah berjajar. Sofa-sofa itu disusun membentuk huruf “U”.

 

Di depan jajaran sofa yang indah-indah itu, Dmitri Medvedev dan Vladimir Putin telah berdiri menunggu. Beberapa pejabat teras pemerintah Rusia pun turut hadir. Mereka semua menatap ke ambang pintu aula.

 

Tak lama kemudian, yang ditunggu-tunggu itu datanglah. Di ambang pintu aula muncul tiga orang laki-laki gagah. Mereka melangkah bersisian. Yang di tengah, Khalifah Muhammad Hasanuddin. Seperti biasa, ia mengenakan jas hitamnya yang sederhana, tak ketinggalan surban putihnya. Sepatunya yang hitam mengilap menjejak karpet merah dengan agung dan penuh wibawa. Dialah pemimpin besar dari sebuah negara besar, Khilafah Islamiyah. Sebuah negara besar yang telah mempersatukan seluruh negeri kaum muslim di dunia di bawah satu kepemimpinan seorang Khalifah. Sebuah negara yang diwariskan Rasulullah saw. sendiri kepada umatnya. Sebuah negera yang dijalankan berdasarkan hukum dari langit.

 

Melangkah di sebelah kanan Khalifah adalah Panglima Tinggi Khilafah Islamiyah, Jenderal Sayf Ali Khan. Dialah pemimpin militer Khilafah Islamiyah yang telah berhasil menahan serangan besar-besaran Amerika Serikat ketika Khilafah pertama kali berdiri. Dia pulalah yang telah merebut kembali tanah suci Palestina ke tangan kaum muslim dan menghilangkan negara Israel Yahudi dari peta dunia. Dia seorang pria yang tangguh dan kuat, tak ubahnya Salahuddin al Ayubi.

 

Di sebelah kiri Khalifah melangkahlah Duta Besar Khilafah untuk Rusia, Tayyip Effendi. Dubes Tayyip mengenakan kopiah tinggi khas turki, sebab dia memang orang turki. Dubes Tayyip sangat fasih berbahasa Rusia, sehingga dialah yang dipilih Khalifah untuk mengelola hubungan Khilafah dengan Rusia. Selain itu dia juga seorang akademisi yang telah sekian lama malang melintang di kancah hubungan internasional, khususnya dengan Rusia.

 

Khalifah Hasanuddin, Jenderal Ali Khan, dan Dubes Tayyip sedang mengadakan kunjungan bilateral dengan Rusia. Mereka akan mengikat sebuah perjanjian damai dan perjanjian ekonomi selama sepuluh tahun. Namun selain itu, ada manuver tersembunyi dari persetujuan Khilafah dengan Rusia. Kunjungan kerja keluar negeri haruslah murni untuk kemaslahatan kaum muslimin, bukan untuk plesiran.

 

Ketika Medvedev dan Putin menatap para pejabat tinggi Khilafah Islamiyah itu melangkah, ada sehelai kegentaran yang nyata terpampang di depan mata mereka. Medvedev saling menggenggam tangannya di belakang tubuhnya, berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa dia gemetaran. Putin menelan ludah. Dan setiap kali dia ulangi lagi perbuatan itu, semakin sulit saja dia menelan ludah.

 

Dengan senyuman yang ramah Medvedev dan Putin mempersilakan para pejabat teras Khilafah itu duduk di sofa. Mereka duduk saling berhadap-hadapan. Para pejabat pemerintahan Rusia duduk di sofa barisan belakang, tepat di belakang Medvedev dan Putin.

 

“Senang sekali bisa menerima kunjungan Khalifah dan koleganya di negeri kami,” Medvedev membuka percakapan.

 

“Kami yang sangat tersanjung dengan sambutan dan keramahtamahan Tuan Presiden, Tuan Perdana Menteri, serta seluruh jajaran pemerintahan Rusia,” kata Khalifah Hasanuddin dalam bahasa Rusia yang fasih. “Dan saya harap, persetujuan kita kali ini bisa menguntungkan kedua belah pihak.”

 

“Hal itu jugalah yang kami harapkan,” kata Putin.

 

Beberapa detik berlalu, kesunyian mengudara, tidak ada satupun dari mereka yang bicara. Seakan-akan ada kecanggungan yang aneh yang dirasakan oleh para petinggi pemerintahan Rusia itu ketika berhadapan dengan Khalifah. Ada pancaran wibawa yang agung yang keluar dari Khalifah Hasanuddin. Wajahnya yang tampan dan kedalaman ilmunya membuat siapapun menghormatinya, walaupun dia masih muda.

 

“Setelah jangka waktu sepuluh tahun berlalu, kira-kira bagaimana kelanjutan persetujuan kita?” Senyum merekah di wajah Medvedev. Dia membuka topik pembicaraan baru untuk menetralkan setitik kegundahan hatinya.

 

“Yang Mahatahu hanyalah Allah,” sahut Khalifah. “Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Yang akan kami lakukan saat ini adalah menepati seluruh isi persetujuan ini dan menjaganya baik-baik. Itu jugalah yang kami himbau kepada tuan-tuan tentunya. Semoga dengan sikap saling menghormati ini, kerjasama yang saling menguntungkan di antara kita bisa terus berlanjut.”

 

000

It’s an honour for me to see you, Prime Minister of England, Mr. David Cameron,”  Khalifah Hasanuddin menatap tajam pria berambut pirang yang duduk di hadapannya.

 

Oh, it’s also a pleasure for me to meet the Caliph of the Khilafah State,” jawab David Cameron.

 

Pertemuan antara Khilafah Islamiyah dengan Kerajaan inggris sedang berlangsung di kantor Perdana Menteri Inggris, di Downing Street nomor sepuluh. Khalifah duduk di sofa ruang tamu berhadap-hadapan dengan Perdana Menteri Inggris, David Cameron.

 

I believe, the bilateral agreement of peace and trade will provide us many benefits,” Khalifah menggerakkan tangannya saat sedang bicara. “I hope we can hold this agreement carefully.”

 

Obviously,” sahut Cameron singkat saja.

 

“Kami dengan amat sungguh-sungguh ingin sekali menekankan himbauan ini, Tuan Perdana Menteri.” Senyum tipis membayang di wajah Khalifah, namun sorot matanya memancarkan sorot ketegasan yang gagah. Sebelum itu tak pernah ada seorang muslim pun yang mampu melakukannya. Inggris telah lama memegang kendali atas negeri-negeri kaum mulsim. Telah lama menginjak-injak tanah kaum muslim. Dan kaum muslim tak ubahnya budak di bawah jejak lars Inggris. Kini keadaan berubah setelah keberadaan Khilafah Islamiyah.

 

“Maksud anda?” Tanya Cameron. Ada tanda tanya terlukis di wajah Perdana Menteri Inggris itu.

 

Khalifah bicara dengan halus dan lembut. Suaranya penuh wibawa, dengan tempo yang tertata. Dia meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua belah pahanya. Punggungnya bersandar dengan nyaman di sofa. Dan apa yang akan dia katakan akan membuat gentar seluruh Inggris Raya.

 

“Sejarah mengungkapkan bahwa dahulu Inggrislah yang turut campur tangan dalam konspirasi meruntuhkan Khilafah Islamiyah. Inggris menyuplai dana, senjata, bantuan logistik, dan banyak hal lagi kepada pemberontak. Inggris menghembuskan paham nasionalisme sehingga kaum muslim terpecah-belah dan Khilafah Islamiyah berantakan. Anda tahu, Tuan Perdana Menteri, seberapa jahatnya apa yang telah dilakukan Inggris bagi Khilafah Islamiyah dan kaum muslim?”

 

Cameron terpaku menatap Khalifah. Ekspresinya datar, ia sudah kebingungan mencari kata-kata.

 

“Karena perbuatan Inggris,” lanjut Khalifah, “ribuan bahkan jutaan anak-anak kami tewas menjadi korban. Ribuan bahkan jutaan wanita kami diperkosa. Ribuan bahkan jutaan umat kami kehilangan rumah dan harta bendanya.”

 

“Mengapa anda menyalahkan Inggris atas apa yang terjadi pada muslim, Khalifah,” gumam Cameron. Sebelah alisnya terangkat, jantungnya berdegup kencang.

 

Sudah tidak ada lagi senyum di wajah Khalifah. Tatapan mata Khalifah setajam pedang yang siap menusuk sanubari. “Saya bukan menyalahkan Inggris. Saya hanya mengingatkan Inggris tentang seberapa besar dosa yang telah dilakukan Inggris kepada kaum muslim. Dan siapapun yang berdosa, pasti akan mendapatkan balasan atas dosa-dosanya. Sekali lagi saya tekankan kepada anda, Tuan Perdana Menteri, pegang teguh perjanjian yang sudah kita sepakati ini. Kesalahan-kesalahan yang dahulu jangan diulangi lagi. Jika saya temukan gelagat yang kurang baik dari Inggris…”

 

Khalifah Hasanuddin duduk tegak, kemudian ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Cameron, “… akan saya serukan seluruh kaum muslim untuk melaksanakan jihad akbar melawan Inggris, hingga bendera Union Jack tidak akan pernah berkibar lagi sampai hari kiamat. Do I make myself clear, Mr. Prime Minister?”

 

Cameron gemetar, keringat dingin tiba-tiba bercucuran dari keningnya. Dia tak bisa menjawab apa-apa. Hanya anggukan pelan saja yang bisa dia lakukan.

 

“Good!” Gumam Khalifah.

 

000

Istana Quirinal yang megah berdiri kokoh di bukit Quirinal, salah satu dari tujuh bukit tertinggi di Italia. Istana itu dibangun oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1573, dan telah bertahun-tahun lamanya menjadi tempat tinggal para Paus dan raja-raja Italia. Dan kini, istana itu menjadi Istana Kepresidenan Italia.

 

Hari masih pagi ketika Khalifah kaum muslim, Muhammad Hasanuddin, diterima dengan hormat oleh Presiden Italia, Giorgio Napolitano, dan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi, di dalam sebuah ruangan yang megah. Seperti biasa, Khalifah tetap tampil dengan jas hitamnya yang sederhana dan sorban putih dengan selendang sorban menjuntai di bahu kanannya. Ketampanan dan pancaran ketakwaan menguar dari dirinya. Membuatnya menjadi lelaki yang disegani walau usianya masih relatif muda. Kedatangannya ke Italia bukan untuk pelesiran seperti kebiasaan pejabat-pejabat sebuah negara di kawasan Asia Tenggara yang dahulu bernama Indonesia, namun untuk menjalin sebuah perjanjian bertetangga baik dengan Italia. Dan perjanjian ini bukan sekadar perjanjian, ada manuver politik yang sangat menawan di belakangnya.

 

“Senang sekali bisa menjalin kerjasama yang baik dengan negara Khilafah,” kata Napolitano. Kepala botaknya berkilauan ditimpa cahaya matahari pagi. Kulitnya yang pucat berbintik-bintik hitam. Sebuah kacamata berbingkai perak bertengger di wajahnya. Sofa yang empuk berwarna merah menjadi alas duduknya yang nyaman.

 

Di sisi Napolitano, Silvio Berlusconi duduk manis sambil menyilangkan kakinya. Tatapan matanya menyirat sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap Khalifah Hasanuddin. Wajahnya masam saja. Sebenarnya sikap seperti itu tidak pantas jika diperlihatkan oleh seorang pejabat negara yang sedang menerima tamu negara. Tak ada yang tahu, ada sesuatu yang besar yang mengganggu hati Berlusconi dengan kedatangan Khalifah ke Italia.

 

“Kami juga merasa senang sekali bisa menjalin hubungan yang saling menguntungkan ini dengan Italia,” kata Khalifah. Senyumnya penuh wibawa. Suaranya yang berat menambah kebesarannya.

 

“Tapi kenapa perjanjian ini hanya berlaku efektif selama lima tahun saja, Khalifah?” Tanya Napolitano.

 

“Itulah yang diajarkan Allah swt. Dan RasulNya. Aku hanya seorang hamba Allah, dengan demikian aku mesti menaati aturanNya.”

 

Napolitano mengangguk-anggukkan kepalanya yang telah keriput. “Mohon maaf jika aku terlalu banyak bertanya, aku hanya seorang lelaki tua yang punya rasa ingin tahu yang tinggi. Tidakkah sistem teokrasi ini akan menimbulkan kediktatoran yang mengerikan, Khalifah?”

 

Khalifah Hasanuddin tersenyum tipis, “Sistem Khilafah bukanlah teokrasi atau kediktatoran, Tuan Presiden, sistem Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang unik dan khas, yang diajarkan langsung oleh utusan Allah, dan diamalkan oleh kaum muslimin selama ribuan tahun. Aku bukanlah raja yang setiap perkataannya adalah hukum yang wajib ditaati. Aku juga seorang hamba yang wajib hanya menaati aturan Allah dan RasulNya, juga harus memerintah seluruh rakyatku dengan aturan itu.”

 

Napolitano memerhatikan Khalifah dengan saksama. Berlusconi diam saja.

 

“Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad adalah sumber hukum yang wajib aku terapkan di tengah-tengah rakyatku. Quran dan Sunnah itulah yang telah menyelamatkan umat Islam dari petaka demokrasi pada masa-masa kelam kaum muslimin dahulu. Demokrasi-lah salah satu sebab kaum muslim menderita dan porak-poranda. Mereka yang objektif dan bersedia membuka mata hatinya pasti akan segera meninggalkan demokrasi yang ketinggalan jaman itu.

 

Orang ini seenaknya saja bicara, batin Berlusconi, apa dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa Italia menganut demokrasi? Wajah Berlusconi semakin masam.

 

“Ohh begitu,” gumam Napolitano.

 

“Apa yang sebenarnya anda inginkan dengan perjanjian ini?” Tiba-tiba Berlusconi buka suara, padahal dari tadi dia diam saja.

 

Mendapat pertanyaan yang tendensius dari Berlusconi, Khalifah tersenyum kecil. Dengan elegan dia mengubah posisi duduknya, dan kembali menatap mata Berlusconi dalam-dalam.

 

“Aku menginginkan kebaikan, kemakmuran, dan kemenangan, bagi Islam, negaraku, dan rakyatku,” katanya.

 

“Apakah hanya itu?” Tuntut Berlusconi.

 

“Seluruh maksud lain yang mungkin sekarang ada di pikiran anda sudah termasuk di dalam jawabanku tadi, Tuan Perdana Menteri.”

 

“Aku tahu,” ekspresi wajah Berlusconi semakin tidak mengenakkan, “bahwa anda ingin mengadakan pernyerbuan ke Vatikan. Anda ingin menyerang Vatikan dan menguasainya. Aku tahu itu. Karena itulah anda mengirimkan banyak diplomat ke berbagai negara di Eropa untuk menjalin gencatan senjata agar anda bisa dengan aman mengerahkan pasukan ke Vatikan.”

 

“Kalau pun memang benar begitu, semua yang anda katakan tadi sudah tercakup dalam jawabanku. Apakah harus aku ulangi? Tujuanku adalah kebaikan, kemakmuran, dan kemenangan bagi Islam, negaraku, dan rakyatku!” Khalifah tetap berada dalam ketenangannya semula. Bahkan dia menghadapi seluruh serangan kata-kata Perdana Menteri Italia itu dengan wajah tersenyum. “Lagipula kalau memang apa yang anda katakan itu benar, semua itu urusanku. Bukan urusan anda.”

 

“Anda egois,” Berlusconi sudah mengacungkan telunjuknya kepada Khalifah. Dia sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Demi kepentingan anda sendiri, anda akan menyerang wilayah lain yang merupakan kota suci dan simbol persatuan umat Kristen di dunia. Apakah kami orang Kristen pernah menyerang kota suci anda? Kami tidak pernah mengusik tanah orang Arab itu.”

 

“Tolong tenangkan diri anda, Perdana Menteri,” kata Napolitano. Dia mulai gugup. Keringat dingin bercucuran di dahinya.

 

Khalifah masih tetap dengan senyum tipisnya. “Biarkan saja, Tuan Presiden. Biarkan Tuan Perdana Menteri mencurahkan semua yang ada di dalam hatinya, selagi aku masih ada di sini. Apakah anda sudah selesai, Tuan Berlusconi?”

 

“Keegoisan anda akan menyebabkan kehancuran dan pembunuhan, serta perang besar. Aku tahu anda akan melakukan ini semua.”

 

“Berlusconi, dari mana anda tahu semua ini? Jangan menuduh sembarangan. Jangan membuat malu Italia di depan tamu negara. Kuasai dirimu.” Napotalitano membelalak kepada bawahannya itu. “Apa buktinya Khilafah akan menyerang Vatikan? Jangan bicara seenaknya.”

 

“Walaupun belum ada bukti kuatnya tapi saya yakin dia akan melakukan itu semua, Tuan Presiden. Indikasinya jelas, dia membuat banyak perjanjian damai dengan berbagai negara di Eropa dan yang tertinggal hanya Italia dan Vatikan saja. Dia bermaksud mengamankan posisinya dari negara-negara yang lain lebih dulu, baru dia akan menyerbu Vatikan. Aku yakin itu!!!”

 

“JANGAN BICARA SEMBARANG!!!” Napolitano telah kehilangan kesabaran. Dia menggebrak meja yang ada di depannya dan membelalak kepada Perdana Menterinya. “Anda tidak pantas menjadi Perdana Menteri Italia, anda tidak punya sopan santun. Membuat malu negara di depan tamu negara yang terhormat.”

 

Khalifah Hasanuddin masih memampang senyum tipis di wajahnya tatkala melihat percekcokan antarpejabat tinggi Italia itu. Sayangnya Berlusconi termasuk orang yang keras kepala.

 

“Semua yang saya katakan adalah untuk melindungi negara kita, untuk melindungi kota suci Vatikan dan untuk melindungi agama kita. Orang di depan kita ini pasti akan menghancurkan kita suatu saat. DAN AKU TIDAK INGIN SEMUA ITU TERJADI.”

 

“DIAM!!!” Napolitano menyalak. “DIAM KUBILANG!!!”

 

“Sabar, tuan-tuan, sabar. Jangan terbawa emosi,” Khalifah angkat bicara dan ekspresinya tetap tenang. “Kita bicarakan semuanya baik-baik. Aku berharap anda jangan bersikap seperti itu lagi, tuan perdana Menteri. Jika anda bicara baik-baik pun aku bisa mendengarnya. Tolong tenangkan diri anda, kita bicarakan semuanya baik-baik.”

 

“Bagaimana aku bisa bicara dengan santainya jika di hadapanku ada orang yang akan menghancurkan semua peradaban Kristen?”

 

“Apakah Yesus mengajarkan semua ini kepada anda? Tidak menghargai orang lain? Berkata kasar? Malulah pada diri anda sendiri!” Semua senyum di wajah Khalifah telah hilang. Matanya yang terang dan tajam menatap lurus kepada Berlusconi. Perdana Menteri Rusia itu ciut, dia membuang muka.

 

“Anda sudah cukup bicara, sekarang dengarkan kata-kata saya!” Suara Khalifah tegas. “Bila anda mengatakan bahwa saya akan menyerang Vatikan, itu terserah anda. Jika saya mau, sekali saya melambaikan tangan, seluruh kaum muslim akan bergerak serentak untuk menaklukkan Vatikan. Jika anda berkata bahwa orang Kristen tidak pernah berusaha menyerang Makkah, berarti nilai sejarah anda sangat buruk. Raja Kristen Abrahah dari Yaman pernah berusaha menyerang Mekkah. Cuma itu? Tidak, pada abad pertengahan seorang bangsawan bangsa Franks bernama Reynald de Chatillon juga pernah mencoba menyerang Mekkah. Tapi mereka semua gagal. Jika anda berkata bahwa saya akan jadi ancaman dan pengobar perang, akan menyababkan pembunuhan dan pembantaian, apakah anda ingat apa yang pernah dilakukan Italia pada abad lalu terhadap kami, kaum muslim? Di Libya, Italia membantai kaum muslim. Italia membantai orangtua dan anak-anak kami, memerkosa wanita-wanita kami, menghancurkan rumah-rumah kami. Tapi coba lihat apa yang kami lakukan terhadap orang-orang Kristen, sudah banyak negeri yang kami taklukan, tapi kami tidak pernah membantai orang Kristen yang tidak bersalah. Justru kami melindungi dan mengayomi mereka semua. Anda tahu, sudah ratusan tahun kami kuasai Konstantinopel, tapi mengapa sampai hari ini masih banyak orang Kristen yang tinggal di sana? Itu semua karena kami melindungi dan mengayomi mereka. Jika apa  yang anda katakan itu benar, jika kami adalah penyebab pembantaian, pasti orang-orang Kristen sudah lama punah dari Konstantinopel.”

 

Beberapa detik lamanya Khalifah terdiam, namun tatapan matanya tidak teralihkan sedikit pun dari wajah Berlusconi. Perdana Menteri Italia itu salah tingkah. “Ketahuilah sesuatu, Tuan Perdana Menteri, ditaklukkannya Tahta Vatikan, dan kota Roma, sudah dijanjikan Rasul kami ribuan tahun yang lalu. Silakan anda duduk manis, dan memerhatikan apa yang akan terjadi nanti. Jika anda memasang badan untuk menghalangi kami mewujudkan janji Rasul kami itu, saya akan kerahkan tentara Islam untuk menghancurkan anda. Silakan anda camkan itu, sebab saya tidak pernah main-main dengan kata-kata saya.”

 

000

“Ketahuilah sesuatu, Tuan Perdana Menteri, ditaklukkannya tahta Vatikan dan kota Roma sudah dijanjikan Rasul kami ribuan tahun yang lalu. Silakan anda duduk manis dan memerhatikan apa yang akan terjadi nanti. Jika anda memasang badan untuk menghalangi kami mewujudkan janji Rasul kami itu, saya akan mengerahkan tentara Islam untuk menghancurkan anda. Silakan anda camkan itu, sebab saya tidak pernah main-main dengan kata-kata saya.” Khalifah Muhammad Hasanuddin menatap Berlusconi dengan tajam.

 

“ANDA MENGANCAM SAYA!!!” Berlusconi membelalak pada Khalifah. Telunjuknya sudah teracung lagi kepada Khalifah.

 

“BERLUSCONI! SAYA BILANG DIAM!!!” Biji mata Napolitano seolah akan melompat keluar dari tempurung kepalanya. Dia terlonjak dari kursinya dan berkacak pinggang di hadapan Berlusconi. “Bukan siapa-siapa yang merendahkan Italia, tapi sikap dan kata-kata andalah yang merendahkan negara kita. SEKARANG ANDA KELUAR DARI SINI.”

 

Tak ada seorang pun yang menyangka apa yang akan terjadi hari itu, pertemuan tingkat tinggi antara dua negara itu menjadi ajang percekcokan yang sengit. Khalifah diam saja, wajahnya datar dan tangannya dilipatnya di depan dadanya. Dia duduk tegak menatap presiden dan perdana menteri Italia itu saling berhadap-hadapan.

 

Berlusconi bangkit dari kursinya dan menatap mata Napolitano dalam-dalam. “Seperti yang saya katakan tadi, Tuan Presiden, sikap saya ini demi masa depan negara kita dan juga demi agama kita. Orang ini berbahaya, begitu juga setiap manuvernya, karena itu kita harus selalu mewaspadainya. Kalau kita bersikap lembek kepadanya, nanti kita sendiri yang akan dihancurkannya seperti apa yang dia katakan tadi. Jelas-jelas dia mengatakan bahwa dia akan menyerang tahta suci Vatikan untuk memenuhi janji Rasulnya, apakah kita masih meragukan semua itu? Bukankah semua itu mestinya membuat kita bersikap yang seharusnya?”

 

Khalifah tiba-tiba ikut berdiri, dia menatap Napolitano dan Berlusconi bergantian. Dengan gagah dia bicara.

 

“Baiklah kalau begitu. Dengan semua pembicaraan kali ini aku memutuskan untuk menghentikan semua perjanjian dan kerjasama antara Khilafah Islamiyah dengan Italia, karena memang kondisi yang ada sudah tidak memungkinkan lagi untuk kedua negara menjalin hubungan,” Khalifah mengembuskan napasnya. “Aku ingin menekankan satu hal sekali lagi. Takluknya Roma adalah janji Rasul dan Tuhan kami. Tidak akan pernah ada satu orang pun yang bisa menghentikannya. Jika ada pihak-pihak yang mencoba menghalanginya, maka mereka akan hancur dengan kuasa yang dimiliki Tuhan kami. Silakan pertahankan apa yang jadi pandangan anda, silakan pertahankan juga semua sikap anda, Roma akan tetap takluk untuk Islam. Dan jika waktunya telah tiba, anda tidak perlu khawatir, Islam tidaklah sama dengan agama-agama dan ideologi-ideologi yang lain. Dalam penaklukan, kami dilarang membantai. Tentu anda ingat apa yang telah dilakukan orang-orang Kristen ketika menaklukan Jerusalem? Pembantaian, hingga darah menggenang sampai mata kaki. Jika anda mau, silakan anda halangi penaklukan itu. Tandanya anda menghancurkan diri anda sendiri. Demikian, saya mohon undur diri.”

 

Khalifah melangkahkan kakinya menuju ambang pintu Istana Quirinal. Dia pergi begitu saja, tanpa menoleh lagi kepada para pejabat tinggi Italia itu. Sementara Napolitano dan Berlusconi terhenyak. Tapi tiba-tiba Napolitano terlonjak, dia segera berjalan cepat mengejar langkah Khalifah.

 

“Tuan Khalifah, tunggu sebentar. Tuan, mohon tunggu sebentar.”

 

Karena ingin menghargai Napolitano, Khalifah menghentikan langkahnya. Dia berbalik menghadap Napolitano. Kedua pemimpin negara besar itu bertemu muka kembali.

 

“Tolong maafkan semua yang sudah terjadi. Bukan maksud kami tidak menghormati anda. Saya sendiri tidak menyangka Berlusconi akan bersikap seperti tadi. Saya mohon maaf sebesar-besarnya.”

 

“Setidaknya perdana menteri telah mengeluarkan semua isi hatinya.”

 

“Mohon maafkan saya, Tuan Khalifah, sebenarnya saya agak segan menanyakan hal ini, tapi apakah benar negara Khilafah akan menaklukan Roma dan menduduki Vatikan?”

 

“Seperti yang sudah saya katakan dari tadi, hal itu adalah janji Tuhan dan Rasul kami. Silakan anda perhatikan apa yang akan terjadi nanti. Terima kasih banyak, Tuan Presiden, ada banyak hal yang masih harus saya selesaikan. Saya pamit.”

 

Khalifah berbalik dan pergi. Tinggallah Napolitano dengan lutut yang gemetar dan dada bergemuruh. Alis Berlusconi berkerut menatap punggung Khalifah.

 

000

Basilika Santo Petrus di kota Vatikan dilumuri sinar redup dari lilin yang panjang. Gereja besar yang dibangun selama lebih dari seratus tahun itu kokoh dan luar biasa. Dan Khalifah Muhammad Hasanuddin yang disertai Jenderal Sayf Ali Khan telah berdiri tegak di sana, di hadapan altarnya yang megah. Di dekat altar itu, Paus Benediktus XIII telah mengahadapkan wajahnya kepada Khalifah. Pemimpin spiritual Kristen sedunia itu ditemani oleh pembantu pribadinya, Uskup Ferdinand. Dua puluh orang pasukan Garda Swiss mengawal pertemuan itu.

 

“Adalah sebuah kehormatan bagi saya untuk bisa menerima Khalifah di tempat yang kudus ini,” Paus menyambut. Tubuhnya yang sudah lemah, bungkuk, dan ringkih begitu memprihatinkan. Uskup Ferdinand setia di sisi Paus. Suaranya agak gemetar, seakan ada rasa takut di dalamnya. “Apakah ada hal yang bisa saya bantu?”

 

Khalifah berdiri tegak, begitu juga Jenderal Ali Khan. Mata mereka berdua terarah pada wajah keriput Paus.

 

“Sebuah kehormatan pula bagi kami,” kata Khalifah. “Kedatangan kami kemari adalah untuk menawarkan sesuatu yang amat berharga kepada anda. Saya percaya anda belum pernah mendapatkan tawaran seperti ini, dan mungkin seluruh paus pun belum pernah mendapatkannya.”

 

“Tawaran apakah itu, Khalifah? Sebenarnya bukan hanya tawaran itu, tapi hadirnya anda di sini pun telah mengejutkan dunia Kristen. Belum pernah terjadi sepanjang sejarah dunia ini ada seorang muslim yang berdiri di hadapan tahta suci Vatikan kemudian menawarkan sesuatu.”

 

“Allah-lah yang Maha berkehendak. Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Dialah yang telah memudahkan kami untuk bisa melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan seorang pun itu,” sahut Khalifah.

 

Tangan kisut Paus menjadi gemetar. Tongkat emas yang digenggamnya turut gemetar. “Apakah yang ingin anda sampaikan?”

 

Terbit senyum tipis di hadapan Khalifah. “Saya ingin mengajak anda, masuklah anda ke dalam Islam, maka anda akan selamat di dunia dan akhirat. Marilah kita gunakan akal dan intelektualitas kita untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, kemudian membuka hati kita untuk menerima kebenaran itu dengan ikhlas dan tunduk kepadanya. Marilah masuk ke dalam Islam.”

 

Lutut Paus semakin gemetar hingga dia hampir-hampir tidak bisa lagi menopang tubuhnya sendiri. Uskup Ferdinand segera mengambilkan kursi, dan Paus segera didudukkan di sana.

 

“Ajakan anda adalah sebuah ajakan yang amat besar,” kata Paus, hampir-hampir suaranya terjebak di tenggorokannya. “Ini adalah sebuah ajakan yang amat berat, dan juga ada konsekuensi yang amat berat di dalamnya. Apakah anda menyadari semua itu?”

 

“Saya sangat sadar dengan semua kata yang keluar dari mulut saya,” kata Khalifah. “Dan saya harap seruan saya tersebut bisa dipahami maknanya.”

 

“Saya menyadari ajakan ini, hanya saja akan terjadi hal yang amat besar jika saya memenuhi ajakan anda.”

 

“Apakah dengan demikian anda menolaknya?”

 

Paus mengembuskan napasnya dan mengangguk pelan. “Saya tidak bisa menerima tawaran anda ini.”

 

“Baiklah, jika demikian saya akan menawarkan hal lain. Anda dipersilakan untuk tetap memeluk agama anda, dan tetap menjadi pemimpin spiritual agama Kristen, namun serahkan kekuasaan kota ini kepada kami. Seluruh harta, darah, nyawa, seluruh gereja, dan kebebasan anda serta seluruh umat Kristen untuk menjalankan agama anda akan kami jamin, dengan kompensasi anda membayar jizyah setiap tahun. Kesejahteraan anda pun akan kami jamin.”

 

“Maaf, Khalifah, semua ini adalah tawaran yang sangat berat bagi saya. Tidakkah anda mengerti perasaan saya tentang betapa beratnya hati saya mendapatkan tawaran seperti ini? Saya dicekam kebingungan dan ketakutan setiap hari menunggu detik-detik hingga tiba pada hari ini. Saya tidak bisa menerima tawaran anda, dan tahukah anda, dengan apa yang ada lakukan pada hari ini, semua ini bisa memicu perang salib yang baru, atau bahkan perang dunia ketiga yang mengerikan?”

 

“Terima kasih banyak saya ucapkan atas semua perhatian dan kekhawatiran anda. Hanya saja silakan anda perhatikan semua tawaran saya ini. Semua yang anda khawatirkan tadi biarlah kami yang memikirkannya.” Suara Khalifah tetap tenang dan berwibawa.

 

Paus menggeleng pelan. Uskup Ferdinand ikut gemetar mendengar semua seruan Khalifah. Dia berpikir, jika dia ada di posisi Paus, pasti dia sudah kebingungan hendak menjawab apa.

 

“Maaf, saya tidak bisa.”

 

Sambil mengembuskan napas kecewa, Paus memutuskan.

 

Ada senyum tipis terkembang di wajah Khalifah. Dia pun akan mengambil keputusan.

 

000

“Maaf, saya tidak bisa!” Kata Paus dengan lemah. Dia menunduk menatap lantai marmer di bawahnya. Sementara tubuhnya yang gemetar sudah tidak bisa ditahannya lagi. Uskup Ferdinand dengan susah-payah memeganginya.

 

Khalifah tersenyum kecil dan mengangguk pelan.

 

“Terima kasih banyak atas jawaban anda,” katanya.

 

“Apa yang akan anda lakukan, Khalifah? Tolong kasihani kami, ampuni kami. Tolong jangan ganggu ketenangan kami.” Paus sudah memelas.

 

Khalifah menggeleng perlahan.

 

“Anda jangan berpikir bahwa kami pengganggu. Sebab kami hanya menyampaikan kebenaran, dan kebenaran ini bisa diuji. Kami hanya menyerukan sesuatu yang sudah sama-sama kita ketahui. Jika kita menengok ke belakang, mungkin anda tahu, Kepausanlah yang telah menyebabkan musnahnya jutaan umat manusia. Bahkan bukan cuma para tentara yang berperang, tapi juga orang-orang yang tidak bersalah, rakyat sipil, wanita, anak-anak, orangtua. Kami tidak pernah menemukan toleransi pada setiap tindakan Kepausan. Selama ratusan tahun kami dibantai, selama ratusan tahun pula Kepausan merestui setiap pembunuhan yang dilakukan atas diri kami bahkan hingga sekarang. Dengan kata lain, kedatangan kami kemari adalah untuk menghentikan Kepausan dari semua dosa itu. Sebab semua itu hanyalah hawa nafsu. Kedatangan kami adalah untuk membebaskan umat manusia dari penjajahan hawa nafsu yang membelenggu, menuju penyembahan kepada Allah Tuhan kita semua.”

 

Sunyi-senyap tiba-tiba mengambang. Yang terdengar hanyalah suara pelan kidung-kidung suci di kejauhan. Selama beberapa detik tak ada yang bicara. Semuanya tenggelem dalam alam pikiran masing-masing.

 

“Maaf, Khalifah, kami tidak bisa.” Kata Paus pelan.

 

“Baiklah,” sahut Khalifah. “Apapun yang terjadi, apapun yang anda katakan, jatuhnya kota ini ke tangan kami adalah janji Tuhan dan Rasul kami. Tidak ada kuasa apapun yang bisa menghentikannya. Kami akan mengirimkan angkatan perang kami untuk mengambil alih kota ini. Jika anda melakukan perbuatan-perbuatan yang mengindikasikan perlawanan terhadap kami, maka kami akan menghancurkan anda dan setiap pergerakan itu, tandanya anda telah menghalang-halangi sampainya keagungan Islam kepada umat manusia. Tapi jika anda tidak melakukan semua perbuatan itu, maka diri anda akan terjaga…”

 

Mendengar semua kata-kata Khalifah itu, Paus ambruk ke lantai. Dia jatuh terduduk, tak kuat lagi menopang tubuhnya. Dia menangis tersedu-sedu, dan tiba-tiba dia mengacungkan telunjuknya kepada Khalifah, dan membelalak.

 

“Anda tidak tahu apa yang sedang anda lakukan. Semua tindakan anda ini akan memicu perang besar!”

 

“Justru kami akan membebaskan umat manusia dari tirani kepemimpinan Kepausan yang sejak dulu telah menebarkan malapetaka kepada umat manusia. Baiklah, silakan anda pikirkan lagi semua yang telah kami sampaikan. Jangan salah mengambil keputusan, sebab anda sendiri yang akan menanggung konsekuensinya. Kami pamit!”

 

Khalifah dan Jenderal Ali Khan berbalik kemudian melangkah keluar Basilika Santo Petrus. Menyisakan kegundahan yang amat kental di hati Paus dan semua orang yang ada di ruangan keramat bagi orang Kristen itu.

 

000

Downing Street Nomor Sepuluh seolah-olah runtuh oleh gelegar kemarahan. Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi, sedang menghadap Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Dan apa yang mereka bicarakan benar-benar membuat mereka tegang.

 

“Kita mesti menyerukan seluruh Eropa untuk mengobarkan perang salib untuk melawan invasi Khilafah ke Roma. Mereka sedang terus mempersiapkan diri untuk menyerang Roma, kita tidak bisa tinggal diam,” Berlusconi bicara dengan menggebu-gebu. “Kalau kita terlambat sedikit saja, Roma akan porak-poranda. Kita sudah tidak punya cara lain selain perang salib. Bapa Suci pun mendorong hal itu.”

 

“Memang sudah seharusnya begitu,” sahut Cameron. “Tapi nampaknya kami sudah tidak bisa memenuhi apa yang anda katakan. Masa-masa perang salib sudah lama berlalu.”

 

Berlusconi serta-merta bangkit dari kursinya dan mencondongkan tubuhnya kepada Cameron. “Apa yang terjadi pada anda? Mengapa anda bicara seperti ini? Apakah anda tidak mencintai agama anda sendiri? Mereka akan menyerang, tahta suci sudah di ambang perang, mengapa anda bicara seperti ini?”

 

“Saya mengerti semua yang anda rasakan.”

 

“Jika anda mengerti sebenarnya anda tidak pantas bicara seperti tadi.”

 

“Pahamilah sesuatu bahwa anda tidak bisa mendapatkan semua yang anda inginkan. Ide anda memang bagus sekali dan memang sudah seharusnya dilakukan, tapi anda tidak bisa memaksa saya untuk menuruti apa yang anda inginkan. Kondisi setiap negara pastilah berbeda-beda, dan saya mengambil keputusan seperti ini karena memandang kondisi Inggris saat ini.”

 

“Memangnya apa yang sedang terjadi pada Inggris? Bukannya Inggris adalah sebuah negara besar yang menguasai berbagai sumberdaya di dunia ini? Mengapa tidak berani keluar berperang melawan orang-orang Islam itu? Apalagi tahta suci sedang terancam, bukankah itu adalah sebuah alasan yang kuat untuk kita mengobarkan perang salib? Masa-masa perang salib telah berlalu adalah suara-suara sumbang yang harus dibuang jauh-juah dari kamus kita.”

 

“Anda tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Inggris sekarang ini, dan anda tidak perlu tahu akan hal itu. Yang pasti Inggris menolak upaya perang salib karena masanya telah berlalu. Yang harus kita pakai sekarang adalah cara-cara beradab dengan diplomasi dan perudingan.”

 

“Bagaimana mungkin kita berunding dengan orang-orang yang tidak menghendaki perundingan sama sekali? Bagaimana mungkin kita memakai cara beradab dengan orang-orang barbar yang hanya menginginkan perang?”

 

“Apapun yang anda katakan, Inggris tetap menolak perang. Itulah keputusan final dari saya, dan anda tidak bisa memaksa saya untuk melaksanakan apapun yang anda katakan.”

 

“Sekarang aku sadar bahwa Inggris memang benar-benar pengecut.”

 

“Terserah anda.”

 

Tanpa bicara apa-apa dan tanpa pamit sedikit pun Berlusconi berlalu dengan geram. Langkahnya gontai ditemani perasaan hatinya yang muram. Cameron hanya bisa menatap punggung Berlusconi yang kian menjauh. Tinggallah dia bergumam sendiri di dalam hati.

 

Kalau kau tahu, jika Inggris menghalang-halangi apa yang ingin dilakukan Khilafah, pastilah fasilitas angkatan perang Inggris akan diledakkan dengan sekali tekan tombolnya. Mereka telah berhasil menanamkan bom dengan teknologi yang kami sanggup jinakkan. Posisi Inggris telah mereka kunci.

 

000

Suasana tegang menyelimuti ruang rapat Uni Eropa yang agung itu. Bangku-bangku dan meja panel berjajar melingkar. Semua orang tak menyangka apa yang terjadi di hadapan mereka, sebuah pertentangan tajam terjadi. Baru saja berlalu, semua anggota rapat berdiri dari kursinya dan mengangkat tangan masing-masing, hujan interupsi, dan suara-suara ketidakpuasan beterbangan di udara. Namun keadaan kembali diredam setelah ketua sidang, Charles Ashton, mengetuk palu.

 

“Saya minta semuanya tenang, dan menahan diri. Kita coba simak dulu uraian Tuan Berlusconi,” katanya. Dia mengangguk kepada Berlusconi dan memersilakannya bicara.

 

Berlusconi segera mendekatkan mikrofon di depannya dan bicara. Semua mata menatap kepadanya. “Terima kasih banyak kepada ketua yang telah memberikan kesempatan kembali kepada saya. Saya menghimbau kepada rekan-rekan agar jangan dulu antipati dengan usul yang saya sampaikan. Negara Khilafah akan menyerbu Vatikan itu bukan isapan jempol belaka. Semua indikasi sudah mengarah ke sana, dan bahkan Bapa Suci sendiri telah menginformasikan hal itu. Sudah semestinya kita semua bertindak dan tidak berdiam diri lagi. Tidak bisa tidak, Perang Suci mesti kita kobarkan lagi sebagaimana para pendahulu kita. Tidak ada jalan lain untuk menghentikan hegemoni mereka selain dengan jalan perang salib. Kita satukan kekuatan kita semua untuk menahan gempuran mereka. Kita tahu bahwa mereka bukanlah musuh yang bisa kita anggap enteng. Dahulu ketika orang-orang Islam tidak memiliki negara Khilafah kita bisa berbuat seenaknya kepada mereka, sekarang kondisinya tidaklah sama lagi. Mereka telah memiliki negara Khilafah yang akan menyatukan seluruh kekuatan dan potensi mereka. Tanpa pemimpin saja kita sudah cukup kerepotan ketika hendak melawan mereka, apalagi sekarang ketika mereka telah bersatu di bawah kepemimpinan seorang lelaki. Saya sangat menekankan agar kita segera mempersiapkan diri kita untuk perang salib.”

 

Belum selesai Berlusconi bicara, tangan-tangan telah teracung ingin menginterupsi. Namun Ashton tidak memberikan kesempatan bicara kepada mereka. Barulah setelah Berlusconi selesai, Ashton memberikan kesempatan kepada David Cameron, Perdana Menteri Inggris.

 

“Saya jelas tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Tuan Berlusconi,” Cameron menggeleng pelan. “Masa-masa perang suci sudah jauh berlalu. Saat ini kita hidup di abad modern, mengapa kita masih harus memakai cara-cara abad pertengahan? Kita harus upayakan dulu diplomasi. Mereka bukan orang-orang bodoh yang tidak bisa berkompromi.”

 

“Tuan Wilders, silakan,” kata Ashton sambil menunjuk Geert Wilders yang duduk di hadapannya. Geert Wilders adalah seorang politisi Belanda yang sangat membenci Islam. Namun ketika Khilafah berdiri, sikapnya berubah total, dia menjadi sangat lembut dan sangat menghargai umat Islam. Entah apa yang terjadi padanya, sikapnya itu kontras sekali. Dia mengarahkan corong mikrofon ke mulutnya.

 

“Saya sepakat dengan Tuan Cameron. Semuanya bisa kita bicarakan baik-baik. Tidak ada hal yang tidak bisa dikompromikan,” katanya. “Apalagi Islam adalah agama yang santun dan tidak mengutamakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Sebisa mungkin kita jangan sampai memberikan sinyal-sinyal yang buruk kepada Negara Khilafah.”

 

Ashton mengembuskan napasnya, sebab dia melihat Berlusconi sudah berdiri sambil mengacungkan kedua belah tangannya seperti seorang suporter yang sedang menonton tim sepakbola kesayangannya. Ashton mengangguk sambil bertopang dagu, dan Berlusconi pun bicara.

 

“Ini bukan cara-cara abad pertengahan. Bagaimana cara kita merespon orang-orang yang tidak mengerti bahasa diplomasi. Yang mereka mau hanya perang untuk merebut Vatikan dari kita dan menghancurkan institusi suci umat Katolik. Ini bukan isapan jempol, Khalifah sendiri mengatakan hal itu. Kita meti meresponnya dengan tepat, dan respon yang tepat untuk menghadapi orang-orang seperti ini hanya perang. Bagaimana mungkin kita berdiplomasi kita jika kita berhadapan dengan orang-orang yang menodongkan senjatanya kepada kita? Itu tidak masuk akal.”

 

Tangan-tangan sudah teracung lagi, tapi tiba-tiba seorang petugas security yang rapi dengan jas hitam berlari ke dalam dan mendekati meja Ashton sebagai pemimpin sidang. Petugas itu membisikkan sesuatu kepada Ashton yang langsung terlihat heran. Ashton mengangguk kepada petugas itu. Tak membuang waktu petugas itu segera menghilang ke pintu keluar.

 

“Kita kedatangan tamu,” kata Ashton lewat mikrofonnya.

 

Semua orang menatap ke pintu masuk ruangan itu. Beberapa detik lamanya mereka menunggu, jantung mereka berdebar. Pintu itu terbuka, dua orang petugas berjas hitam tampak. Di belakang mereka melangkahlah dengan tertatih, Paus Benedictus XVI. Seperti biasa, Uskup Ferdinand menuntun tangannya. Sementara tongkat keberasarannya ditenteng oleh tangan Paus yang sebelah lagi.

 

Paus melangkah ke tengah-tengah sidang itu. Dia duduk di kursi yang telah disediakan petugas, persis di tengah-tengah ruangan yang melingkar itu. Uskup Ferdinand setia mengiringinya. Untuk menghormati Paus, Ashton turun ke depan dan turut duduk di sisi Paus. Tangannya menggenggam sebatang mikrofon, dia bicara.

 

“Sebuah kehormatan bagi sidang Uni Eropa karena Bapa Suci Benedictus XVI telah bersedia hadir di tengah-tengah kita. Tentunya ada hal penting yang akan beliau sampaikan dan kita semua harus mempersiapkan diri kita untuk menyimaknya. Baiklah, tidak memperpanjang kata-kata lagi, saya persilakan Bapa Suci untuk menyampaikan kalimat-kalimatnya.”

 

Ashton menyerahkan mikrofon di tangannya kepada Paus. Tangan kisut Paus mengambil mikrofon itu dengan gemetar seolah-oleh berat mikrofon itu lima puluh kilogram. Dengan sigap Ferdinand mengambil mikrofon di tangan Paus dan mendekatkannya ke mulut Paus. Suara deham Paus yang parau memenuhi ruangan.

 

“Salam sejahtera untuk ita semua. Saya ucapkan terima kasih kepada Tuan Ashton yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk turut bicara di dalam sebuah forum yang penting ini,” suara Paus tiba-tiba terhambat di tenggorokannya. Dia terbatuk. Setelah menenangkan dirinya, dia kembali bicara. “Ada bahaya besar yang sedang mengancam kita. Dan dunia Kristen mesti bersatu untuk melawannya.”

 

Berlusconi tersenyum tipis menatap Paus. Dia berpikir sekarang dia tidak perlu susah-susah lagi menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi kepada semua orang. Paus sendiri sudah datang untuk menyampaikannya secara langsung.

 

“Khalifah telah datang kepadaku. Dia memintaku masuk Islam, atau menggabungkan diri ke dalam wilayah kekuasaannya. Kalau aku menolak kedua tawaran ini, dia memutuskan untuk mengambil alih kota kita dengan kekuatan senjata. Dia bilang takluknya kota kita adalah janji Tuhan dan nabinya.”

Kesunyian merebak. Semua orang mendengarkan Paus bicara.

 

“Saya menolak, tentu saja. Saya mohon padanya agar mengurungkan niatnya itu, tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia akan tetap mengirimkan pasukan perangnya untuk merebut kota kita. Gejolak terjadi di mana-mana. Umat Kristen sedunia merespon rencana itu, namun apa yang mereka bisa? Yang tetap memiliki kekuatan nyata adalah negara. Anda sekalian adalah kekuatan itu, anda semua memiliki kekuasaan. Anda memiliki senjata. Karena itulah saya meminta pertolongan kepada anda semua untuk mempersiapkan diri membela keyakinan anda, membela agama anda, membela tuhan Yesus Kristus. Aku menyerukan agar perang salib kita kobarkan kembali seperti dulu.”

 

Paus menghentikan kalimatnya, semua diam. Sunyi mendadak bangkit dan menutupi semua orang. Alam pikiran penuh dengan kilatan-kilatan memori dan semuanya tenggelam.

 

Cameron mengacungkan tangannya. Ashton mengangguk dan memberinya kesempatan bicara.

“Saya sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada Vatikan dan tahta suci. Hanya saja, saya mewakili Inggris, saya tidak bisa memberikan bantuan apa-apa selain doa yang tulus dari dalam hati saya. Inggris tidak mungkin terlibat di dalam semua ini karena Inggris telah memiliki perjanjian damai dan kerjasama bilateral dengan Negara Khilafah. Dan Inggris mesti menepati semua perjanjian yang telah dibuatnya.”

 

Geert Widers pun berdiri. “Saya pun mengucapkan belasungkawa yang sebesar-besarnya, sebab Belanda tidak bisa memberikan bantuan.”

 

Hampir semua orang kemudian menyusul Belanda dan Inggris untuk berdiri dan berbelasungkawa sebab tidak bisa memberikan bantuan kepada Vatikan. Yang bersedia mengerahkan senjatanya untuk menghalangi Negara Khilafah dalam menaklukkan Vatikan hanyalah Italia saja. Berlusconi berdiri dengan gagahnya sambil menggebrak meja. Tata kramanya entah ditaruh di mana.

 

“Kalian semuanya banci. Kalian semua bukan lelaki. Jika kalian semua tidak mau membantu melindungi tahta suci, biar Italia saja yang akan mengerahkan angkatan bersenjatanya. Semoga tuhan membakar kalian semua di dalam neraka.”

 

Suasana sepi menyelubungi ruangan itu dalam beberapa saat. Yang terdengar tiba-tiba adalah isak tangis Paus Benedictus XVI yang membahana. Air mata Paus berlinang membasahi pipinya yang keriput.

 

000

“Anda dipecat,” kata Napolitano, Presiden Republik Italia.

 

Berlusconi mengerutkan keningnya ketika dia berhadapan dengan Presiden Italia itu. “Apa maksud anda, Tuan Presiden?”

 

“Anda dipecat, dewan telah menyetujuinya. Anda tinggal menunggu surat pemecatan anda turun,” kata Napolitano lebih jelas.

 

“Mengapa saya dipecat begitu saja?” Berlusconi tak terima.

 

“Pandangan-pandangan anda yang ekstrim tidak bisa diterima dan bisa membahayakan negara.”

 

“Untuk sikap-sikap yang ekstrim seperti yang dilakukan oleh Khilafah kita juga wajib menghadapinya dengan sikap yang ekstrim. Bagaimana mungkin menghadapi kekerasan dengan lembek? Itu tidak masuk akal Tuan Presiden.”

 

“Takkan ada sikap yang ekstrim. Asalkan negara kita tidak diganggu, kita akan membiarkan mereka melakukan apapun terhadap Vatikan.”

 

“BODOH!!!” Hambur Berlusconi. “Apa anda pikir mereka akan berhenti hanya pada Vatikan? Mereka tidak akan berhenti sampai seluruh orang Kristen musnah dari muka bumi ini.”

 

“Mereka tidak begitu. Aku tahu Islam tidaklah seperti itu. Namun tak peduli apapun yang anda katakan sekarang, anda dipecat. Mohon maaf, saya punya banyak pekerjaan. Pintu keluar di sebelah sana.”

 

Dengan geram, Berlusconi melangkah. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan.

 

000

Prajurit Angkatan Bersenjata Khilafah Islamiyah berjajar dengan rapi. Keagungan dan kewibawaan menyelubungi mereka. Sebuah parade militer sedang dilaksanakan dengan megah di jalan-jalan yang melintasi Istana Topkapi dan Hagia Sofia di kota Istanbul. Derap langkah tentara Khilafah merawankan hati dan melumuri kebanggaan ke seluruh tubuh. Pakaian seragam mereka yang berwarna putih-putih dengan baret hijau begitu berwibawa. Senapan laras panjang dipanggul di bahu mereka. Di belakang barisan infanteri yang  mengular panjang itu membentang pula barisan tank-tank yang kokoh. Puluhan tank berjalan dengan laras-laras yang hitam. Kaum muslim memadati kiri-kanan jalan menyoraki dengan gembira parade itu.

 

Di barisan paling depan, di atas sebuah jip hitam, berdirilah Khalifah Muhammah Hasanuddin. Dia berdiri di bagian belakang jip yang terbuka itu dan melambaikan tangannya kepada rakyatnya sambil mengumbarkan senyum manis. Di sisi Khalifah tegaklah Jenderal Sayf Ali Khan. Dia berdiri saja seperti patung dengan ekspresi wajah galak sambil berpegangan kepada pilar-pilar besi jip itu. Sekilas Khalifah mendekat kepada Ali Khan. Dia bicara di antara keramaian rakyat Negara Khilafah itu.

 

“Penyerbuan kita ke Roma sebentar lagi, bagaimana persiapannya?” Tanya Khalifah.

 

Dengan tenang Ali Khan mengangguk. “Semua persiapan telah rampung dan operasi Futuh Ruum siap diberangkatkan kapan saja.”

 

000

Pagi memecah kegelapan, dan sangkakala belum lagi ditiupkan. Seluruh dunia akan kembali menyaksikan betapa janji Allah dan RasulNya akan kembali dibuktikan. Ketika matahari baru saja menyingsing, Angkatan Bersenjata Khilafah Islamiyah telah  bergerak menuju sasaran mereka, Roma. Khilafah akan mengepung kota itu dari darat, laut, dan udara.

 

Dari Pangkalan Militer Sultan Muhammad al Fatih di Istanbul, pesawat-pesawat tempur dan helikopter-helikopter Khilafah berseliweran cepat menuju Roma, hendak mengepung kota Vatikan. Kapal-kapal angkut yang membawa ribuan prajurit pun mengangkasa. Dari Pelabuhan Galipolli kapal-kapal perang Khilafah melepas sauh, hendak melintasi laut Mediterania dengan satu tujuan, mewujudkan janji Allah dan RasulNya, mengepung Roma. Sepuluh kapal induk yang amat besar seperti pulau mengapung pun dikerahkan untuk tujuan yang sama.

 

Dunia gentar menyaksikan semua itu. Seluruh posisi negara-negara di dunia telah dikunci, tidak ada yang berani berbuat sesuatu untuk merespon apa yang dilakukan Khilafah Islamiyah. Kemuliaan dan keagungan benar-benar hanya milik Islam dan kaum Muslim. Para wartawan dan jurnalis dari seluruh stasiun berita di dunia meliput pergerakan itu dari jarak yang aman. Mereka ingin mengabadikan apa yang mungkin sebentar lagi akan terjadi.

 

Khalifah Muhammad Hasanuddin berdiri gagah di salah satu kapal induk Khilafah Islamiyah, yang bernama Heyreddin Barbarossa. Ia melipat tangannya di depan dada sambil merasakan semilir angin pagi yang masih cukup dingin menelisik wajahnya. Di depan matanya hamparan laut yang membiru, Laut Mediterania. Para prajurit dan awak kapal berseliweran di sekitarnya melaksanakan tugas yang dibebankan ke pundak mereka. Khalifah menatap cita-cita di depan matanya, Penaklukan Roma.

 

Datanglah Jenderal Sayf Ali Khan menghampirinya. Perwira gagah asal Pakistan itu berdiri gagah di Khalifah.

 

“Bagaimana operasi Futuh Ruum kita?” Tanya Khalifah.

 

“Sampai sejauh ini semua berjalan lancar,” sahut Ali Khan. “Seluruh unit telah bergerak lewat laut dan udara ke titik-titik yang telah ditentukan. Dalam satu jam ke depan sebagian pasukan kita telah mendarat di sekitar kota Vatikan. Sebagaimana perjanjian, Italia tidak akan berbuat apa-apa.”

 

“Bagus! Uni Eropa pun kabarnya tidak akan bergerak. Perjanjian-perjanjian yang kita buat memang sangat berguna. Setelah Vatikan di tangan kita, selanjutnya kita bisa bergerak untuk menaklukkan seluruh Eropa.”

 

“Insyaallah, semoga Allah memudahkan dan melancarkan.”

 

“Anda tahu, Jenderal, Eropa adalah sarang kemaksiatan? Para pelacur berkeliaran di mana-mana, perempuan-perempuan telanjang dibiarkan, anak-cucu kaum Sodom dan Gomorah pun bebas merajalela, sebuah peradaban yang memuakkan. Dan kita akan bersihkan semua itu dari bumi Allah yang suci ini.”

 

Jenderal Ali Khan mengangguk dengan teguh. “Peradaban Islam akan menggusur seluruh budaya kufur yang ada, dan menebarkan rahmat kepada seluruh alam.”

 

Kedua orang besar di dalam jajaran pemerintahan Khilfah Islamiyah itu menatap ke depan, kepada cita-cita besar yang telah sejak ribuan tahun yang lalu telah ditetapkan kepastiannya oleh Rasulullah saw.

 

“Jika futuhat kita hari ini berasil, tandanya Allah telah memberi kemuliaan kepada kita untuk mewujudkan janji Rasulullah saw. Sejak ribuan tahun yang lalu, dan sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah swt.” Lanjut Khalifah. “Insyallah kitalah umat yang terbaik.”

 

Seluruh pasukan Khilafah Islamiyah terus melaju menuju satu tujuan, menaklukan Roma, mewujudkan janji Rasulullah saw.

 

000

Pada salah satu jendela di Basilika Santo Petrus, Paus Benedictus XVI menatap keluar dengan gemetar. Uskup Ferdinand selalu menemaninya dan kali ini dia harus memegangi tubuh ringkih Paus karena pemimpin besar Kristen itu gemetar tak tertanggungkan. Apa yang dia lihat di luar membuatnya gemetar hebat seperti itu. Seluruh Vatikan telah dikepung oleh prajurit berseragam putih-putih yang bersiap menerima perintah. Mereka adalah prajurit Khilafah Islamiyah.

 

ALLAAAHU AKBAR

ALLAAAHU AKBAR

ALLAAAHU AKBAR

 

Gema takbir menyobek langit Vatikan, menancapkan kalimat suci itu di tempat dimana kalimatullah belum pernah bergema. Dan hari itu, kalimah tayyibah bergema di jantung Kristen dunia. Dan kalimat takbir itu seolah-olah dentuman guruh yang menggedor-gedor telinga dan hati Paus serta seluruh jajaran uskupnya. Apakah hari itu adalah akhir dari agama Kristen?

 

Seluruh Vatikan penuh dengan hiruk-pikuk. Mereka berusaha menyelamatkan segala sesuatu yang perlu diselamatkan, walau pun mungkin sudah terlambat, sebab tentara Khilafah telah mengepung seluruh dinding Vatikan. Garda Swiss, pasukan resmi Kepausan, yang jumlahnya tak seberapa bersiap di berbagai posisi yang diperkirakan pasukan Khilfah akan masuk dari sana. Mereka bersiap berperang, walau mereka tahu mereka pasti kalah. Tentara Khilafah belum bergerak, karena belum ada perintah. Jika dipantau dari angkasa, terlihat bahwa Vatikan telah dikelilingi oleh lautan manusia berseragam putih. Gemuruh takbir terus digemakan oleh seluruh pasukan Khilafah, seolah akan meruntuhkan langit. Penaklukan hari itu hampir dipastikan akan berhasil.

 

Sebuah helicopter militer warna hitam melayang di atas Basilika Santo Petrus. Perlahan-lahan helicopter itu mendarat di lapangan depan gerbang Basilika Santo Petrus. Dari sana keluarlah Khalifah dan Jenderal Ali Khan. Mereka berdua melangkah menuju pintu depan basilica. Di sana telah hadir seluruh uskup di Vatikan dengan jubah-jubah mereka yang panjang. Khalifah dan Jenderal Ali Khan tegak dengan gagah di depan para uskup itu. Tak lama kemudian Paus keluar dari Basilika dengan didorong di atas kursi roda oleh uskup Ferdinand.

 

Tubuh Paus gemetar. Khalifah sampai bisa melihat dengan jelas tubuh ringkih yang gemetar itu. Paus menunduk saja di hadapan Khalifah. Semua uskup terdiam, mereka menatap Khalifah dengan penuh kepedihan. Hari ini mereka telah kalah.

 

“Serahkan kota ini kepada kami, dan kami akan menjamin kesejahteraan anda semua,” kata Khalifah. “Kami akan menerapkan syariat Islam di sini, dan anda semua akan mendapatkan jaminan keamanan untuk melaksanakan doa dan ibadah kalian. Jangan melawan kami sebab hal itu tidak ada gunanya. Jika anda melawan, kami telah siapkan pasukan kami di luar tembok kota dan akan kami rebut kota ini dengan kekuatan senjata.”

 

“Me…me…mengapa anda melakukan semua ini?” Tanya Paus dengan terbata-bata. Wajahnya mendongak kepada Khalifah. Matanya yang keriput dan kuyu menatap penuh Tanya. “Mengapa anda berbuat begini kepada kami? Apa salah kami?”

 

“Anda telah salah karena menyekutukan Allah. Anda telah menyembunyikan kebenaran, padahal akal anda tidak akan pernah bisa menyangkal agama mana yang benar, namun anda mendustakan kebenaran itu, dan tetap bertahan dengan semua kebohongan ini. Apakah anda tidak ingat, apa yang telah dilakukan Kepausan kepada umat Islam sejak dulu? Islam tidak mengajarkan kami mendendam, namun jika kekuasaan masih ada di tangan anda, anda pasti akan berbuat kezaliman yang nyata. Karena itulah kami wajib membersihkan kezaliman itu.”

 

Suara takbir terus menggema, semuanya orang di depan pintu basilica santo petrus itu terdiam. Jenderal Ali Khan menatap tajam pada Paus Benedictus. Khalifah mengembuskan napasnya.

 

“Untuk yang terakhir kali saya sampaikan,” kata Khalifah, tatapan matanya tajam kepada Paus yang ringkih itu, “serahkan kota ini, atau kami akan berjihad untuk mengambil alih  kota ini.”

 

Tiba-tiba Paus terisak. Dia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya yang keriput. Setengah dari Uskup yang berdiri di depan basilica itu pun turut menangis. Khalifah mengernyitkan dahinya menatap apa yang terjadi di hadapannya. Jenderal Ali Khan tetap dengan pembawaannya yang dingin. Pelan-pelan tangan kisut Paus bergerak merogoh saku di balik lipatan pakaiannya. Dia mengeluarkan sebuah anak kunci dari emas yang diikat pula dengan kalung dari emas, dan menyodorkannya dengan gemetar kepada Khalifah. Airmatanya berderai.

 

“Ini adalah kunci kota Vatikan, lambang dari penguasaan kota ini. Aku serahkan kota ini kepadamu. Penuhi semua janjimu.” Suara Paus serak dan parau.

 

Khalifah mengangkat tangan kanannya, meraih kunci emas itu. Digenggamnya kunci itu kuat-kuat dan dibelitkannya rantainya pada telapak tangannya.

 

“Anda jangan khawatir. Perintah Tuhan kami sangat jelas, kami pun tidak memerintah dengan hawa nafsu. Anda akan mendapatkan seluruh hak anda berdasarkan syariat.”

 

Khalifah dan Jenderal Ali Khan berbalik kemudian melangkah pergi. Mereka berjalan dengan gagah menatap kemenangan. Beberapa detik kemudian prajurit negara Khilafah mengalir masuk ke dalam kota Vatikan, tidak bisa dibendung lagi. Pasukan Garda Swiss tidak bisa berbuat apa-apa. Prajurit negara Khilafah segera mengamankan mereka dan memperlakukan mereka dengan baik. Hanya dalam beberapa menit saja hampir seluruh kota Vatikan sudah dipenuhi oleh tentara Muslim dan dimeriahkan dengan pekikan takbir yang membahana di setiap sudut Vatikan. Khalifah berdiri di hadapan pintu besar basilica santo Petrus, di undakan tangga paling atas. Ia mengangkat kunci emas yang ada di tangan kanannya tinggi-tinggi dan takbir lagi-lagi bergemuruh, gemetar. Tatapan matanya menyapu seluruh prajurit Muslim yang telah bersorak riuh di hadapannya, namun tertib dan santun, tak ada pengrusakan sedikit pun yang mereka lakukan.

 

“Hari ini janji Allah dan RasulNya sudah dibuktikan. Hari ini kemenangan dan keagungan hanyalah milik Islam dan kaum muslim. Semoga Allah merahmati kita, melimpahkan rahmat dan kesejahteraan kepada kita. ALLAAAAHU AKBAR.” [sayf]

 

Tamat.

Follow @sayfmuhammadisa

Badai Pelecehan Seksual

Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyatakan bahwa awal tahun 2013 ini adalah tahun Darurat Nasional Kejahatan Seksual terhadap anak. Pak Arist mengatakan seperti yang dimuat di Detik.com bahwa pada dua bulan awal dari tahun 2013 ini sudah masuk 120 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 83 kasus di antaranya adalah kejahatan seksual dan sisanya adalah kejahatan fisik.

Data yang disampaikan oleh Komnas Perlindungan Anak ini memang sangat memprihatinkan. Sebab anak yang seharusnya dilindungi dan dibina dengan baik malah jadi tempat pelampiasan nafsu seksual yang di dalam dunia hedonistik ini pasti akan selalu berkobar. Lihat saja, ada siswi SMA yang dilecehkan gurunya, ada bocah 5 tahun yang disodomi, ada yang diperkosa bertahun-tahun sampai meninggal, dan bejibun lagi kasus yang lainnya.

Semua fenomena ini tentunya bukanlah bersifat kasuistik-parsial melainkan sudah bersifat sistemik-fundamental. Kesimpulan ini diambil ditilik dari sudah begitu mengguritanya tindak pelecehan seksual terhadap anak di mana-mana, jika sudah begini pastilah persoalannya bersifat sistemik-fundamental.

Diterapkannya sistem sekular-hedonistik yang menafikan agama dari kehidupan umat manusia adalah ujung pangkal dari semua persoalan pelecehan seksual ini. Karena paham sekular-hedonistik ini berbagai konten yang merangsang birahi banyak beredar di masyarakat. Kaum wanita pun dibebaskan untuk berdandan seronok dan mengenakan pakaian apapun yang mereka suka termasuk yang mempertontonkan aurat mereka. Media pun banyak menayangkan berbagai hal-hal berbau seks setiap waktu. Kita bisa melihat artis-artis yang selalu berpenampilan seronok dan menggoda kerap kali ditayangkan oleh media. Semua itulah yang kemudian memicu merebaknya berbagai tindak pelecehan seksual di tengah-tengah masyarakat. Hal ini bisa kita lihat pula dengan betapa tingginya angka perkosaan dan pelecehan seksual di negera-negara Barat yang amat menghamba pada paham sekular-hedonistik ini. Sementara Yenni Wahid mengungkapkan perkataan dusta, dengan menyatakan bahwa tingkat perkosaan di negara-negara Arab yang menganut nilai-nilai islami itu lebih tinggi daripada di negara-negara Barat yang membolehkan wanitanya memakai bikini. Semua ini jelas hanya ungkapan bohong belaka. Situs nationmaster.com mengungkap data statistik angka perkosaan di 116 negara. Peringkat 5 besar negara yang tertinggi angkat perkosaannya adalah negara-negara di Eropa dan Amerika yang membolehkan kaum perempuannya memakai bikini, yakni Prancis, Jerman, Rusia, Swedia, baru di peringkat kelima adalah Argentina.

Untuk menghentikan semua ini, tidak bisa tidak, harus dilakukan upaya perubahan yang sistemik-fundamental. Sekularisme-hedonistik mesti diganti dengan ideologi lain yang lebih mumpuni dan menenteramkan. Itulah Islam. Tidak ada lagi yang lain.

Derita Seorang Fans!

urlJadi begini ceritanya! Tersebutlah seorang cowok, sebut saja namanya Faisal (kalau ada kemiripan nama dan peristiwa, hal ini tidaklah disengaja). Faisal adalah seorang fans berat sebuah girlband cewek-cewek cantik yang lagi ngetop-ngetopnya, yang namanya JKT49.

JKT49 ini emang ranum banget. Para personilnya bening-bening, yang pastinya akan membuat para lelaki (yang tipis iman) menggelepar melihatnya. Tampang mereka imut, pinter nyanyi, banyak duit, tenar, dan kalau lagi beraksi di atas panggung kerap kali mengenakan pakaian-pakaian yang kekurangan bahan dan ‘mengundang’. Tidak seperti Cherrybelle yang fans-nya kebanyakan anak-anak SD dan kaum hawa, JKT49 punya fans yang hampir seluruhnya lelaki. Dan Faisal adalah salah satu di antaranya.

Untuk sesaat terlintas di pikiran saya, bahwa jika sebuah boyband atau girlband punya fans kebanyakan cewek itu wajar, karena biasanya cewek bergerak dengan emosinya (perasaan). Apa yang mereka rasa membawa kebahagiaan dan mereka sukai cenderung akan mereka ikuti. Sementara cowok, tidak seperti cewek, rata-rata bergerak berdasarkan logika (pikiran). Cowok cenderung akan berpikir untung-rugi. Dengan demikian wajar saja kalau fans girlband atau boyband itu kebanyakan cewek daripada cowok. Fenomena JKT49 yang hampir seluruh fansnya cowok itu terus terang cukup mencengangkan saya. Hal itu terlihat pada diri Faisal.

Cowok yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas swasta ini gandrung sekali dengan JKT49. Saking gandrungnya, dia sampai-sampai ‘menghamba’ kepada girlband itu. Apapun informasi yang terkait JKT49 dia pasti tahu. Segala pernak-pernik yang berbau JKT49 dia koleksi. Kalau ada acara JKT49 di tivi dia tidak akan ketinggalan. Dia rela kelaparan di sekolah untuk ngumpulin duit terus beli seluruh album JKT49. Dia juga akan berjuang ngutang sana-sini untuk beli selembar tiket konser JKT49 padahal babehnya cuma tukang becak dan enyaknya cuma buruh cuci. Isi kepalanya Cuma JKT49 dan berbagai bayangan betapa indahnya kalau dia bisa memacari salah satu saja personil JKT49 sambil memoroti duitnya. JKT49 memiliki kharisma yang sedemikian indah di mata Faisal.

Sekarang mari kita bandingkan kisah Faisal di atas dengan kisah Faisal yang lain, yang ternyata cukup mirip. Faisal yang kedua ini lahir pada abad ke-7 masehi, di sebuah kota bernama Makkah. Pada suatu hari ketika Faisal sedang berjalan di pasar, dia melihat ada sekumpulan orang sedang berkerumun mengelilingi seseorang. Karena penasaran, Faisal menghampiri kerumunan orang itu. Ternyata kerumunan itu sedang menyaksikan seorang lelaki yang mengaku Nabi, yang sedang membacakan syair-syair yang indah sekali, yang selama ini belum pernah dia dengar. Faisal kenal lelaki itu, namanya Muhammad. Siapa orangnya di seantero kota Makkah itu yang tidak mengenal Muhammad. Dia adalah seorang lelaki yang baik hati, tidak sombong, jujur, dan pemaaf. Bahkan telah terjadi sebuah konsensus di antara para penduduk Makkah, bahwa Muhammad adalah al Amin (yang terpercaya). Faisal begitu terpesona dengan apa yang dibacakan Muhammad. Dia langsung mengakui dalam hati bahwa apa yang dibacakan Muhammad bukanlah kata-katanya, melainkan kata-kata Tuhan sendiri.

Setelah kerumunan itu bubar, Faisal diam-diam menemui Muhammad. Di hadapan Muhammad kemudian Faisal mengakui bahwa tidak ada sesembahan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dia bergabung ke dalam sebuah agama yang kemudian disebut Islam. Kharisma Muhammad semakin bertambah agung di mata Faisal. Apapun yang disampaikan oleh Muhammad pasti akan diikuti oleh Faisal. Berbagai ilmu yang diajarkan padanya pasti akan dia amalkan. Apapun yang dilakukan Muhammad pasti dia tiru. Dia akan bekerja keras mengumpulkan uang demi bersedekah untuk perjuangan bersama Muhammad. Dan bukan Cuma itu, bahkan nyawa sekalipun akan dia korbankan untuk membela Muhammad. Yang ada di dalam benak Faisal hanya Muhammad saw. dan Islam.

Seperti yang sudah saya sebut di atas, fenomena yang terjadi pada Faisal 1 dan Faisal 2 (sebut saja begitu) mirip sekali, yakni pengidolaan. Ketika seseorang telah mengidolakan orang lain, atau sekelompok orang, konsekuensinya adalah orang itu akan sungguh-sungguh mencintai orang yang diidolakannya, kemudian menjalani pola-pola pengidolaan yang mirip. Akan meniru-niru apapun yang dilakukan idolanya, akan memberikan apapun yang diminta oleh idolanya, akan berkorban apapun demi idolanya, dan akan selalu mengutamakan idolanya ketimbang dirinya sendiri. Ketika kita mengidolakan seseorang, tandanya kita siap berada di bawah bayang-bayang superioritas orang yang kita idolakan itu. Hidup kita akan terkungkung oleh superioritas orang yang kita idolakan itu.

Budaya pop Korea sebenarnya sudah dipersiapkan sejak 10 tahun yang lalu, dan kini budaya itu merambah ke negeri kita tak ubahnya air bah. Budaya itu kemudian mewujud dengan menjamurnya boyband dan girlband korea, yang kemudian menginspirasi anak-anak negeri kita untuk juga membuat girlban dan boyband dengan pola-pola serupa. Dampak selanjutnya adalah terjeratnya generasi muda kita menjadi fans berbagai boyband dan girlband itu. Hal-hal apakah yang digunakan oleh boyband dan girlaband itu untuk memapankan superioritasnya di hadapan para fansnya? Yang pasti ketampanan dan kecantikan mereka, kemampuan mereka menyanyi dan menari, keindahan lekuk tubuh mereka, ketenaran mereka, serta hal-hal yang tidak jauh dari itu. Hal-hal itulah yang selalu membuat para fans menjerit setiap kali boyband dan girlband itu naik ke panggung.

Yang menjadi tanda tanya kemudian adalah: apakah kita rela mengorbankan banyak hal hanya untuk hal-hal seperti itu? Setelah kita membayar mahal untuk nonton konser boyband dan girlband itu kemudian apa yang kita dapat? Setelah kita membeli album artis-artis Korea itu lalu apa yang kita dapat? Jika kita mengetahui info terbaru dan kisah seluruh episode dari drama Korea itu lalu apa yang kita dapat? Coba kita renungkan, apa yang kita dapat? Apakah pengorbanan kita yang sebegitu besarnya demi artis-artis Korea itu sepadan dengan apa yang kita dapatkan dari mereka? Dapat pahala? Kan tidak ada hal lain yang ditawarkan artis-artis Korea itu selain hura-hura, dan kesenangan sesaat. Dengan mengikuti mereka justru kita termakan jerat kapitalis yang kemudian berhasil memoroti uang kita. Kita sudah menghambur-hamburkan waktu dan tenaga.

Ketika kita mengidolakan Rasulullah Muhammad saw. pada saat yang sama kita telah menjadikan beliau sebagai teladan kita. Superioritas beliau bukan saja karena ketampanan beliau, dan bukan saja karena beliau jujur dan terpercaya, tapi juga karena wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. kepada beliau. Memang beliaulah satu-satunya makhluk yang pantas untuk diidolakan dan diteladani. Kita merendahkan diri di hadapan beliau, kita tiru seluruh perbuatan beliau, kita korbankan harta bahkan nyawa untuk melindungi beliau dan berjuang bersama beliau, dan semua pengorbanan besar yang telah kita kerahkan itu akan dibayar dengan ganjaran yang sepadan, surga jannatunna’im. Bukannya sekadar fatamorgana seperti yang ditawarkan oleh boyband dan girlband Korea.

Dan saat ini saya masih harus tetap mengurut dada, sebab setiap kali saya melihat ada berita konser-konser boyband atau girlband digelar, di situlah saya saksikan ada demonstrasi kebodohan yang amat telanjang. Kok mau-maunya orang sebanyak itu dibodohi oleh boyband dan girlband Korea (tepok jidat!).

Hijab Modis Bikin Miris!

Jilbab punuk unta yang meresahkan.
Jilbab punuk unta yang meresahkan.

Senang sekali jika melihat ada semangat baru di tengah-tengah wanita muslimah untuk menutup auratnya dengan mengenakan kerudung atau yang sekarang ini banyak disebut hijab. Bermunculan pula komunitas-komunitas yang menghimpun wanita-wanita muslim yang memiliki semangat yang sama untuk memulai kebaikan ini (menutup aurat). Hanya saja ternyata cukup banyak pula hal yang mesti dkritisi dan diluruskan jika terkait dengan fenomena ini.

Kesadaran dan semangat untuk menutup aurat ternyata tidak dibarengi dengan kesadaran dan semangat untuk mempelajari bagaimana aturan Islam yang sebenarnya tentang menutup aurat ini. Akibat selanjutnya adalah, banyak wanita muslim yang asal-asalan saja menutup aurat dan bahkan terjebak dengan dunia fashion hijab yang telah melenceng jauh dari aturan Allah tentang menutup aurat, dan bahkan mengarah kepada kemaksiatan. Karena itulah kesadaran dan semangat saja sebenarnya tidaklah cukup, tetapi harus juga dibarengi dengan keinginan untuk mempelajari secara mendalam bagaimana aturan Islam tentang menutup aurat.

Suatu kali saya mengobrol dengan seorang senior saya yang pernah bekerja beberapa tahun di sebuah butik busana muslim yang sudah menasional, bahkan mungkin sudah akan go internasional. Senior saya ini seorang aktivis Islam yang idealis, dan kerap kali berseberangan dengan manajemen butik itu tentang konsep busana muslim yang sesungguhnya. Ia bercerita bahwa butiknya itu memiliki semacam “salon kerudung”, tempat para muslimah mendandani kerudung yang dipakainya agar terlihat trendi, unik, dan lain dari yang lain. Jadi sekarang ini bukan rambut saja yang harus masuk salon, tetapi kerudung juga mesti masuk salon agar terlihat lebih manis. Salon kerudung ini memiliki segudang kreasi bagaimana membuat kerudung terlihat lebih gaya. Ada yang dijadikan sanggup punuk unta, ada yang dikepang, ada yang dibelit ke belakang atau ke leher, ada yang dirangkai jadi bunga, dan banyak lagi kreasi lainnya. Bahkan saking rumitnya kreasi kerudung itu, senior saya itu bilang, “di satu kepala itu bisa ada lebih dari 30 jarum pentul tuh, Sa.”

Saya geleng-geleng. Saya berpikir, pasti rumit sekali kreasi kerudungnya sampai-sampai membutuhkan lebih dari 30 jarum pentul untuk merangkai dan menguntai kain kerudung itu serta bisa lekat di kepala. Jika memang harus begini, berarti memakai kerudung itu akan rumit dan ribet sekali, padahal Allah tidak pernah memerintahkan pakai kerudung sampai sejauh ini. Tapi tunggu dulu, ternyata masih lebih miris lagi dari itu. Senior saya pun melanjutkan ceritanya.

Pada suatu kesempatan senior saya ini hadir di salah satu event yang diselenggarakan oleh butik tempat ia bekerja. Acaranya adalah sebuah fashion show busana muslim yang modis dan trendi, yang membawa imej dari butik itu sendiri. Di sana senior saya melihat banyak muslimah yang memakai kerudung dengan berbagai kreasi yang unik dan rumit. Iseng-iseng, senior saya itu bertanya kepada salah satu stylist kerudung yang ada di sana.

“Kalau pakai kerudungnya kaya’ gitu pasti ribet banget pas datang waktu solat ya? Dilepas dulu, kemudian harus ditata lagi agar jadi seperti semula?”

“Kalau udah pakai kerudung kaya’ gitu sih mana ada yang solat mas.” Sahut si stylist kerudung itu.

Di sinilah saya shock mendengarnya. Ternyata ada banyak wanita muslimah yang memakai kerudung bukan karena menjalankan perintah Allah, melainkan karena fashion kerudung itu sendiri. Sampai-sampai gara-gara fashion kerudung kemudian mengabaikan solat. Miris sekali. Padahal Allah hanya meminta wanita untuk memakai kerudung saja. Allah tidak pernah meminta wanita untuk memakai kerudung yang dibelit ke leher atau kerudung yang disanggul seperti punuk unta. Allah juga tidak pernah meminta wanita memakai kerudung dengan berbagai kreasi yang rumit dan ribet. Dengan demikian, jika kita masih menyibukkan diri dengan fashion (fashion apapun itu), bisa jadi keikhlasan belum menyapa hati kita. Sebab ternyata kita lebih mendahulukan fashion dengan melanggar aturan Allah. Miris sekali.