Ma’rakat Balatusy Syuhada

Lukisan karya Steuben, menggambarkan Perang Tours.
Lukisan karya Steuben, menggambarkan Perang Tours.

Pertempuran Tours (Oktober 732), atau disebut juga Pertempuran Poitiers dan orang Arab menyebutnya Ma’rakat Balat ash-Shuhada (Istana pertempuran para syuhada) terjadi di sebuah wilayah diantara kota Poitiers dan Tours, pada bagian utara-tengah Prancis, dekat desa Moussais la Bataille, sekitar 20 kilometer (12 mil), sebelah timurlaut Poitiers. Lokasi pertempuran ini dekat dengan perbatasan antara wilayah Bangsa Franks dan wilayah yang kemudian disebut Aquitaine. Pada pertempuran ini beradu kekuatan bangsa Franks dan Burgundia dibawah kepemimpinan Penguasa Istana Austrasia, Charles Martel melawan pasukan dari Khilafah Umayyah yang dipimpin oleh Abdurrahman al Ghafiqi, gubernur jenderal Andalusia.

Bangsa Franks meraih kemenangan. Abdurrahman al Ghafiqi syahid, dan Charles kemudian meluaskan kekuasaannya di selatan. Penulis kronik abad ke-9 M, yang menginterpretasikan hasil akhir perang ini sebagai keputusan ilahi, memberi Charles gelar Martellus (“sang palu” atau “sang martil”), kemungkinan diambil dari Judas Maccabeus (“tha hammerer”) dari Pemberontakan Maccabe. Peristiwa pertempuran secara detil, termasuk lokasi tepatnya dan jumlah pasti dari pasukan yang bertempur, tidak bisa ditentukan secara pasti dari catatan-catatan yang masih ada. Hanya saja, pasukan Franks memenangkan pertempuran tanpa pasukan kavaleri.

Penulis kronik Kristen pada masa selanjutnya dan sejarawan sebelum abad ke-20 M memuji Charles Martel sebagai pembela kekristenan, menyatakan pertempuran itu sebagai titik balik dalam perjuangan melawan Islam, sebuah pertempuran yang membuat Kristen tetap bertahan sebagai agama Eropa; menurut sejarawan militer modern Victor Davis Hanson, “sebagian besar sejarawan abad 18 M dan 19 M, seperti Gibbon, melihat Poitiers (Tours), sebagai pertempuran yang menonjol yang menandai cepatnya gerak laju pasukan Muslim ke Eropa.” Leopold von Ranke merasa bahwa “Poitiers adalah titik balik salah sati dari epik terpenting dalam sejarah dunia.”

Terdapat sedikit perselisihan pendapat, bahwa pertempuran ini membantu meletakkan dasar Kekaisaran Carolingian dan dominasi bangsa Franks atas Eropa pada abad selanjutnya. Kebanyakan sejarawan setuju bahwa “pendirian kekuatan bangsa Franks di Eropa Barat membentuk takdir benua itu dan Pertempuran Tours menegaskan kekuatan itu.”

Latar Belakang

Pertempuran Tours dimulai dari gerak penaklukan Khilafah Umayyah selama 21 tahun atas Eropa yang telah dimulai sejak penakluakn Kerajaan Visigoth Kristen di Semenanjung Iberia pada 711 M. Gerakan ini kemudian diikuti oleh ekspedisi militer hingga wilayah bangsa Franks di Gaul, yang sebelumnya adalah provinsi dari Kekaisaran Romawi. Gerak militer Umayyah telah mencapai sebelah utara hingga ke Aquitaine dan Burgundia, termasuk pertempuran yang cukup besar di Bordeaux dan sebuah serangan di Autun. Kemenangan Charles dipercaya telah menghentikan gerak laju kekuatan Umayyah ini ke utara dari Semenanjung Iberia, dan telah mempertahankan agama Kristen di Eropa di masa ketika kekuasaan Islam sisa-sisa wilayah Romawi Kuno dan Kekaisaran Persia.

Sebagian besar sejarawan memperkirakan bahwa kedua pasukan ini bertemu di suatu tempat di mana Sungai Clain dan Vienne menyatu diantara Tours dan Poitiers. Jumlah prajurit di kedua pasukan itu tidaklah diketahui. Kronik Mozarabic dari tahun 754 M, sebuah sumber kontemporer Latin yang mendeskripsikan pertempuran ini dengan detil yang baik dibandingkan sumber Arab dan Latin lainnya, menyatakan bahwa, “rakyat Austrasia (pasukan Franks), lebih banyak jumlah pasukannya dan persenjataannya lebih baik, membunuh rajanya, Abdurrahman,” yang sepakat dengan sejarawan Arab dan Muslim lainnya. Walaupun begitu, sebenarnya seluruh sumber Barat tidak sepakat, dan memperkirakan kekuatan Franks sekitar 30.000, tidak sampai setengah dari jumlah kekuatan pasukan Muslim.

Beberapa sejarawan modern, menggunakan perkiraan berdasarkan seberapa banyak orang yang bisa ditampung oleh tempat pertempuran, dan kekuatan Martel untuk menghimpun prajurit dari negerinya, meyakini bahwa jumlah pasukan Muslim, dengan menghitung pasukan penyerang terjauh, yang bergabung kembali dengan pasukan utama sebelum Tours, melebihi pasukan Franks. Berdasarkan pada gambar pada sumber Muslim non-kontemporer, Creasy menjelaskan bahwa kekuatan Umayyah adalah 80.000 prajurit atau lebih. Menulis pada tahun 1999, Paul K. Davis memperkirakan bahwa pasukan Muslim berjumlah 80.000 personil dan pasukan Franks sekitar 30.000 personil, sambil menyatakan bahwa sejarawan modern memperkirakan kekuatan pasukan Umayyah di Tours antara 20.000-80.000. Namun, Edward J. Schoenfeld (menolak perkiraan sebelumnya yang sekitar 60.000-400.000 Umayyah dan 75.000 Franks), berpendapat “perkiraan bahwa pasukan Umayyah berjumlah lebih dari 50.000 orang (dan lebih banyak lagi pasukan bangsa Franks) secara logistik sangatlah tidak mungkin.” Demikian pula, sejarawan Victor Davis Hanson meyakini bahwa kedua pasukan dalam perhitungan kasar berjumlah sama, sekitar 30.000 prajurit.

Sejarawan modern mungkin saja lebih akurat daripada sumber-sumber abad pertengahan, sebab perkiraan modern berdasarkan pada kemampuan logistik dari luas lahan dan ketersediaan bahan makanan yang sanggup mendukung jumlah orang sebanyak itu. Davis dan Hanson menekankan bahwa kedua pasukan harus hidup dari hasil lahan tempat itu, tanpa memiliki sistem pemenuhan pangan (commissary system) yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sebuah pasukan perang. Sumber lain memperkirakan seperti ini: “Gore menempatkan pasukan Franks pada jumlah 15.000-20.000, walaupun perkiraan lainnya ada diantara 30.000 hingga 80.000. Terlepas dari perkiraan yang sangat bervariasi pada pasukan Saracen, dia menyatakan jumlahnya sekitar 20.000 – 25.000. Yang lainnya pun memperkirakan jumlah yang lebih banyak dari 80.000, dengan jumlah 50.000 sebagai perkiraan yang sangat luar biasa.

Kerugian-kerugian setelah pertempuran tidak bisa diketahui secara pasti, tetapi para penulis kronik kemudian mengklaim bahwa Charles Martel mengalami kerugian 1.500 personil sementara pasukan Umayyah mengalami kerugian lebih dari 375.000 prajurit. Namun, angka-angka kerugian yang sama ini dicatat dalam Liber Pontificalis untuk kemenangan Duke Odo dari Aquitaine pada Pertempuran Toulouse (721 M). Paul Sang Diaken melaporkan secara tepat dalam karyanya Historia Langobardorum (ditulis sekitar tahun 785 M) bahwa Liber Pontificalis menyebutkan angka-angka kerugian ini berhubungan dengan kemenangan Odo di Toulouse (walaupun dia mengklaim bahwa Charles Martel bertempur bersama Odo), tetapi penulis yang kemudian, kemungkinan “terpengaruh dengan Continuations of Fredegar, mengaitkan kerugian di pihak Saracen hanya kepada Charles Martel, dan pertempuran tempat mereka jatuh dengan tegas hanyalah Poitiers.” Vita pardulfi, ditulis pada pertengahan abad ke-8 M, melaporkan bahwa setelah pertempuran, pasukan Abdurrahman dibakar dan dijarah sepanjang perjalanan mereka melintasi Limousin dalam perjalanan kembali ke al Andalus, yang menyiratkan bahwa mereka tidak dihancurkan seperti apa yang diimajinasikan dalam Continuations of Fredegar.

Bangsa Moor

Pembebasan atas Hispania, dan kemudian Gaul, dipimpin oleh Dinasti Umayyah (Arab: Banu Umayyah, atau al Umawiyyun juga “Umawi”), dinasti Khalifah pertama pada Negara Islam setelah pemerintahan empat Khulafa Rasyidum (Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali) berakhir. Khilafah Umayyah, pada masa Perang Tours, kemungkinan adalah salah satu kekuatan militer unggul di dunia. Penaklukan besar Khilafah terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Pasukan Muslim merangsek ke timur melintasi Persia dan ke barat melintasi bagian Afrika Utara pada akhir abad ke-7 M.

Pada tahun 711-718 M, Thariq bin Ziyad memimpin pasukan Muslim menyeberangi Selat Gibraltar untuk menaklukkan Kerajaan Visigoth Hispania. Negara Islam di masa Bani Umayyah menjadi sebuah negara besar yang menguasai susunan rakyat yang berbeda-beda. Khilafah telah menghancurkan dua kekuatan militer utama dari masa lalu, Kekaisaran Sassan Persia, yang wilayahnya digabungkan secara menyeluruh, dan sebagian besar wilayah Kekaisaran Byzantium, termasuk Syria, Armenia, dan Afrika Utara, meskipun Leo dari Isauria membendung gelombang penaklukan itu ketika dia mengalahkan pasukan Umayyah pada Perang Akroinon (739 M), yang merupakan ekspedisi militer terakhir mereka di Anatolia.

Bangsa Franks

Bangsa Franks pada masa Charles Martel adalah kekuatan militer utama di Eropa Barat. Pada sebagian besar masa jabatannya sebagai komandan bangsa Franks, wilayahnya meliputi bagian utara dan timur Prancis (Austrasia, Neustria, dan Burgundia), sebagian besar wilayah barat Jerman, dan negeri-negeri rendahnya (Luxemburg, Belgia, dan Belanda). Wilayah bangsa Franks semakin berkembang sebagai kekuatan kekaisaran pertama di Eropa Barat sejak keruntuhan Romawi. Namun, terus-menerus terjadi peperangan melawan kekuatan luar seperti dari Saxon, Frisia, dan musuh-musuh lainnya seperti orang Basque-Aquitaine yang dipimpin Odo yang Agung (Prancis kuno: Eudes), Duke dari Aquitaine dan Vasconia.

Penaklukan Muslim Dari Hispania

Pasukan Umayyah di bawah komando al Samh bin Malik al Khawlani, gubernur jenderal al Andalus, menyerbu Septimania pada tahun 719 M, menyapu bersih Semenanjung Iberia. Al Samh membangun ibukota sejak tahun 720 M di Narbonne, bangsa Moor menyebutnya Arbūna. Dengan mengamankan Pelabuhan Narbonne, Umayyah dengan cepat menguasai kota-kota lainnya yang tidak melawan, seperti Alet, Beziers, Agde, Lodeve, Maguelonne, dan Nimes, yang masih dikuasi oleh bangsawan-bangsawan Visigothicnya.

Ekspedisi militer Umayyah memasuki Aquitaine mengalami kemunduran sementara pada Perang Toulouse (721 M). Duke Odo dari Aquitaine memecahkan pengepungan Toulouse, mengejutkan pasukan al Samh bin Malik. Al Samh bin Malik sendiri terluka parah. Kekalahan ini tidak menghentikan serbuan ke wilayah Romawi Gaul Kuno, pasukan bangsa Moor, yang memiliki markas yang baik di Narbonne dan disuplai dengan mudah dari laut, merangsek ke timur pada tahun 720 M, menembus hingga sejauh Autun di Burgundia pada tahun 725 M.

Terancam dari dua arah, oleh Umayyah di selatan dan bangsa Franks di utara, pada tahun 730 M Odo beraliansi dengan seorang komandan Berber, Utsman bin Naissa, yang disebut “Munuza” oleh orang Franks, wakil gubernur dari wilayah yang kemudian menjadi Catalonia. Untuk mengamankan aliansinya, Odo menikahkan Utsman dengan putrinya, Lampagie, dan penyerbuan bangsa Moor menyeberangi Pyrenees, perbatasan Odo di sebelah selatan, terhenti. Namun, pada tahun berikutnya, komandan Berber ini membunuh uskup Urgell, Nambaudus, dan memisahkan diri dari pemimpin Arabnya di Cordova. Abdurrahman kemudian mengirimkan sebuah ekspedisi untuk membersihkan pemberontakan ini dan mengarahkan perhatian selanjutnya melawan sekutu Utsman, Odo.

Duke Aquitaine Odo mengumpulkan pasukannya di Bordeaux, tetapi dikalahkan, dan Bordeaux dijarah. Selanjutnya di Pertempuran Sungai Garonne, Mozarabic Chornicle dari tahun 754 M berkomentar bahwa “Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak yang dibantai.” Mozarabic Chronicle tahun 754 M melanjutkan, “Menembus gunung, berderap melintasi tanah yang keras dan tinggi, menjarah jauh hingga ke negeri orang Franks, dan menghabisi semua dengan pedang, demikianlah saat Eudo turun berperang dengan mereka di Sungai Garonne, dia melarikan diri.”

Permohonan Odo Pada Bangsa Franks

Odo, meskipun menderita kekalahan, mengorganisasikan kembali pasukannya, memberikan peringatan pada pemimpin bangsa Franks tentang bahaya yang akan segera datang, menggedor dari jantung negerinya, dan memohon bantuan pada orang Franks, yang mana Charles Martel hanya mengabulkannya setelah Odo menyetujui untuk tunduk di bawah kekuasaan bangsa Franks.

Sepertinya Umayyah belum menyadari kekuatan sesungguhnya dari bangsa Franks. Pasukan Umayyah khususnya tidak terlalu memperhatikan kekuatan bangsa-bangsa Germanic, termasuk bangsa Franks, dan penulis kronik Arab pada zaman itu baru menyadari bangsa Franks sebagai sebuah kekuatan militer yang sedang tumbuh hanya setelah Perang Tours.

Lebih jauh lagi, sepertinya Umayyah tidak menelusuri hingga ke utara untuk melacak musuh-musuh potensial, jika mereka melakukannya, tentunya mereka akan mengetahui Charles Martel adalah kekuatan yang harus diperhitungkan, karena dominasinya yang terus tumbuh di Eropa sejak tahun 717 M: seharusnya ini menjadi peringatan nyata bagi Umayyah bahwa sebuah kekuatan nyata yang dipimpin oleh seorang jenderal yang sangat berbakat sedang bangkit dari debu-debu Kekaisaran Romawi Barat.

Gerak Maju Umayyah Menuju Loire

Pada tahun 732 M, pasukan Umayyah terus mendesak maju ke utara menuju Sungai Loire, melampauai jalur suplai mereka dan bagian lain pasukan mereka yang berjumlah lebih besar. Menghancurkan seluruh perlawanan pada wilayah Gaul itu, pasukan penyerang ini memisahkan diri menjadi beberapa bagian, sementara pasukan utamanya bergerak dengan lebih lambat.

Umayyah menunda serangan mereka pada akhir tahun itu kemungkinan karena banyak prajurit dan kuda amat membutuhkan hasil-hasil lahan saat mereka bergerak maju, sehingga mereka menunggu panen gandum dari area itu, dan kemudian hasil panennya ditumbuk (secara lambat menggunakan tangan) hingga mencapai jumlah yang cukup untuk disimpan. Jika para prajurit bisa memakan hewan ternak, kuda tidak bisa melakuannya dan hanya membutuhkan biji-bijian sebagai makanan.

Penjelasan tentang mengapa Odo dikalahkan dengan amat mudah di Bordeaux dan di Garonne setelah selama 11 tahun menang di Perang Toulouse sangatlah mudah. Di Toulouse, Odo mengatuh sebuah serangan mendadak menghadapi musuh yang terlalu percaya diri dan kurang persiapan, yang seluruh pertahanan dipersiapan untuk serangan ke bagian dalam, sementara dia menyerang dari luar. Pasukan Umayyah sebagian besar infanteri, dan kavaleri mereka tidak pernah mendapat kesempatan untuk dimobilisasi dan bertemu dengannya di medan perang. Seperti yang ditulis oleh Herman dari Carinthia, dalam salah satu terjemahannya dari sejarah al Andalus, Odo mengatur sebuah pengepungan melingkar yang sukses yang secara total mengejutkan musuhnya-dan hasilnya adalah pembantaian yang menghancurkan atas pasukan Muslim.

Di Bordeaux, dan juga di Garonne, pasukan Umayyah adalah kavaleri, bukan infanteri, dan tidak termakan serangan kejutan, dan diberi kesempatan untuk terjun ke pertempuran, yang membawa kehancuran pada pasukan Odo, sebagian besar mereka terbunuh dan hanya kerugian kecil saja yang diderita Muslim. Pasukan Odo, seperti kebanyakan pasukan Eropa di masa itu, kekurangan penyangga, sehingga tidak memiliki kavaleri berat. Sebenarnya keseluruhan pasukannya adalah infanteri. Kavaleri berat Umayyah menghancurkan pasukan infanteri Franks pada serangan pertama mereka, kemudian segera membantai mereka setelah mereka hancur dan melarikan diri.

Pasukan penyerang ini meneruskan penghancurannya pada bagian selatan Gaul. Motif yang memungkinkan, menurut lanjutan kedua dari Fredegar, adalah kekayaan Biara Saint Martin di Tours, biara paling prestisius dan paling suci di Eropa Barat pada masa itu. Saat mendengar ini, penguasa istana Austrasia, Charles Martel, mengumpulkan pasukannya dan bergerak ke selatan, menghindari Jalur Romawi Kuno dan berharap mengejutkan pasukan Muslim. Karena dia berniat menggunakan phalanx, amat penting untuk menentukan medan perang. Rencananya –menemukan dataran tinggi berhutan, mengatur formasi pasukannya dan memaksa pasukan Muslim untuk datang padanya- tergantung pada elemen kejutan. [translated from wikipedia.org by sayf muhammad isa]