HEKA


oleh Sayf Muhammad Isa
Episode 3-Ankh Dalam Api

https://aos.iacpublishinglabs.com/question/aq/700px-394px/physical-characteristics-egypt_9713c68fcb06b2c8.jpg?domain=cx.aos.ask.comLelaki berpakaian putih yang basah kuyup itu berdiri di hadapan perapian yang hangat dan terang, tepat di hadapan lelaki bertampang merengut. Sang Hekau tegak membelakangi tamunya. Jelas saja pakaian basah yang membalut tubuhnya mendaratkan dingin pada kulitnya, namun pancaran hangat dari perapian sedikit mengobati rasa dingin itu. Kedua tangannya yang kokoh terangkat pelan-pelan, tatapan matanya terpaku dengan khidmat kepada Patung Amun yang dipandangnya suci itu.

Berbagai tali dan serabut yang bergelantungan di langit-langit membuat suasana semakin seram. Lelaki bertampang merengut sama sekali tak tahu apa yang akan terjadi tak lama lagi. Simbol-simbol Heka dari akar, batang, dan dedaunan menguarkan kemisteriusan.

“Letakkan persembahannya,” kata Sang Hekau tanpa menoleh sedikit pun.

Lelaki bertampang merengut dengan tampang masih merengut, segera melaksanakan perintah Sang Hekau. Dia tidak punya pilihan lain. Dia segera bangkit dan meraih senampan sesajian, kemudian diletakkannya nampan yang penuh itu di atas lantai tanah, tepat di belakang Sang Hekau. Lelaki bertampang merengut duduk bersila di hadapan sesajian itu.

Heka bukan saja mengerikan dan aneh, tetapi juga menjijikkan. Sebuah nampan dari tanah liat berukuran sedang memuat benda-benda yang tidak masuk akal. Seekor kepala kambing tertata di sana dan ditata dengan amat anggun. Pada tepian kepala kambing itu, pasir dari gurun Mesir mengelilingi. Bukan cuma itu, di bagian depan moncong kambing yang malang itu ada bangkai kadal berwarna hitam pekat. Tak ada warna lain pada bangkai kadal itu. Di sekitarnya ditaburi bunga-bunga yang langka dan sulit ditemukan di Mesir, hingga memenuhi seluruh nampan.

Di dalam rumah yang diterangi cahaya remang itu memang sulit terlihat, tetapi ada beberapa benda kecil yang juga amat penting di atas nampan. Ada empat batang paku besi yang juga berwarna hitam tepat di bagian atas kepala kambing. Beberapa helai bunga menutupi batang-batang paku itu hingga keberadaannya makin tersamarkan.

Sang Hekau pun perlahan membalikkan tubuhnya menghadap sesajian itu, juga berhadapan dengan lelaki bertampang merengut. Kedua tangannya masih terangkat ke atas dan perlahan dia duduk bersila di situ, di depan sesajian dan tamunya. Saat dia telah benar-benar bersila, kedua tangannya turun perlahan dan diletakkannya di atas lututnya. Beberapa butir tetesan air masih jatuh dari ujung-ujung rambutnya yang panjang sebahu, perapian di belakang tubuhnya cukup menghangatkan.

Mata Sang Hekau menatap tajam kepada kepala kambing di hadapannya lalu meniup-niup pelan sambil merapalkan mantra. Dia mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dimengerti, membuat lelaki bertampang merengut semakin merengut.

“Sebutkan lagi namamu!” Perintah Sang Hekau.

“Ramzi Yassa!” Sahut si lelaki bertampang merengut. Wajahnya jadi sedikit lebih cerah ketika dia menyebutkan namanya.

“Nyatakan siapa musuhmu!”

“Abdemelek Acheri!”

“Nyatakan dosa-dosa musuhmu!”

“Dia menghinaku di depan orang banyak,” bola mata Ramzi seolah dibakar oleh dendam. Ingatannya menjalar, menapaki peristiwa kelam di masa lalu. “Kesalahanku tak seberapa, hanya tak sengaja menjatuhkan sebutir telur, tetapi dia menistakan aku di hadapan semua orang, dia menamparku hingga hidungku berdarah. Tubuhku diinjak-injak tanpa ampun, kepalaku dipijaknya hingga wajahku terbenam di pasir. Semua orang menertawakan aku. Abdemelek harus mendapat ganjarannya, dia harus mati dengan mengerikan.”

Mata hitam dan tajam sang Hekau menatap Ramzi dengan menyeramkan. Tiba-tiba kedua mata itu terbalik, menyisakan hanya bagian putihnya. Ramzi mengernyitkan alisnya dan hatinya diselimuti kengerian. Dia kembali bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Tubuh sang Hekau bergetar, tapi perlahan getaran-getaran itu semakin keras dan berubah menjadi guncangan. Ramzi kebingungan, dia tidak mengerti apa yang harus dia lakukan. Mata putih sang Hekau membelalak dan wajahnya menengadah pada langit malam. Mulutnya menganga lebar, mengeluarkan suara serak seperti lembu yang disembelih, sementara tubuhnya terus berguncang.

Tiba-tiba dia terdiam! Guncangan-guncangan itu berhenti. Kepala sang Hekau terkulai jatuh ke dadanya dengan lemas, tubuhnya membungkuk walau dia masih dalam posisi bersila. Ramzi tercengang, hampir-hampir dia kabur dari rumah itu karena ketakutan, dia sudah mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Tetapi dia urungkan niatnya ketika melihat gelora tubuh sang Hekau yang sudah mereda.

Pelan-pelan sang Hekau mengangkat wajahnya dan menegakkan kepalanya. Matanya yang tadinya sangat menyeramkan sudah kembali seperti semula, hitam. Dia memandang Ramzi dengan lebih lembut dan alis tebalnya berhenti berkerut. Lalu dengan penuh makna diapun menunduk, menatap sesajian yang mengerikan di hadapannya. Dia memberi tanda kepada Ramzi, untuk juga menatap senampan sesajian itu. Dengan anggun, tangan sang Hekau tergerak kepada sesajian itu, mengambil helaian-helaian mahkota bunga, dan meletakkannya di telapak tangannya.

Ramzi mengerti isyarat itu dan dia pun memandang dengan segan kepada nampan. Terungkaplah keanehan di sana, di atas kepala kambing yang tadinya terhampar empat batang paku hitam yang tajam, kini sudah tiada lagi. Paku-paku itu sudah menghilang.

“Amun telah mengabarkan kepadaku, Abdemelek Acheri sudah mati,” bisik sang Hekau sambil merentangkan kedua tangannya seolah-olah hendak memeluk seorang saudara. Sebaris senyum seram terhampar di wajahnya. “Perutnya terbelah, darahnya membuncah, apakah itu kurang mengerikan?”

Ramzi melongo menatap sang Hekau lalu mengangguk pelan, berbisik, “Dendamku sudah terbalas. Aku akan mengetahui apa yang terjadi padanya.”

Bersujudlah Ramzi kepada sang Hekau, seolah bersujud kepada Tuhan. Saat dia duduk kembali, dia berkata, “Aku bersyukur atas semua bantuan ini.”

Ramzi kembali duduk bersila sambil menghadap sang Hekau, saat itulah matanya menangkap suatu imaji yang membuat alisnya kembali mengernyit. Ada sebuah simbol aneh yang terpahat di dada sang Hekau. Simbol itu terlihat samar-samar di balik jubah putihnya yang basah kuyup, menyembul sedikit ke permukaan. Ramzi tahu betul simbol macam apa itu, dan tidak seorang pun di Mesir yang memiliki simbol itu kecuali dia seorang Menkheperesseneb. Simbol itu adalah Ankh.

Bersambung…

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.