Akal Bulus Elagabalus

Patung Elagabalus, Kaisar Romawi.

Periode kemunduran Kekaisaran Romawi, dalam sejarah Islam, termasuk kepada masa fatrah. Masa fatrah ini adalah masa ketika tidak ada syariat langit yang turun ke bumi. Periode ini terjadi sejak naiknya Nabi Isa ‘alaihissalam ke langit hingga diutusnya Rasulullah Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam. Pada periode inilah umat manusia hidup dalam kesesatan yang berlipat ganda. Kalaupun ada manusia yang saleh, mereka hanya mengikuti syariat Rasul terdahulu, yakni Nabi Isa dan Nabi Musa. Yuk kita selami gimana sesatnya seorang kaisar Romawi yang hidup masa ini, namanya Elagabalus.

Kekaisaran Romawi nggak pernah sepi dari perebutan kekuasaan, pembunuhan politik, kelicikan, dan perilaku-perilakuk kotor. Kayaknya emang di sanalah sarang dari segala kemaksiatan. Pada sekitar tahun 200 Masehi, Romawi dipimpin oleh seorang kaisar yang bernama Macrinus. Kaisar Macrinus sebenarnya seorang politisi yang kuat. Para sejarawan memasukkan Macrinus ke dalam kategori ‘Kaisar Barak’, karena Macrinus lebih sering berada di medan perang daripada berada di Roma sebagai ibukota negara. Parahnya, orang-orang yang ditugaskan untuk menggantikan Macrinus di ibukota nggak becus saat melaksanakan tugas-tugasnya. Karenanya rakyat dan para bangsawan menjadi resah dan gelisah.

Di medan perang, Macrinus dan pasukannya harus menghadapi keganasan orang-orang Parthia. Parahnya, Romawi kalah, dan ini bikin malu. Di ibukota, keadaan pun memanas. Sebuah badai yang ganas melanda Roma. Hujan dan angin silih berganti dan petir menyambar-nyambar mengerikan. Petir itu menyebabkan kebakaran di beberapa tempat, hingga Roma harus menghadapi bencana dari air dan api secara hampir bersamaan. Setelah semuanya mereda, rakyat menyalahkan Macrinus atas semua bencana itu. Mereka muak!

Continue reading Akal Bulus Elagabalus

Juana Si Gila

Juana si Gila, putri dari Isabella de Castille dan Ferdinand de Aragon

Dahulu Andalusia (sekarang Spanyol dan Portugal) pernah menjadi bagian dari wilayah Islam untuk waktu yang sangat lama. Ketika Andalusia berada di bawah kekuasaan Islam, ilmu pengetahuan berkembang pesat, masyarakatnya juga sejahtera. Bahkan kesejahteraan itu bukan cuman buat orang Islam doang, tetapi juga bagi nonmuslim yang menjadi warga negara dari negara Islam. Bahkan Anne Maria Menocal, seorang cendekiawan barat, mengatakan bahwa “Andalusia adalah kota tiga agama”. Di sanalah umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup secara damai dan sejahtera. Penuh toleransi dan tenggangrasa. Semuanya karena pemerintahan Islam menjalankan hukum Islam dengan baik, sehingga terwujudlah rahmat bagi seluruh alam.

Tetapi teror pun dimulai ketika negara api menyerang, eh maksudnya ketika orang kafir menyerang. Kaum Kristen yang dipimpin oleh Ratu Isabella dan Raja Ferdinand berhasil mengalahkan pemerintahan Islam, kemudian menggelar mahkamah inkuisisi yang dimulai pada 1478. Mahkamah inkuisisi inilah yang kemudian memakan banyak korban. Dengan alasan hendak menjaga kemurnian agama Katolik, mereka memaksa semua orang yang berbeda dengan mereka untuk mengganti keimanan. Korbannya adalah kaum Muslim dan kaum Yahudi. Mereka yang menolak maka diusir dari Andalusia, atau dieksekusi. Maka dimulailah teror, penyiksaan, dan pembantaian besar-besaran. Populasi umat Islam yang awalnya sangat banyak di Andalusia, berkurang drastis. Mereka dibunuh atau hengkang dari Andalusia dengan perahu-perahu kecil yang tidak seberapa, dan banyak dari mereka yang tewas di tengah lautan ketika hendak menyeberang ke wilayah Islam di Afrika Utara.

Tetapi bukan kebengisan Ratu Isabella dan Raja Ferdinand yang bakal dikisahkan kali ini. Kita bakal berbagi cerita tentang keturunan raja dan ratu yang bengis ini, yang sebagian besar dari mereka menjadi gila. Salah satunya adalah putri mereka sendiri, namanya Juana.

Continue reading Juana Si Gila

Listrik Yang Meneror

Pesan kematian sang kakek

Ada rasa prihatin yang besar sekali di dalam hati saya. Seorang kakek di Grobogan gantung diri, dan dari inskripsi yang ditinggalkannya, terungkap bahwa aksi nekatnya itu karena sudah tidak sanggup lagi bayar listrik. Sebenernya saya nggak ngerti bahasa Jawa, tapi kira-kira inilah pesan yang ditorehkan sang kakek yang malang itu di dinding, ”sing rukun ojo do tukaran. Bapak wes ora kuat nyambut gawe. Aku wes ora bisa bayar listrik. Yen bayar listrik separo edang. Ambenku malah parah”. Ini berita lengkapnya http://www.grobogantoday.com/2017/02/sebelum-gantung-diriini-pesan-untuk.html .

Tarif listrik yang memprihatinkan

Sekarang ini tarif listrik memang gila-gilaan. Naiknya berkali-kali lipat, dan penaikannya tidak terdeteksi. Tahu-tahu naik! Saya masih ngontrak, dan model listrik yang dipakai adalah token. Kenaikan tarif listrik terasa sekali ketika meteran listrik sudah berbunyi. Perasaan belum lama ini baru ngisi token listrik, tapi kok sekarang sudah habis lagi?! Setelah dicek, ternyata jumlah kwh yang didapat makin dikurangi. Kira-kira seperti gambar disamping ini.

Naiknya tarif listrik berkali-kali dengan persentase yang fantastis ini pasti menimbulkan kekecewaan dan pertanyaan di tengah-tengah rakyat. Apa sebabnya semua ini bisa terjadi? Kebanyakan rakyat, termasuk saya, tidak mendapatkan jawabannya. Apalagi penaikan tarifnya pun terkesan dilakukan dengan diam-diam, dengan kata lain, dilakukan dengan seenaknya. Padahal, bukankah listrik itu adalah milik rakyat, yang sudah seharusnya dikembalikan kepada rakyat? Parahnya, sebagian orang sudah benar-benar tidak sanggup membayar listrik, dan lebih memilih mati gantung diri. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana pemerintah harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah tentang semua ini!

 

HEKA

Episode 12 – Ankh Dalam Jatidiri (Tamat)
Sayf Muhammad Isa

Sebaris senyum yang indah dikulum oleh Tuthre Hasse, seolah kematian itu begitu manis, dan tak ada rasa nyeri sama sekali. Setidaknya itulah yang ada di kepala Bakhoum Fanoush. Dia tidak pernah menyaksikan itu di sepanjang kehidupannya yang kelam. Semua Hekau yang mati pasti mati dengan wajah masam dan seolah menanggung penderitaan yang tak terperi. Sekarang terhampar di hadapannya sebuah kematian yang mulia. Malam itu menjadi peristiwa paling mendebarkan, sekaligus menjadi peristiwa paling manis dalam hidupnya.

Untuk yang terakhir kali, Bakhoum memeluk jasad Tuthre, kemudian dibaringkannya pelan-pelan. Kerusuhan masih menggelora, dan Sang Menkheperesseneb mesti melanjutkan pekerjaannya melindungi Musa dan Harun. Dia mengerti bahwa Tuhan pasti mengutus barangsiapa yang Dia kehendaki, dan Musa dan Harun adalah dua orang yang Dia kehendaki. Bakhoum baru saja mengenal Tuhan, dan dia amat merindukan-Nya, dia pun mengerti bahwa melalui perantaraan Musa dan Harun, dia bisa mengenal Tuhan lebih dalam. Maka dia harus melindungi Musa dan Harun untuk segera melarikan diri dari tempat terkutuk itu. Kalau dia mati, maka dia mati dalam upaya melindungi utusan Tuhan. Kalau dia masih tetap hidup, maka dia bertekad untuk mengabdikan hidupnya demi membela utusan dan ajaran Tuhan.

Continue reading HEKA

HEKA

Episode 11 – Ankh Dalam Perlawanan
Sayf Muhammad Isa

Beberapa detik lamanya senyap merebak di seluruh tempat. Setiap sudut stadion itu terpana menyaksikan segala hal yang terjadi di tengah-tengah, di arena. Tuthre Hasse, sang Hekau tua mantan Menkheperesseneb, berlutut dengan penuh kepasrahan dan ketundukan di tengah-tengah arena. Raut wajahnya menunjukkan kepedihan yang sangat, yang seolah dipendamnya sekian lama, menunjukkan luka hatinya, mengapa baru sekarang dia menemukan Tuhan yang sejati. Semuanya terpaku dan terdiam.

Ramesses yang duduk di balkon Fir’aun sudah tak bisa duduk lagi. Matanya membulat dan membelalak lebar. Dia berlari ke tepian balkon seakan hendak melemparkan tubuhnya sendiri ke bawah, sebab betapa mengejutkannya segala hal yang dilihatnya di hadapannya. Hamman pun tak kalah terlonjak. Dia berdiri tepat di sisi Ramesses dan menghamburkan sumpah serapah yang membuat Ramesses menamparnya karena geram. Hamman terhempas di pagar balkon sambil mengusap-usap pipinya yang memerah, dan terlihat sekali jadi memerah, walaupun kulitnya gelap.

Semua penonton dan prajurit pun terdiam, seakan mereka semua berubah menjadi patung-patung batu yang hina karena kekafiran. Mereka benar-benar tidak menyangka, seorang Hekau tua yang pernah menjadi Hekau terkuat bisa melakukan semua itu, berlutut di hadapan Musa dan Harun, kemudian menyatakan di hadapan orang banyak bahwa dia beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun. Sebuah perkataan yang amat besar dan berat, yang sanggup mengantarkan pengucapnya pada kematian.

Continue reading HEKA

HEKA

Episode 10 – Ankh Dalam Duel
Sayf Muhammad Isa

“Lihatlah bintang-bintang itu, Menkheperesseneb!”

Bakhoum Fanoush, lelaki yang bergelar Menkheperesseneb itu, diam saja. Dia tetap saja menunduk kepada lantai dan tak berkata apa-apa. Di sisinya tegaklah seorang penyihir tua, namanya Tuthre Hasse, dan dia sedang menengadah mengagumi bintang-bintang.

“Ini adalah malam Hari Raya Sed, dan malam ini bintang-bintang bertaburan begitu indahnya,” kata Tuthre.

“Apa yang sebenarnya hendak kau katakan, Tuthre?” Akhirnya Bakhoum menyahut juga, tetapi pandangannya tetap tertuju kepada lantai.

Tuthre menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan tenang. Dia memandang ke sekelilingnya, kepada orang-orang yang duduk di bangku-bangku stadion yang melingkar itu. Terdengarlah gumaman-gumaman tertahan, dan pembicaraan-pembicaraan di kejauhan. Bakhoum dan Tuthre berada pada sebuah arena di tengah-tengah stadion yang amat luas. Pada balkon utama, Ramesses sedang duduk manis dan Hamman terlihat pula.

Bukan hanya ada Bakhoum dan Tuthre di tengah-tengah stadion, para ahli Heka telah berjajar di belakang mereka, ratusan jumlahnya. Mereka berada pada salah satu sisi arena, sementara sisi arena lainnya dibiarkan kosong, seolah sudah orang yang sedang mereka tunggu untuk menempatinya.

“Indah sekali bintang-bintang itu,” lagi-lagi Tuthre bergumam.

“Sebenarnya apa yang sedang kau bicarakan?” Kali ini Bakhoum menoleh kepada Tuthre. “Itu cuma bintang-bintang, apa yang kau harapkan darinya?”

“Ada beberapa pertanyaan yang seumur hidupku belum pernah terjawab. Bahkan Putra Anubis pun tidak sanggup menjawabnya.”

“Pertanyaan macam apa itu?”

“Lihatlah bintang-bintang itu, Bakhoum, dari mana mereka berasal? Siapakah bintang-bintang itu sebenarnya? Apakah benar mereka roh orang-orang yang sudah mati? Mengapa mereka bercahaya? Dari mana datangnya cahaya yang indah-indah itu?”

“Apa pentingnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu?” Kata Bakhoum, tetap apatis.

Ada sebuah perasaan yang aneh ketika Tuthre menepuk bahu Bakhoum. Entah kenapa hal itu terjadi, padahal seumur hidupnya, Tuthre tidak pernah menepuk bahu Bakhoum, walaupun mereka menghabiskan waktu bersama selama bertahun-tahun sebagai guru dan murid.

“Mungkin saja, dengan mengetahui jawabannya, kita akan mengetahui pula hakikat hidup ini.” Kata Tuthre. “Aku percaya, di sanalah kedamaian sejati, Bakhoum, kedamaian sejati yang tidak pernah aku temukan dari Heka dan dari Putra Anubis.”

Tiba-tiba sorak-sorai pecah di seluruh stadion seiring dengan berdentumnya genderang perang dengan gegap gempita. Semua orang berdiri dan berteriak riuh-rendah. Namun teriakan-teriakan itu berisi cemoohan dan umpatan. Sebab genderang perang itu ditabuh untuk menyambut hadirnya orang yang sedang mereka tunggu-tunggu, Musa.

Sensasi ketegangan menuncak di dada Bakhoum. Dia menatap ke salah satu titik di sisi stadion, kepada sebuah gerbang besar yang gelap dan hitam. Semua mata pun tertuju kepada gerbang itu. Mata Ramesses bahkan membelalak dan melotot, seolah biji matanya hendak melompat keluar.

Sedetik kemudian gerbang besar itu membuka secara perlahan. Terlihatlah barisan-barisan prajurit Mesir yang bersenjatakan tombak di tangan kanan dan dilengkapi dengan perisai di tangan kiri. Mereka berbaris dan berjalan dengan rapi dan seragam, khas angkatan perang. Di tengah-tengah jajaran prajurit Mesir itu, ada dua orang lelaki yang amat sederhana namun melangkah dengan penuh kemuliaan dan kehormatan. Mereka adalah Musa, dan adiknya, Harun. Kini semua pandangan mata tertuju kepada mereka.

Para prajurit yang masuk segera menyebar di sekitar arena. Penjagaan yang ada begitu ketat! Prajurit-prajurit berkeliaran di semua pintu masuk, sampai-sampai hampir mustahil ada orang yang bisa kabur tanpa ketahuan. Musa dan Harun berjalan bersisian menuju arena, di tengah-tengah sorak-sorai orang-orang di stadion. Sayangnya, sorak-sorai itu adalah sorak-sorai penghinaan. Tetapi Musa dan Harun seolah dikelilingi aura kemuliaan yang aneh, yang dengan gagah menangkis semua celaan dan tuduhan, padahal mereka belum melakukan apa-apa. Tegaklah Musa dan Harun pada salah satu sisi arena yang masih kosong, berhadapan dengan Bakhoum dan ratusan Hekau lainnya di sisi arena yang lain. Dua orang, melawan ratusan orang, sebuah pertarungan yang sangat tidak adil.

Ramesses terlihat tersenyum lebar dan bahkan sampai tertawa terpingkal-pingkal di balkon kehormatan. Dia girang sekali menyaksikan Musa dan Harun yang akan segera habis dikeroyok oleh para Hekau. Dia menyangka bahwa Musa dan Harun tidak akan memiliki kesempatan lagi.

Alis Bakhoum mengernyit ketika menatap Musa. Dia sadar bahwa memang ada wibawa yang bersar terkandung di dalam diri Musa. Kulit Musa cokelat kemerah-merahan. Rambut, kumis, dan janggutnya hitam pekat, dan matanya yang tajam semakin membuatnya dihormati. Sebilah tongkat kayu yang panjang tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung bajunya yang sederhana dan panjang hingga ke betis melambai ditiup angin malam yang pelan. Musa mengenakan sepasang terompah dari daun papirus.

Harun mirip dengan saudaranya, hanya saja wajahnya terlihat lebih sendu, dan tubuhnya lebih pendek daripada saudaranya. Dia memandang berkeliling, menatap orang-orang Mesir yang ribut sekali di tempat duduk mereka. Tetapi tiba-tiba keheningan merajalela ketika Menkheperesseneb mengangkat tangan kanannya.

“Namaku Bakhoum Fanoush. Aku adalah Menkheperesseneb, Hekau terkuat di negeri ini,” kata Bakhoum. “Ketahuilah, Musa, bahwa malam ini kau akan menyesal.”

Musa pun mengangkat tongkatnya dan berseru. “Wahai para Hekau, janganlah menyekutukan Allah. Lepaskanlah semua sihir dan persahabatan dengan setan yang ada pada diri kalian. Jangan meminta bantuan kepada setan, karena mereka sangatlah lemah. Mintalah pertolongan kepada Allah saja. Dia adalah pencipta langit dan bumi, pencipta bintang, bulan, dan matahari. Dialah satu-satunya Tuhan yang menguasai alam semesta ini, tiada sekutu bagi-Nya. Allah telah mengutus aku dan saudaraku ini untuk menyampaikan kabar gembira kepada kalian, jika kalian sudi berserah diri kepadanya dan melepaskan seluruh Heka.”

Tuthre terlihat gemetar dan menatap Musa dengan penuh makna. Terlihat ada gejolak besar di dalam batinnya. Tetapi Bakhoum masih sesumbar, dan hawa nafsunya itu memaksanya berkata dusta. “Kau sendiri ahli Heka. Simpanlah nasihat itu bagi dirimu sendiri. Lebih baik kita segera mengadu kekuatan, agar semua orang mengetahui siapa yang lebih kuat.”

“Kami tidak membawa nasihat kosong. Allah memberi ilmu kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Karena itu ikutilah seruanku ini. Kembalilah kepada Allah Tuhan seru sekalian alam, sebelum kau menyesal ketika nyawa hendak keluar dari badan.”

Bakhoum sudah tidak peduli. Dia mengangkat kedua belah tangannya, dan tindakan itu diikuti oleh semua Hekau di belakangnya. Terdengarlah suara gumaman tak jelas yang keluar dari mulut para Hekau itu. Mereka sedang merapalkan mantra. Sedetik kemudian beterbanganlah tali dan serabut-serabut di udara. Semuanya melesat ke arah Musa dan Harun, tali-temali itu terhempas di tengah-tengah arena. Tiba-tiba semua tali-temali itu berubah menjadi ular berbisa yang ganas.

Suasana stadion semakin tegang. Semua suara sorak-sorai seolah mengendap. Semuanya diam dalam keadaan terbelalak. Seluruh tatapan mata terarah ke tengah-tengah arena. Kengerian merasuk ke dalam jiwa mereka. Tetapi Musa dan Harun terlihat tenang. Mereka yakin bahwa Allah pasti akan melindungi mereka dari orang-orang yang kafir itu. Ular-ular berbisa itu merayap dengan cepat kepada Musa dan Harun. Dengan ganas mereka mendesis-desis dan menjulurkan lidah mereka yang cepat. Musa terlihat waspada dengan tongkat kayu di tangan kanannya.

Dengan cepat Musa mengangkat tongkat itu dan melemparkannya ke tengah-tengah arena. Secepat kilat tongkat kayu itu berubah menjadi ular yang sangat besar, jauh lebih besar dari semua ular yang dilemparkan para Hekau. Ular besar yang berwarna cokelat, sewarna dengan tongkat Musa, mengamuk dan mencerai-beraikan semua ular sihir itu. Hampir tak bersisa, ular Musa memakan hampir semua ular Heka itu, dan sisanya kembali terhempas sebagaimana asalnya, tali temali.

Para Hekau yang jumlahnya ratusan orang itu seolah tak ada artinya. Mereka bergidig ngeri melihat ular besar di tengah-tengah arena yang telah memakan ular-ular sihir mereka. Mereka hendak berbalik dan kabur, tetapi para prajurit telah bersiaga dan tidak mengizinkan siapa pun hengkang dari arena. Tombak-tombak dan pedang teracung, Ramesses memerintahkan prajuritnya untuk menebas siapa pun yang mencoba keluar dari arena.

Baru kali ini terlihat ada kengerian merasuk di mata Bakhoum Fanoush, sang Menkheperesseneb. Dia menjerit sekuat-kuatnya dan berusaha melarikan ketika ular Musa hendak menyambar dan melumatnya. Tetapi peristiwa itu belumlah terjadi, sebab ular besar itu berbalik, dan di hadapan Musa, dia kembali berubah menjadi tongkat. Awan bergumpal-gumpal tiba-tiba hadir di langit, dan suasana menjadi gelap.

Musa mengacungkan tangan kanannya dan membuka telapak tangannya. Cahaya putih yang amat terang kemudian terpancar dari tangan kanannya, menerangi segala arah. Musa kembali berseru. “JANGANLAH KALIAN MENYEKUTUKAN ALLAH! BERIMANLAH HANYA KEPADA ALLAH, TUHAN SERU SEKALIAN ALAM.”

Sebuah peristiwa yang tidak pernah terduga pun terjadi. Tuthre Hasse, si Hekau tua mantan Menkheperesseneb, tersungkur dan berlutut sambil menangis, kemudian bersujud. Suaranya yang parau menyayat hati. “Aku beriman kepada Allah Tuhannya Musa…!!! Aku beriman kepada Tuhannya Musa… Aku beriman kepada Dia!!!”

Bersambung.

HEKA

Episode 9 – Ankh Dalam Raga
Sayf Muhammad Isa

Desir angin menyapu balok-balok tebal piramida Mesir yang kokoh dan angkuh. Bangunan itu menikmati balutan selendang mistis yang halus, tetapi kuat. Harta-harta para Firaun bertumpuk-tumpuk di dalamnya, seakan mengabarkan kepada dunia bahwa merekalah penguasa bumi dan langit. Persangkaan membubung tinggi, seakan harta-harta itu akan mensejahterakan mereka di negeri akhirat. Dan persangkaan akan tetap jadi persangkaan, selama tidak ada kabar dari langit yang membenarkannya.

Dalam suasana itu pulalah Ramesses berdiri di balkon istananya yang megah di Thebes. Setelah perjamuan makan yang suram bagi Menkheperesseneb, Bakhoum Fanoush, mereka kembali menatap langit malam yang suram, dan merasa bahwa mereka akan hidup selama-lamanya. Namun ada seseorang, yang membayangi semua impian mereka tentang keagungan dan keabadian. Dia adalah Musa.

“Seperti apa Musa?” Suara Bakhoum suram dan dalam. Gelap seperti malam. Pandangan matanya tetap ke depan dan kemuraman wajahnya tak teralihkan. Dia berdiri tegak di tepian balkon.

Ramesses berdiri di sisi Bakhoum namun lebih santai. Dia bertelekan kepada kedua belah tangannya yang mencengkeram pagar balkon dengan kuat. Sambil menikmati semilir angin, Ramesses menoleh kepada Bakhoum.

“Aku merasa apa yang diperlihatkan Musa bukanlah Heka. Dia sepertinya memperlihatkan sesuatu yang lain, yang lebih hebat daripada Heka.”

Continue reading HEKA

HEKA

Episode 8 – Ankh Dalam Mantra
Sayf Muhammad Isa

Mata Ramesses menatap kosong kepada wajah yang kelam itu, wajah Bakhoum Fanoush. Selama beberapa detik mereka hanya saling menatap dan diam. Segala kenangan pahit di masa lalu seolah berputar di bola mata mereka, dan tidak menyisakan apa-apa melainkan kebencian. Tetapi malam itu adalah malam yang baru, telah muncul musuh bersama yang sangat kuat, dan kenyataan itu membuat mereka, mau tidak mau, bersatu kembali. Segala dendam dan kebencian di dalam hati mereka mesti disingkirkan, dan dengan harmonis, mereka mesti melangkah seiring sejalan. Jika hal itu tidak terjadi, maka pastilah Musa akan menang, dan itu artinya keruntuhan bagi kekuasaan seorang Fir’aun. Ramesses ngeri sekali membayangkan hal itu.

Ramesses pun melangkah pelan dengan tetap memandang pada wajah Menkheperesseneb. Dengan ringan dia memeluk tubuh Bakhoum, erat, tetapi Bakhoum tetap diam seolah membatu. Seolah dirinya hanyalah wadah yang kosong dan tidak bernyawa.

Haman melirik kepada Bakhoum dan dia merasa tidak aneh lagi dengan keadaan itu. sepanjang jalan dia menyaksikan fenomena itu terjadi pada diri sang Menkheperesseneb.

Continue reading HEKA

HEKA

Episode 7 – Ankh Yang Retak
Sayf Muhammad Isa

Belum pernah terjadi, Thebes didatangi oleh para Hekau sebanyak itu. Alis Bakhoum mengernyit saat menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Dia dan rombongannya tiba juga di Thebes, ibukota negeri Mesir, tepat tiga hari sebelum Hari Raya Sed. Dia terpana dengan para Hekau yang berkeliaran di jalan-jalan. Ada yang membawa ular berbisa; ada yang mengalungkan daun telinga di lehernya; ada juga yang berkulit hitam legam tetapi bersarung sutra putih; Ada juga yang lehernya panjang dan kurus, tetapi leher ringkih itu digelantungi banyak sekali kalung manik-manik. Bermacam ragam penampilan para Hekau itu.

Setiap Hekau yang melihat rombongan Bakhoum melintas, maka mereka akan berlutut dengan penuh pemujaan. Mereka paham seberapa mulianya derajat Hekau yang ada di hadapan mereka, walaupun hampir semuanya belum pernah melihat Bakhoum sebelumnya. Entah bagaimana caranya, seorang Menkheperesseneb pasti akan langsung dikenali seorang Hekau, walau mereka belum pernah bertemu. Maka, pada hari itu, jalan-jalan di Thebes dipenuhi oleh para Hekau dari penjuru Mesir, dan di jalan-jalan yang dilintasi oleh rombongan Bakhoum, para ahli sihir itu berlutut di pinggir-pinggir jalan.

Continue reading HEKA

HEKA

Episode 6 – Ankh Dalam Heka
Sayf Muhammad Isa

“Dia utusan!”

Seolah dilahirkan oleh malam, sosok hitam itu berdiri di hadapan semua orang dengan pongah. Tak ada siapa pun yang mengenalnya, kecuali Menkheperesseneb. Rasa heran bersemayam di dalam hati, namun mulut tetap terkunci ketika peristiwa yang mistis itu terjadi: Bakhoum berhadapan dengan sosok bertudung dan berjubah hitam itu, yang kehadirannya samar-samar di tengah kegelapan malam. Dan seolah sudah saling mengenal, mereka membicarakan sesuatu yang tiada dimengerti seorang pun.

Bakhoum mengernyitkan alisnya yang tebal, yang hampir bersambung di atas hidungnya. Hal terakhir yang disampaikan si Hitam itu tidak dia mengerti.

“Utusan? Utusan siapa?”

“Utusan dari Dia yang memiliki kekuatan amat besar, dan kau takkan sanggup menandinginya.”

Bakhoum terkekeh. “Kita tidak akan tahu kalau belum dicoba.”

“Jangan main-main dengan Musa. Kalau kau menghadapinya, maka kehancuran bukan hanya milikmu, tetapi juga aku, dan kita semua.”

“Menyingkirlah!” Tatapan tajam Bakhoum seolah menembus jubah hitam itu.

“Aku berlepas diri darimu, Menkheperesseneb!”

Mundurlah si Hitam, selangkah demi selangkah, semua orang memerhatikan gerakannya. Tak lama kemudian kegelapan malam mengelilinginya lalu dia tak kelihatan lagi. Bakhoum berbalik perlahan menuju kudanya, mendaki pelana dan duduk di atas punggung kuda. Dia menoleh kepada Haman yang menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Kita akan berbelok sebentar di Hierakonpolis,” kata Bakhoum.

“Untuk apa, Yang Mulia,” sahut Haman agak gugup. “Kita harus segera tiba di Thebes sebelum Hari Raya Sed. Singgah di Hierakonpolis akan menunda kita cukup lama.”

“Aku harus menjemput seseorang, dan hal ini pun berhubungan erat dengan kemenangan kita melawan Musa. Jika kita mempercepat langkah kita, maka kita tidak akan terlambat! Aku yakin itu.”

Haman tak bisa bicara apa-apa lagi jika Menkheperesseneb sudah memutuskan sesuatu. Dia menoleh ke belakang, kepada seluruh pasukannya yang menunggu dengan jantung berdegup kencang setelah terjadinya peristiwa misterius tadi. Diayunkannya tangan kanannya untuk memerintahkan mereka segera bergerak. Rombongan pun melanjutkan perjalanan, walau malam semakin kelam.

“Mohon ampun, Yang Mulia, siapakah orang berpakaian hitam tadi?” Dengan berat, akhirnya Haman bertanya juga.

Pandangan Bakhoum tetap terarah ke depan, sementara tubuhnya naik-turun seiring gerakan hewan tunggangannya.

“Putra Anubis,” sahutnya pendek.

000

“Mohon ampun, Yang Mulia, apakah tujuan kita sebenarnya ke Hierakonpolis?” Haman terlihat segan dan gugup setiap kali mengajukan pertanyaan kepada Bakhoum. Seakan dia takut bahwa pertanyaan itu akan menyinggung sang Menkheperesseneb, dan kalau hal itu sudah terjadi, dikutuklah dia menjadi kodok atau kutu.

“Kita akan menemui seseorang,” kata Bakhoum, seperti biasa, tatapan matanya tetap lurus ke depan, sementara kedua tangannya menggenggam tali kekang kuda. Dia memang benar-benar jarang bicara. Jika tidak ada yang bertanya lebih dulu, maka dia tidak akan bicara seharian. Memang menyebalkan sekali dekat-dekat dengan orang seperti ini.

Tetapi itulah yang dirasakan Haman. Mau tak mau, dia harus selalu menyertai di sekitar Bakhoum, dan sikap Bakhoum yang kaku dan diam benar-benar menyiksanya. Di sisi lain, dia harus benar-benar hati-hati jika hendak mengajukan pertanyaan.

“Siapakah orang yang hendak kita temui ini, Yang Mulia?” Tanya Haman lagi.

Bakhoum tak langsung menjawabnya, tatapannya tetap lurus ke depan dan matanya tidak berkedip. Haman melirik ke wajah Bakhoum, dan berbagai dugaan berseliweran di hatinya. Dia merasa bahwa sang Menkheperesseneb sedang berada dalam keadaan trans karena tubuhnya diam dan kaku.

“Yang Mulia…!” Panggil Haman. “Yang Mulia!”

Tiba-tiba Bakhoum menoleh kepada Haman. “Kita akan ke tempat Tuthre Hasse.”

“Siapakah dia, Yang Mulia?” Rasa ingin tahu di hati Haman memang besar.

“Dia Menkheperesseneb sebelum aku.”

Ada rasa terkejut yang sunyi di hati Haman saat mendapati kata-kata Bakhoum barusan. Di dunia ini hanya boleh ada satu orang saja Menkheperesseneb, tidak boleh ada dua orang. Setiap Menkheperesseneb mesti mengangkat seorang murid dan harus benar-benar mengajarinya Heka, untuk pada akhirnya mereka berdua akan mengadu kemampuan Heka dan si murid harus mengalahkan gurunya. Dan taruhannya adalah nyawa.

“Berarti Menkheperesseneb yang sebelumnya belum mati, Yang Mulia?”

“Aku mengasihaninya,” sahut Bakhoum. “Aku tahu dia berjasa besar dalam hidupku, dan kemampuannya cukup hebat, dan aku tahu suatu saat dia pasti ada gunanya. Seperti sekarang ini!”

“Berarti kita menemuinya untuk memintanya bertempur bersama melawan Musa?”

“Itulah rencananya.”

“Apakah Musa sehebat itu, hingga harus dihadapi oleh dua orang Menkheperesseneb?”

“Sudah kubilang ini untuk jaga-jaga. Lebih baik kita benar-benar mempersiapkan diri daripada bertemu dengan kehancuran kita.”

“Itu jugalah yang dikatakan oleh orang berbaju hitam malam lalu,” ada serat ketakutan di dalam suara Haman. “Dia memperingatkan kita akan bahaya Musa.”

“Tidak ada Hekau yang lebih kuat dari aku di negeri Mesir ini,” mendeliklah Bakhoum kepada Haman. “Jangan kau ragukan itu! Orang-orang yang ragu akan mendapatkan ganjarannya.”

“Ampuni aku, Yang Mulia!” Haman menunduk ketakutan.

000

Malam kembali meremang ketika rombongan prajurit Mesir itu berada di hadapan sebuah gubug di Hierakonpolis. Seluruh prajurit mengepung gubug itu, sementara Haman dan Bakhoum berdiri tegak di depan pintunya yang sederhana. Pintu-pintu perlahan-lahan membuka dan menyembullah kepala seorang lelaki tua dari sela-selanya.

Lelaki tua itu melangkah keluar dan berdiri dengan gagah, walaupun bungkuk, di hadapan para pria yang tegap itu. Kepalanya botak dan keriput, dan keriput di wajahnya tak kalah dalamnya. Alis, kumis, dan janggutnya sudah memutih semua, dan dia terlihat ringkih sekali. Namun raut wajahnya sangat angkuh, seolah menyatakan kepada semua agar jangan sembarangan terhadapnya.

“Kalian semua jangan mengasihani orang tua ini,” kata Bakhoum tiba-tiba sambil menatap tajam ke arah lelaki tua itu. “Dia tidak selemah kelihatannya. Dia adalah ular berbisa yang licik dan penuh muslihat. Sudah banyak orang yang mati di bawah mantranya.”

“Apa yang kau inginkan, Bakhoum?” Lelaki tua itu akhirnya buka suara.

“Tentu saja aku datang untuk sesuatu yang amat kau sukai, Tuthre,” sahut Bakhoum.

“Kau sendiri tahu, aku sudah pensiun,” Tuthre menggeleng pelan.

“Selama dia masih hidup, tak ada kata pensiun bagi Menkheperesseneb.”

“Aku tidak pernah lagi melakukan Heka.”

“Jangan berdusta padaku.”

Hubungan guru dan murid itu sepertinya tidak akur. Haman bergantian menatap Bakhoum dan Tuthre yang saling melemparkan perkataan. Para prajurit tetap siaga di sekeliling mereka.

“Kau harus ikut aku ke Thebes,” kata Bakhoum dengan angkuh. “Karena kita harus menghadapi seorang Hekau bernama Musa.”

“Apa yang disampaikan putra Anubis padamu?” Seru Tuthre.

“Dia memberiku peringatan.”

“Apa yang dia katakan?” Ulang Tuthre.

“Dia memperingatkan aku tentang Musa.”

“Apa yang dia bilang tentang Musa?”

“Musa bukanlah Hekau, tetapi utusan.”

“Kalau putra Anubis berkata begitu, seharusnya jangan kauabaikan.”

Bakhoum menggeleng pelan. “Pembicaraan ini harus dihentikan. Kau harus ikut denganku, dan kita akan beradu ilmu Heka dengan Musa.”

“Kau dengar sendiri bahwa dia bukan Hekau. Dia adalah utusan.”

“Aku tidak peduli. Yang kutahu, dia memakai Heka ular dan cahaya.”

Tuthre tua terkekeh, dan seolah seluruh tubuhnya yang ringkih akan runtuh karena kekehnya itu. “Ternyata ilmumu memang belum ada apa-apanya, Bakhoum. Ternyata kau belum paham apa yang disampaikan putra Anubis.”

“Aku tidak butuh hal itu! Yang kutahu, kau harus ikut denganku ke Thebes dan kita akan melawan Musa.”

Tuhre terkekeh lagi. “Percayalah, aku akan ikut denganmu. Tetapi dengarlah kata-kataku, sebagaimana kau mendengarkannya dulu saat masih berguru kepadaku.”

Kesunyian yang menyusul kemudian membuat semua orang menunggu. Bahkan Bakhoum pun menatap tajam kepada Hekau tua itu dan memerhatikan.

“Ketahuilah ini, jika memang orang yang kausebut itu adalah utusan, maka tidak ada hekau yang bisa mengalahkan utusan. Aku memang belum pernah bertemu dengan seorang utusan, tetapi cukuplah aku percaya apa yang pernah dikatakan putra Anubis. Dia pernah berkata hal yang sama padaku, sekali.”

Kalimat terakhir Tuthre mengingatkan Bakhoum pada cerita Haman. Pada malam yang lalu, Haman berkata bahwa Musa melakukan segalanya itu tanpa merapalkan mantra sedikit pun. Bibirnya tidak terlihat komat-kamit, padahal semua Heka haruslah merapalkan mantra. Tuthre melanjutkan.

“Kau selalu tidak sudi mempelajari sejarah, Bakhoum. Kau malas belajar sejarah. Padahal untuk menjadi Hekau terkuat haruslah menggandeng sejarah. Sejarah amat penting agar kau bisa menggunakan Heka dengan tepat, agar kautahu siapa musuhmu dan tahu bagaimana cara mengalahkannya. Tetapi kau malas belajar sejarah, sehingga kau tak tahu apa-apa tentang para utusan. Kau takkan pernah bisa mengukur seberapa dalam kekuatan para utusan, sebab mereka bukanlah Hekau. Keberadaan para utusan memang tidak banyak disebut di dalam kitab-kitab Heka, tetapi mereka ada. Dan kita tidak boleh mengabaikannya. Aku bersedia ikut denganmu, lebih karena rasa penasaranku tentang seperti apakah seorang utusan itu. Aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Bawalah aku!”

“Kau akan melihatnya, orang tua, siapakah yang terkuat, aku ataukah Musa!” Bakhoum menatap tajam Menkheperesseneb tua itu.

Write for the sweetest struggle